KABARBURSA.COM - Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky menegaskan bahwa inflasi tahunan Indonesia mencatat rekor terendah sejak perhitungan inflasi dimulai pada 1958.
“Meskipun mengalami sedikit peningkatan dari 1,55 persen (year-on-year/y.o.y), pada November 2024 menjadi 1,57 persen (y.o.y) pada Desember 2024,” ungkap Riefky dalam keterangan resminya, Rabu, 15 Januari 2025.
Ia menjelaskan, kenaikan tipis ini dipengaruhi oleh stabilisasi harga pangan berkat peningkatan hasil panen hortikultura dan langkah pemerintah dalam menjaga stabilitas harga yang diatur.
Adapun Kelompok makanan, minuman, dan tembakau mulai pulih, meningkat dari 1,68 persen (y.o.y) pada November 2024 menjadi 1,90 persen (y.o.y) pada Desember 2024.
“Pertumbuhan ini dipicu oleh dampak kenaikan cukai tembakau, kenaikan harga minyak goreng akibat lonjakan harga minyak sawit mentah, serta harga beras yang terdampak kenaikan harga Gabah Kering Panen (GKP) dan Gabah Kering Giling (GKG),” papar Riefky.
Di sisi lain, faktor musiman akhir tahun juga mendorong kenaikan inflasi pada kelompok restoran, dari 2,40 persen (y.o.y) pada November 2024 menjadi 2,48 persen (y.o.y) pada Desember 2024. Namun, kelompok transportasi mencatat deflasi sebesar -0,30 persen (y.o.y) pada Desember 2024 dari 0,03 persen (y.o.y) pada November 2024.
Penurunan ini didorong oleh langkah stabilisasi harga bahan bakar, seiring dengan penurunan harga minyak dunia dan tarif tiket pesawat selama musim liburan.
“Kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya mencatat tingkat inflasi tertinggi di antara semua kelompok pengeluaran, yakni sebesar 7,02 persen (y.o.y) pada Desember 2024. Perhiasan emas menjadi kontributor utama kelompok ini, menyumbang 0,35 poin persentase terhadap inflasi umum akibat kenaikan harga emas global yang dipicu oleh pelemahan rupiah,” tambahnya.
Meski Bank Indonesia optimistis menjaga inflasi dalam kisaran target 1,5 persen hingga 3,5 persen untuk 2025-2026, Riefky menyoroti bahwa tekanan eksternal tetap menjadi perhatian utama.
Menurutnya pelemahan rupiah menghadirkan risiko inflasi impor, mencerminkan kekhawatiran atas potensi kebijakan perdagangan di bawah kepemimpinan Donald Trump. Kebijakan proteksionis seperti tarif impor dapat memengaruhi stabilitas perdagangan global, termasuk Indonesia.
Ke depannya, lanjut dia, dinamika inflasi akan bergantung pada berbagai faktor, termasuk kebijakan domestik dan tekanan global. Oleh karena itu, ia merekomendasikan agar pemerintah dan Bank Indonesia menyeimbangkan kebijakan secara hati-hati.
Nilai Tukar Rupiah Melemah
Sepeti diberitakan sebelumnya, nilai tukar rupiah kembali menghadapi tekanan signifikan akibat revisi ekspektasi penurunan suku bunga The Fed.
Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky menjelaskan, meski The Fed memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin ke kisaran 4,25 persen hingga 4,5 persen pada Desember 2024, arus keluar modal dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, tetap terjadi.
“Ini disebabkan oleh penyesuaian ekspektasi bahwa The Fed hanya akan menurunkan suku bunga dua kali pada 2025, dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya empat kali. Penyesuaian ini dipicu oleh inflasi AS yang masih tinggi di level 2,7 persen pada November 2024,” ungkap Riefky.
Tekanan terhadap inflasi AS juga diperkirakan meningkat seiring dengan kebijakan pemerintahan Donald Trump yang akan datang. Rencana penerapan tarif yang lebih luas serta kebijakan imigrasi yang lebih ketat menjadi faktor yang mendorong The Fed bersikap lebih hati-hati beberapa bulan mendatang.
Kehati-hatian tersebut terlihat dari notulen Federal Opte Market Committee (FOMC) yang dirilis pada awal Januari menunjukkan sikap antisipatif terhadap risiko inflasi.
Hal ini turut memperkuat posisi dolar AS, tercermin dari kenaikan Indeks DXY menjadi 109,17 pada 10 Januari 2025, naik 2,6 persen dibandingkan pada sebelumnya.
Riefky menekankan bahwa penguatan dolar AS memberikan tekanan tambahan terhadap nilai tukar rupiah.
“Dalam kondisi ini, Indonesia harus lebih waspada terhadap potensi pelemahan mata uang yang bisa memengaruhi stabilitas ekonomi makro, khususnya dalam hal impor dan utang luar negeri,” ujarnya.
Padahal rupiah sempat menguat dan naik 55 poin ke level Rp16.142 pada penutupan perdagangan sore ini, setelah sebelumnya sempat menguat hingga 65 poin.
Pengamat pasar uang Ibrahim Assuaibi menjelaskan, penguatan ini didorong oleh faktor eksternal dan internal yang memberikan sentimen positif bagi pasar.
Salah satu faktor eksternal yang mendukung penguatan rupiah adalah pelemahan dolar AS. Ibrahim menyoroti pernyataan Gubernur Federal Reserve (The Fed), Lisa Cook, yang menyebutkan bahwa The Fed akan berhati-hati dalam mengambil langkah untuk memangkas suku bunga lebih jauh. Cook juga menegaskan bahwa ekonomi AS tetap stabil dengan inflasi yang lebih kuat dari perkiraan. (*)