KABARBURSA.COM - Inflasi konsumen Jepang sedikit melambat pada Februari 2025 berkat subsidi energi dari pemerintah. Meski begitu, tren harga masih menunjukkan kenaikan karena lonjakan harga beras yang mencapai rekor tertinggi dan pertumbuhan upah yang semakin kuat. Kondisi ini membuat ekspektasi kenaikan suku bunga Bank of Japan (BOJ) tetap terjaga.
Dilansir dari The Wall Street Journal di Jakarta, data pemerintah yang dirilis Jumat, 21 Maret 2025, menunjukkan harga konsumen naik 3,7 persen dibandingkan Februari tahun lalu, sedikit melambat dari kenaikan 4,0 persen pada Januari. Salah satu faktor pelemahan adalah harga energi yang naik 6,9 persen secara tahunan, lebih rendah dari kenaikan 10,8 persen di bulan sebelumnya. Hal ini terjadi setelah pemerintah kembali memberikan subsidi untuk tagihan listrik dan gas.
Namun, meskipun angka utama sedikit menurun, tren harga tetap mengarah ke atas sehingga memberikan ruang bagi BOJ untuk terus mengetatkan kebijakan. Inflasi inti—yang tidak memasukkan harga makanan segar dan energi—naik 2,6 persen secara tahunan pada Februari, sedikit lebih tinggi dari 2,5 persen di Januari.
“Kuatnya inflasi inti pada Februari menunjukkan bahwa Bank of Japan bisa menaikkan suku bunga pada pertemuan berikutnya di Mei,” kata Kepala Ekonom Asia-Pasifik di Capital Economics, Marcel Thieliant.
Namun, ia menambahkan, ketidakpastian akibat kebijakan tarif AS bisa membuat BOJ menunda langkah tersebut hingga Juli.
BOJ mempertahankan kebijakan moneternya dalam pertemuan pekan ini, setelah menaikkan suku bunga menjadi 0,5 persen pada akhir Januari. Gubernur BOJ, Kazuo Ueda, mengatakan bank sentral akan terus menaikkan suku bunga selama pertumbuhan ekonomi dan inflasi masih sesuai dengan proyeksi mereka.
Namun, Ueda mulai lebih berhati-hati terhadap ketidakpastian kebijakan ekonomi Presiden AS, Donald Trump. “Dalam satu bulan terakhir, target tarif AS dan kecepatan pengambilan keputusan mereka meningkat dan bergerak lebih cepat,” kata Ueda dalam konferensi pers Rabu lalu.
Di sisi lain, BOJ juga mulai melihat risiko kenaikan harga dari lonjakan harga beras. Data terbaru menunjukkan harga beras melonjak 80,9 persen pada Februari dibandingkan tahun sebelumnya—kenaikan tercepat sejak data sejenis mulai tersedia pada 1971. Sebagai makanan pokok utama di Jepang, kenaikan harga beras berpotensi memengaruhi daya beli konsumen.
“Selain harga beras yang melonjak, depresiasi yen hingga akhir tahun lalu juga meningkatkan tekanan harga impor sehingga inflasi diperkirakan tetap tinggi secara keseluruhan,” kata ekonom dari Norinchukin Research Institute, Takeshi Minami.
Upah Naik, BOJ Bisa Lebih Agresif
Gubernur BOJ mengatakan pertumbuhan upah dan harga saat ini masih sesuai dengan ekspektasi bank sentral. Para ekonom berpendapat pertumbuhan upah yang kuat dapat membantu menciptakan inflasi yang lebih stabil di level 2 persen yang menjadi target BOJ.
Sebagai respons terhadap kenaikan harga yang berkelanjutan, perusahaan-perusahaan Jepang telah berjanji memberikan kenaikan gaji rata-rata terbesar dalam 34 tahun terakhir. Namun, meskipun pertumbuhan upah cukup solid, Takeshi Minami dari Norinchukin Research Institute memperingatkan inflasi masih bisa membuat rumah tangga lebih berhati-hati dalam mengatur anggaran mereka.
“Kondisi ini bisa membuat BOJ menunda kenaikan suku bunga hingga sekitar Juli,” kata Minami.
Indonesia Malah Deflasi
Sementara Jepang masih bergulat dengan lonjakan harga beras yang bikin Bank of Japan pusing, Indonesia justru mengalami deflasi pada Februari 2025. Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Indeks Harga Konsumen (IHK) turun 0,09 persen secara tahunan (y-on-y) dan membawa angin segar di tengah tekanan global.
Tapi, seperti biasa, cerita soal inflasi di Indonesia tak bisa dipukul rata. Kalau di Jepang harga beras naik gila-gilaan sampai 80,9 persen, di Indonesia justru kelompok perumahan, listrik, air, dan bahan bakar rumah tangga turun 12,08 persen yang jadi faktor utama deflasi ini. Selain itu, sektor informasi, komunikasi, dan jasa keuangan juga melemah 0,26 persen.
Tapi bukan berarti semuanya turun. Beberapa sektor masih mengalami kenaikan harga, misalnya makanan, minuman, dan tembakau yang naik 2,25 persen, disusul oleh kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya yang melonjak 8,43 persen. Sektor pendidikan dan penyediaan makanan/minuman di restoran juga ikut naik, masing-masing 2,04 persen dan 2,47 persen.
Kalau mau lihat peta inflasi, perbedaan antar daerah masih sangat terasa. Deflasi terdalam terjadi di Papua Barat, turun 1,98 persen dengan IHK di level 103,98, sementara deflasi paling tipis ada di Nusa Tenggara Barat, cuma 0,01 persen. Sebaliknya, inflasi tertinggi terjadi di Papua Pegunungan yang melonjak 7,99 persen dengan IHK 115,17, sementara inflasi terendah ada di Riau, naik tipis 0,02 persen.
Di level kabupaten/kota, Kabupaten Muko Muko jadi daerah dengan deflasi terdalam, turun 2,10 persen, sedangkan Kota Tasikmalaya mencatat deflasi paling kecil, hanya 0,01 persen. Sementara itu, inflasi tertinggi terjadi di Kabupaten Jayawijaya, mencapai 7,99 persen, sedangkan inflasi terendah ada di Kota Kupang dengan 0,01 persen.
Dari sisi tren bulanan, Indonesia mencatat deflasi 0,48 persen secara bulanan (month-to-month/m-to-m) di Februari, sedangkan sejak awal tahun (year-to-date/y-to-d), tingkat deflasi mencapai 1,24 persen. Meski begitu, inflasi inti masih bertahan di level 2,48 persen secara tahunan (y-on-y), dengan inflasi bulanan 0,25 persen dan inflasi tahun berjalan 0,55 persen.
Dengan kondisi ini, Indonesia masih berada dalam zona nyaman dibanding Jepang yang harus menghadapi tekanan harga yang terus meningkat. Tapi apakah tren ini bakal bertahan atau ada potensi inflasi naik lagi di bulan-bulan mendatang?(*)