KABARBURSA.COM - Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI), Mulyanto, menyebut rencana Presiden Prabowo mewujudkan swasembada BBM sebagai rencana ambisius. Menurutnya, swasembada BBM hanya bisa terjadi jika didukung kesungguhan politik serta kapasitas pemerintahan yang mumpuni.
"Itu adalah visi yang bagus namun perlu pembuktian. Karena, ini masalah berat yang telah membelit cukup lama," kata Mulyanto dalam keterangan tertulis, Jakarta pada Jumat, 9 Mei 2025.
Anggota Komisi Energi DPR RI periode 2019–2024 itu menyoroti tren penurunan tajam produksi minyak nasional. Menurutnya, ambisi mencapai target lifting satu juta barel per hari (BPH) kini semakin jauh dari kenyataan, bahkan terkesan seperti mimpi belaka.
"Sejak Era Reformasi tidak ada pembangunan kilang baru. Proyek kilang minyak di Jatim dan Kaltim mandeg. Yang tersisa adalah kilang-kilang tua, yang kita dengar setiap empat bulanan sekali terjadi kasus kebakaran kilang," ujarnya
"Sementara investor asing di sektor ini hengkang satu per satu, seperti ConocoPhillips, Royal Dutch Shell, dan Chevron, karena dianggap semakin tidak menarik, di tengah arus deras investasi sektor energi baru-energi terbarukan (EBET)," terang Sekjen Menristek era Pemerintahan SBY ini.
Ia menilai secara kelembagaan, kondisi Pertamina sebagai BUMN migas andalan tengah goyah. Hal ini diperparah dengan posisi Direktur Utama dan Komisaris Utama yang diisi oleh figur dari dewan pembina partai politik penguasa, serta terbelit kasus korupsi besar dengan estimasi kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun hanya dalam tahun 2023.
Untuk diketahui,sejak 2008 Indonesia secara resmi berstatus sebagai negara net importir minyak, disebabkan oleh tingginya tingkat konsumsi yang tidak seimbang dengan kapasitas produksi dalam negeri. Pada 2024, sekitar 64 persen dari total kebutuhan minyak nasional dipenuhi melalui impor.
Sementara itu, pada 2023, konsumsi minyak domestik tercatat mencapai 1.603 ribu barel per hari (BPH), sedangkan rata-rata produksi harian hanya sekitar 580 ribu BPH, atau setara 36 persen dari total kebutuhan.
Prabowo Targetkan Swasembada Energi
Prabowo sebelumnya menyoroti pemanfaatan sejumlah tanaman yang dapat menjadi salah satu sumber alternatif BBM sebagai salah satu upaya kemandirian swasembada energi.
“Kita harus swasembada energi dan kita mampu untuk swasembada energi,” kata Prabowo dalam pidato perdananya sebagai Presiden Republik Indonesia, di Gedung MPR/DPR, Jakarta Pusat, Minggu, 20 Oktober 2024.
Prabowo menambahkan, tanaman seperti kelapa sawit, singkong, tebu, sagu, hingga jagung adalah beberapa contohnya.
Pemerintahannya nanti akan fokus memanfaatkan seluruh potensi yang ada demi meraih swasembada energi. “Seperti kelapa sawit bisa menghasilkan solar dan bensin. Kita juga punya energi bawah tanah geothermal yang cukup,” ujarnya.
Melalui pengembangan produk biodiesel dan bioavtur dari sawit, serta bioethanol dari tebu dan singkong, Indonesia memiliki potensi besar untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Prabowo optimistis program biodiesel B50 dan campuran ethanol E10 dapat terwujud pada 2029.
Pengembangan Energi Baru Terbarukan
Dalam upaya mempercepat transisi energi bersih, pemerintah terus mendorong pengembangan energi baru terbarukan (EBT), salah satunya melalui pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN). Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyampaikan bahwa saat ini implementasi B35 telah berjalan, sementara B40 sudah melewati tahap uji coba.
Langkah ini menjadi bagian dari strategi jangka panjang pemerintah dalam memperluas bauran EBT. Saat ini, pengujian B40 tidak hanya dilakukan pada kendaraan bermotor, tetapi juga diperluas ke sektor pertanian melalui alat mesin pertanian (alsintan) dan ke sektor perkeretaapian. Setelah itu, pengujian akan menyasar sektor pertambangan, alat berat, serta penggunaan dalam industri kelautan dan pembangkit listrik.
"Presiden terpilih menyampaikan bahwa kita akan menuju B35, B40. Ke depan, diperhitungkan menjadi B50, B60,” ujar Bahlil dalam temu media di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat, 18 Oktober 2024.
Menurut Bahlil, dalam skenario B50 atau B60, porsi penggunaan minyak kelapa sawit sebagai bahan bakar akan melampaui dominasi bahan bakar fosil. “Kita harus mendorong energi bersih. B50, B60 sedang dihitung plus-minusnya, karena uji coba B40 sudah selesai,” tambahnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi menilai bahwa adopsi B40 tak hanya membawa dampak positif terhadap lingkungan, tetapi juga berkontribusi besar terhadap penghematan devisa. Ia mencatat, penerapan B35 sejauh ini telah menghemat devisa negara hingga Rp122 triliun.
“Jika tahun depan kita sudah beralih ke B40, penghematan devisa bisa mencapai sekitar USD9 miliar atau setara dengan Rp144 triliun,” terang Eniya dalam keterangan tertulis yang dirilis pada Kamis, 25 Juli 2024.
Lebih dari itu, penerapan B40 diproyeksikan dapat menurunkan emisi karbon dioksida (CO₂) secara signifikan. Dengan asumsi konsumsi B40 mencapai 16 juta kiloliter (KL) pada tahun 2025, emisi CO₂ yang berhasil ditekan diperkirakan mencapai 42,5 juta ton. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan capaian B35 pada 2023 yang mencapai 12,23 juta KL, serta estimasi pemakaian 13 juta KL hingga akhir 2024.(*)