KABARBURSA.COM - Sektor tekstil Indonesia sepertinya belum bisa lepas dari ancaman. Chief Economist Citibank N.A. Indonesia Helmi Arman, menilai potensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China sangat berpengaruh.
Perang dagang tersebut, selain mengubah rantai pasok industri di sekala global, sangat berpotensi mempengaruhi sektor riil di Indonesia.
Helmi mengakui, jika kenaikan surplus perdagangan Indonesia dan AS paling kecil jika dibandingkan beberapa negara ASEAN lainnya, namun tidak menutup kemungkinan perang dagang akan berdampak secara langsung di Tanah Air.
“Presiden Donald Trump ketika kampanye juga pernah menyebutkan kemungkinan memasang tarif (tinggi) terhadap seluruh impor Amerika, terutama dari negara-negara yang punya surplus perdagangan terhadap Amerika,” kata Helmi usai konferensi pers pemaparan laba Citi Indonesia, di Jakarta, Rabu, 13 November 2024.
Sekadar informasi, penerapan bea impor yang tinggi terjadi di awal Trump pertama kali terpilih menjadi Presiden AS (2016). Kebijakan kontroversial ini dilakukan untuk mengurangi defisit perdagangan dan mengatasi apa yang disebut sebagai praktik perdagangan tidak adil oleh China.
Selain itu, alasan ideologi, sentimen negatif, ketegangan antara dua negara dan perebutan dominasi.
Sebagai respons terhadap kebijakan perdagangan AS di bawah Presiden Trump, China juga memberlakukan tarif balasan pada produk-produk AS.
Perang dagang ini berlangsung selama beberapa tahun dan berdampak pada ekonomi global hingga mencapai kesepakatan parsial atau Phase One Deal pada Januari 2020.
“Jadi, walaupun Indonesia bukan penyumbang terbesar defisit perdagangan Amerika Serikat, tetap tidak kebal terhadap risiko adanya kebijakan perdagangan yang langsung mempengaruhi ekspor Indonesia,” ujar dia.
Produk Tekstil Terancam
Berdasarkan analisa Helmi, sektor yang akan terdampak dari perang dagang AS dan China adalah tekstil. Selain pasarnya memburuk beberapa waktu belakangan, sektor ini diperkirakan terdampak karena komoditi ini yang paling banyak diekspor oleh Indonesia .
“Meski ekspor dari Indonesia ke AS beragam, tapi paling besar adalah tekstil, sepatu dan kulit. Ini nilainya hampir 30 persen dari total ekspor Indonesia ke Amerika. Tapi, kalau kita lihat dari keseluruhan ekspor komoditi ini, dominasi pasar Amerika itu sekitar 44 persen dari total ekspor kita untuk produk ini,” jelasnya.
Helmi mengungkapkan, ada ketergantungan yang tinggi terhadap pasar Amerika untuk produk teksti,l di mana ini merupakan industri padat karya. Selain sawit, kata dia, industri sawit dan turunannya juga diperkirakan bakal terdampak. Selain itu, industri mebel yang meski jumlahnya keci,l tapi juga merupakan industri padat karya.
“Ini nilainya sekitar USD2,7 miliar pada tahun 2013. Tapi, presentase untungnya ekspor komoditas ini ke Amerika itu sekitar 8 persen. Jadi dengan demikian, kalaupun ada kebijakan yang mengambat ekspor produk ini ke Amerika, ada peluang diversifikasi yang lebih besar ke negara-negara lain," tutup dia.
Dikuasi Tekstil Impor Ilegal
Mirisnya sektor tekstil Tanah Air juga bisa dilihat dari maraknya barang impor ilegal di pasar. Koordinator Aliansi Masyarakat Tekstil Indonesia (AMTI) Agus Riyanto, mengungkapkan 80 persen produk tekstil impor ilegal menguasai pasar Indonesia.
Awalnya Agus menyinggung soal wacana revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024. Dia menegaskan, perubahan aturan ini akan percuma jika praktik impor ilegal terus berlanjut.
Untuk diketahui, wacana revisi Permendag ini menjadi perbincangan setelah PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) menyebut kebijakan tersebut sebagai faktor utama yang mendorong perusahaan menuju kebangkrutan.
“Kalaupun Permendag 8 ini direvisi, dampaknya tak akan signifikan. Yang sebenarnya perlu diubah adalah pengaturan impor bahan baku plastik. Sedangkan impor ilegal tak pernah mengikuti aturan, apalagi membayar pajak. Bahkan, sekitar 80 persen pasar tradisional tekstil kita saat ini sudah dipenuhi oleh produk impor ilegal. Ini harus diberantas hingga ke akar-akarnya,” ungkap Agus, Rabu, 6 November 2024.
Agus pun menekankan pentingnya penegakan hukum yang lebih ketat terkait impor ilegal dan penghentian jasa impor borongan untuk menjaga keberlangsungan industri tekstil nasional.
Ia meyakini, jika pemerintah bersama aparat penegak hukum berhasil memberantas praktik ilegal ini, Sritex dan pelaku industri tekstil lainnya akan mendapat kepastian di pasar domestik, yang juga membantu kelancaran arus kas perusahaan.
“Solusinya harus menyeluruh. Jika jasa impor borongan dihentikan dan praktik ilegal diusut tuntas, Sritex dan sektor tekstil lain bisa pulih secara bertahap,” ujar Agus.
Praktik impor ilegal ini, menurut Agus, sudah menjadi rahasia umum dan diketahui oleh instansi terkait seperti Bea Cukai dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
“Praktik ini sudah berlangsung lama, bahkan jasa impor borongan dan ilegal ini kerap dipromosikan secara terbuka. Kementerian Keuangan, khususnya Bea Cukai, sebenarnya sudah menyadari keberadaan praktik-praktik ini,” ungkapnya.(*)