KABARBURSA.COM - Indonesia kemungkinan akan mengalami inflasi pertamanya dalam enam bulan terakhir pada Oktober 2024, setelah melalui tren deflasi beruntun sejak Mei 2024.
Berdasarkan proyeksi dari para ekonom, inflasi pada bulan ini diperkirakan akan melandai pada angka 1,61 persen secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih rendah dibandingkan inflasi September 2024 yang berada di angka 1,84 persen YoY.
Deflasi yang terjadi selama lima bulan terakhir menjadi perhatian utama di sektor ekonomi, terutama menjelang akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo. Kondisi ini tidak hanya mencatat tren deflasi terpanjang sejak era Krisis Moneter 1997-1998, tetapi juga memicu kekhawatiran akan melemahnya daya beli masyarakat.
Jika inflasi kembali tercatat pada Oktober 2024, hal ini dapat menjadi sinyal positif awal bagi pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto, yang resmi dilantik pada 20 Oktober 2024.
Penurunan inflasi selama beberapa bulan terakhir sebagian besar disebabkan oleh penurunan harga pangan, terutama komoditas seperti cabai merah dan cabai rawit.
Ekonom Ciptadana Sekuritas Asia, Renno Prawira, menyebutkan bahwa harga cabai merah turun sebesar 7 persen dan cabai rawit turun 11 persen secara bulanan. Penurunan harga ini berkontribusi besar dalam mengurangi tekanan inflasi di sektor pangan.
Kepala Ekonom Bank Maybank Indonesia Juniman, juga mencatat bahwa harga berbagai komoditas pangan seperti beras, bawang, kedelai, dan daging sapi mengalami tren penurunan sepanjang Oktober 2024.
Berdasarkan data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS), harga cabai merah turun dari Rp36.000 per kg pada 30 September menjadi Rp33.450 per kg pada 30 Oktober 2024.
Selain sektor pangan, sektor transportasi juga memberikan kontribusi positif dalam menekan inflasi. Penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi turut memperlambat laju kenaikan harga di sektor ini.
Pertamina, Shell Indonesia, BP-AKR, dan PT Vivo Energy Indonesia menurunkan harga BBM pada awal Oktober 2024. Di wilayah DKI Jakarta, harga Pertamax turun dari Rp12.950 menjadi Rp12.100 per liter, sementara Pertamax Turbo turun dari Rp14.475 menjadi Rp13.250 per liter. Penurunan harga juga tercatat pada produk Dexlite dan Pertamina DEX.
Penurunan harga BBM ini diharapkan akan menekan inflasi pada sektor transportasi, terutama setelah harga tiket pesawat turun sebesar 9,5 persen secara bulanan.
Meskipun sejumlah faktor menunjukkan adanya potensi tekanan inflasi yang mereda, tantangan masih tetap ada, terutama dari sisi nilai tukar rupiah.
Depresiasi rupiah terhadap dolar AS yang mencapai 3,7 persen mtm pada Oktober 2024, dengan nilai tukar mencapai Rp15.710/USD, dapat memicu inflasi impor atau imported inflation. Depresiasi ini akan meningkatkan biaya impor barang dan bahan baku, yang pada akhirnya dapat mendorong naiknya harga barang-barang di dalam negeri.
Secara keseluruhan, meskipun inflasi diprediksi melandai secara tahunan, kembalinya inflasi bulanan pada Oktober 2024 menandakan potensi stabilisasi ekonomi setelah periode panjang deflasi.
Penurunan harga pangan dan BBM memberikan ruang bagi perekonomian untuk pulih, tetapi tantangan dari depresiasi rupiah tetap perlu diwaspadai. Jika inflasi bulan Oktober benar-benar tercatat, ini bisa menjadi langkah awal bagi pemerintahan baru dalam mengelola stabilitas ekonomi di tengah perubahan politik dan ekonomi global.
Ekonomi tak Lazim
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,12 persen pada September 2024 secara bulanan. Deflasi ini merupakan yang kelima secara berturut-turut sejak Mei 2024.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai deflasi yang berkelanjutan ini menunjukkan adanya penurunan daya beli masyarakat, khususnya di kalangan ekonomi menengah ke bawah.
“Isu deflasi juga merupakan indikasi kuat memburuknya ketimpangan ekonomi, selain tentunya pelemahan daya beli Masyarakat. Pemerintahan Prabowo harus melakukan langkah strategis,” kata Samirin saat dihubungi Kabarbursa.com, Senin, 7 Oktober 2024.
Samirin juga menyebut deflasi ini memperparah ketimpangan ekonomi di dalam negeri. Ia menilai Presiden Terpilih Prabowo Subianto perlu segera mengambil langkah strategis untuk memulihkan daya beli.
Salah satu langkah yang disarankan Samirin adalah menstimulasi permintaan (demand) meskipun hal ini akan memperlebar defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurutnya, APBN harus difungsikan sebagai mekanisme pemerataan ekonomi di bawah pemerintahan baru.
“Menstimulus demand walau akan berdampak pada melebarnya defisit APBN serta mendorong peran APBN sebagai mekanisme pemerataan ekonomi,” jelas Samirin.
Samirin mengusulkan agar pemerintah ke depan menurunkan suku bunga untuk meningkatkan konsumsi masyarakat serta mempercepat kucuran kredit ke sektor riil, yang pada akhirnya akan mendongkrak permintaan.
“Insentif pajak juga perlu diberikan secara selektif. Paling tidak, rencana kenaikan pajak perlu ditunda hingga kondisi membaik,” tambahnya.
Samirin juga menekankan pentingnya pemerintah baru untuk membangun kepercayaan rakyat dan pelaku usaha melalui program dan kebijakan ekonomi yang jelas serta terarah. Dengan begitu, dunia usaha tidak melakukan strategi wait and see terlalu lama dan menunda investasi serta ekspansi produksi.
“Yang terjadi dalam 1-2 tahun belakangan adalah ketidakjelasan arah kebijakan pemerintah dan ketidakkonsistenan. Reshuffle tanpa arah yang jelas di akhir masa jabatan Pak Jokowi membuat kerunyaman ini semakin sempurna,” kata Samirin.(*)