KABARBURSA.COM - Diskon tarif listrik 50 persen dinilai efektif mengurangi beban hidup masyarakat dan mendorong deflasi. Namun, kebijakan ini dianggap bukan solusi jangka panjang untuk memulihkan daya beli, terutama bagi kelas menengah yang masih tertekan akibat pandemi dan lonjakan inflasi sebelumnya.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai, diskon tarif listrik mampu menekan biaya hidup masyarakat secara signifikan.
“Ketika didiskon, terlihat jelas bahwa penurunan biaya listrik yang harus dibayar itu turun tajam dan itu terefleksikan juga dengan deflasi yang tajam,” ujar Faisal kepada kabarbursa.com, Kamis, 6 Maret 2025.
Pemulihan ekonomi masyarakat, kata dia, tidak selesai dalam dua bulan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan strategi lanjutan agar daya beli pulih.
“Jadi tidak langsung kembali ke normal. Yang kedua, juga perlu mempertimbangkan insentif lain bagi kelas menengah yang bisa meningkatkan pendapatan mereka,” jelasnya.
Faisal menuturkan, pemulihan daya beli harus berkelanjutan. Salah satu caranya, kata dia, melalui pemberian insentif di sektor ekonomi yang terdampak secara langsung seperti usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan perusahaan yang tertekan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Kalau anggaplah periodisasi bantuan biaya hidup ada waktunya dan mungkin tidak panjang, maka intervensi lain harus lebih sustainable, yaitu dari sisi peningkatan income. Bisa berupa insentif untuk UMKM atau perusahaan-perusahaan di sektor rentan yang sekarang banyak melakukan PHK,” ujarnya.
Ia juga memperingatkan inflasi akan kembali meningkat setelah kebijakan diskon tarif listrik berakhir. Apalagi, hal ini bertepatan dengan momentum Ramadan dan lebaran yang mendorong kenaikan harga kebutuhan pokok.
“Mulai dari bulan Maret, inflasi jelas akan naik lagi. Apalagi Maret juga Ramadan dan Lebaran, jadi inflasi meningkat bukan hanya dari kenaikan tarif listrik, air, dan lainnya, tapi juga dari harga barang-barang lain, terutama makanan yang biasanya naik di bulan Ramadan dan Lebaran,” kata Faisal.
Ia memperkirakan kenaikan inflasi yang cukup signifikan pada bulan Maret, mengingat adanya kombinasi dari berakhirnya diskon tarif listrik serta lonjakan permintaan selama Ramadan dan Lebaran.
Oleh karena itu, ia menilai penting bagi pemerintah untuk menyiapkan langkah-langkah mitigasi agar daya beli masyarakat tetap terjaga.
Deflasi Akibat Tarif Listrik
Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, mengungkapkan diskon tarif listrik sebesar 50 persen untuk pelanggan PLN dengan daya hingga 2200 VA berkontribusi pada deflasi 32,03 persen, memberikan andil 1,47 persen terhadap indeks harga konsumen (IHK).
Untuk diketahui, pemerintah memberikan diskon tarif listrik pada Januari dan Februari 2025, sebagai kompensasi atas kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang kini menjadi 12 persen.
“Deflasi ini terjadi akibat adanya diskon 50 persen bagi pelanggan dengan daya listrik sampai dengan 2.200 VA di Januari 2025,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta dikutip Selasa, 4 Februari 2025.
Dalam lima tahun terakhir, penyesuaian tarif listrik juga pernah dilakukan pada Juni dan Agustus 2022 akibat penyesuaian tarif tenaga listrik di kuartal III-2022. Amalia menegaskan bahwa diskon tersebut dicatat dalam perhitungan inflasi sesuai dengan pedoman Consumer Price Index (CPI) Manual yang digunakan oleh kantor statistik internasional, termasuk BPS.
“Artinya, diskon itu dicatat dalam perhitungan inflasi jika kualitas barang atau jasa sama dengan kondisi normal harga diskon bisa didapatkan atau tersedia untuk banyak orang,” jelasnya.
BPS juga melaporkan bahwa Indonesia mengalami deflasi pada Januari 2025, dengan penurunan harga sebesar 0,76 persen secara bulanan. Meskipun demikian, inflasi tahunan tetap tercatat pada level 0,76 persen.
Inflasi tahunan didorong oleh kelompok makanan, minuman, dan tembakau, yang mencatatkan inflasi sebesar 3,69 persen, dengan andil terbesar dari minyak goreng, sigaret keretek mesin, cabai rawit, kopi bubuk, dan beras. Emas perhiasan juga memberikan andil inflasi signifikan.
Sementara itu, kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga mengalami deflasi terdalam, terutama karena pengaruh diskon tarif listrik, yang menyumbang deflasi 1,39 persen. Secara keseluruhan, inflasi terjadi di seluruh komponen kecuali pada komponen harga diatur pemerintah, yang mengalami deflasi tahunan sebesar 6,41 persen, dengan tarif listrik sebagai kontributor utama.
Sebaran inflasi wilayah menunjukkan bahwa 30 provinsi mengalami inflasi tahunan, sementara 8 provinsi mengalami deflasi. Papua Pegunungan mencatatkan inflasi tertinggi sebesar 4,55 persen, sementara deflasi terdalam terjadi di Gorontalo sebesar 1,52 persen.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik melaporkan, Indonesia telah mengalami deflasi pada awal tahun 2025, atau di bulan Januari. Adapun besaran deflasi mencapai 0,76 persen secara bulanan atau tahun kalender.
Namun, secara tahunan atau year on year, inflasi tetap tercatat, yaitu di level 0,76 persen. Akan tetapi telah terjadi tren penurunan harga yang memang menjadi perhatian, mengingat deflasi terakhir terjadi pada September tahun lalu.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, mengungkapkan bahwa deflasi bulan ini terutama dipicu oleh penurunan harga dalam kelompok pengeluaran perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga yang mengalami deflasi hingga 9,16 persen.
Kelompok ini memiliki andil besar terhadap deflasi dengan kontribusi negatif sebesar 1,44 persen. Penurunan tarif listrik menjadi faktor dominan dalam tren ini, memberikan andil hingga 1,47 persen. (*)