Logo
>

Insentif Potongan Tarif Listrik Dinilai tak Bantu Kelas Menengah

Ditulis oleh Dian Finka
Insentif Potongan Tarif Listrik Dinilai tak Bantu Kelas Menengah

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Ekonom CORE Indonesia, Muhammad Faisal, menilai bahwa kebijakan insentif pemerintah yang diberikan kepada kelas menengah, seperti potongan tarif listrik 50 persen untuk golongan 450W hingga 2200V, meskipun baik, tidak cukup untuk mengatasi penurunan daya beli yang terjadi pada kelompok ini.

    Menurut Faisal, kelas menengah yang selama ini menyumbang 84 persen terhadap total konsumsi domestik telah mengalami penurunan signifikan sejak pandemi, dan ini berdampak langsung pada turunnya permintaan di sektor industri.

    “Setelah pandemi, kelas menengah memang masih mengalami penurunan, bahkan hingga 2023. Meskipun ada pemulihan di kelas atas, terutama berkat booming komoditas di 2022, kelas menengah justru terus mengalami penurunan daya beli yang berlanjut hingga 2023,” ungkap Faisal dalam CORE Media Discussion (CMD) di Gedung CORE Indonesia, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu, 18 Desember 2024.

    Faisal menambahkan bahwa penurunan daya beli kelas menengah ini berimbas langsung pada penurunan penjualan di industri, mengingat sebagian besar sektor industri domestik masih bergantung pada pasar dalam negeri.

    Data yang dipaparkan CORE Indonesia menunjukkan bahwa jumlah kelas menengah yang mengalami penurunan selama periode 2021-2023 mencapai 9,7 juta orang, yang semakin memperburuk kondisi industri.

    “Di 2021 saja, kelas menengah turun sebesar 8 persen, dan di 2023, penurunannya malah lebih dalam lagi, mencapai 8,5 persen. Artinya, meskipun ada upaya pemulihan, kelas menengah tetap menghadapi kesulitan,” terang Faisal.

    Faisal juga mengkritik kebijakan insentif yang hanya berlaku selama dua bulan, seperti potongan tarif listrik yang dianggapnya tidak cukup untuk membantu kelas menengah yang sudah mengalami penurunan daya beli dalam jangka panjang.

    “Bagaimana logikanya jika insentif hanya diberikan untuk dua bulan sementara penurunan daya beli kelas menengah sudah berlangsung bertahun-tahun? Insentif yang ada jelas tidak cukup untuk mengatasi permasalahan ini,” kata Faisal.

    Ia menekankan bahwa insentif yang lebih panjang dan lebih komprehensif diperlukan untuk mendukung pemulihan daya beli kelas menengah. Selain itu, masalah mendalam yang dihadapi oleh industri domestik juga perlu segera ditangani agar sektor ini tidak semakin tertekan.

    “Insentif yang diberikan tentu penting, tapi itu tidak cukup untuk mengatasi kompleksitas masalah yang ada. Pemerintah perlu lebih serius menyasar kelas menengah yang saat ini semakin tertekan, serta mengambil langkah-langkah kebijakan yang lebih tepat dan berjangka panjang,” pungkas Faisal.

    Insentif Atasi PPN 12 Persen?

    Faisal, ekonom senior CORE Indonesia, menilai bahwa insentif tidak menyelesaikan masalah utama pada sebagian besar industri dalam negeri yang tengah terpukul.

    Menurut Faisal, sebagian besar industri Indonesia masih sangat bergantung pada impor bahan baku dan barang konsumsi, yang menjadi salah satu hambatan utama dalam meningkatkan daya saing.

    “Dibutuhkan insentif yang lebih signifikan untuk mendorong peningkatan kapasitas produksi tanpa memperburuk ketergantungan pada impor,” ujar Faisal, dalam acara CORE Media Discussion (CMD) di Gedung CORE Indonesia, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu, 18 Desember 2024.

    Faisal juga mengkritik kebijakan insentif yang diterapkan pemerintah, yang menurutnya belum cukup untuk mengatasi masalah struktural yang dihadapi oleh sektor industri.

    “Masalah yang muncul tidak hanya terkait dengan kenaikan PPN, tetapi juga ketidakharmonisan kebijakan di sektor keuangan, perdagangan, perindustrian, energi, dan investasi yang saling bertentangan,” jelasnya.

    Salah satu sektor yang paling terpengaruh oleh kondisi ini adalah industri tekstil. Faisal menyebutkan bahwa banyak perusahaan tekstil yang terpaksa tutup, sebagian besar karena ketidakharmonisan kebijakan dan ketidakmampuan bersaing dengan produk impor, terutama dari China.

    “Banyak perusahaan tekstil yang terpaksa tutup, sebagian karena ketidakharmonisan kebijakan dan juga kesulitan dalam bersaing dengan produk impor, terutama dari China. Barang-barang impor yang masuk dengan harga jauh lebih murah, bahkan diduga ada praktik subsidi dan dumping, yang menyebabkan industri lokal kesulitan,” ungkap Faisal.

    Faisal juga mengkritisi kontrol barang impor yang masuk ke Indonesia, termasuk produk ilegal yang tidak terdeteksi. “Masalahnya bukan hanya barang impor legal, tetapi juga barang ilegal yang masuk tanpa pengawasan yang memadai. Ini semakin memperburuk daya saing industri lokal,” tambah peneliti yang tengah mengenakan batik berwarna krem-cokelat.

    Di sisi lain, Faisal mengapresiasi adanya insentif khusus untuk sektor padat karya. Namun, ia menekankan bahwa insentif yang diberikan harus lebih lama dan lebih spesifik.

    “Insentif yang hanya berlaku dua bulan jelas tidak cukup. Terlebih lagi, industri saat ini menghadapi banyak tantangan, termasuk terbatasnya akses pasar dan penjualan,” katanya. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.