KABARBURSA.COM - Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengungkapkan bahwa ada lima investor asing yang menunjukkan keseriusannya untuk mengembangkan industri sapi perah di Indonesia.
Para investor tersebut berasal dari negara-negara seperti Qatar, Brasil, Vietnam, dan Amerika Serikat.
Investor asal Vietnam, misalnya, berencana untuk mengembangkan industri sapi perah di area seluas 10.000 hektar di Poso, Sulawesi Tengah.
“1 November 2024 mendatang, saya akan mendampingi Duta Besar (Dubes) Vietnam untuk Indonesia dalam meninjau lokasi di Poso,” kata saat ditemui di kantor Kementerian Pertanian (Kementan) di kawasan Ragunan, Jakarta Selatan, Senin, 28 Oktober 2024.
Tak hanya itu, investor Vietnam tersebut juga berencana membangun fasilitas pengolahan susu yang dapat memproduksi hingga 1,8 juta ton susu per tahun. Jumlah ini diharapkan dapat memenuhi sekitar setengah dari kebutuhan susu nasional yang saat ini masih bergantung pada impor sebesar 3,7 juta ton per tahun.
Kementan optimis bahwa investasi ini akan menciptakan lapangan kerja baru, mengurangi pengangguran, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah sekitar.
Selain Poso, pemerintah juga berencana menyediakan lahan di Kalimantan dan Papua untuk pengembangan industri sapi perah.
Amran menekankan komitmen Kementerian Pertanian dalam mendukung investasi asing di sektor ini, memastikan kenyamanan bagi para investor agar tidak merasa kesulitan.
“Kami akan mengawal investasi ini secara langsung,” tegas Amran.
Bantah Impor Susu dari Vietnam
Diberitakan sebelumnya, Kementerian Pertanian (Kementan) menepis adanya rencana impor 1,8 juta ton susu dari Vietnam terkait Program Makan Bergizi Gratis yang diprakarsai Presiden Prabowo Subianto.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Informasi Publik Kementan Moch Arief Cahyono menjelaskan bahwa Kementan tidak memiliki rencana untuk melakukan impor tersebut. Sebaliknya, Kementan mengajak investor asal Vietnam untuk membangun industri sapi perah di Indonesia.
“Perlu ditegaskan bahwa Indonesia tidak merencanakan impor 1,8 juta ton susu dari Vietnam. Kebijakan Kementan adalah mengundang investor dari Vietnam untuk membangun industri sapi perah di Indonesia, dengan tujuan meningkatkan produksi susu nasional, bukan mengimpor produk susu,” ujar Arief, Minggu 27 Oktober 2024.
Arief menyatakan bahwa pernyataan ini perlu disampaikan untuk meluruskan informasi yang beredar terkait investasi perusahaan asal Vietnam yang direncanakan menghasilkan produksi susu sebanyak 1,8 juta ton di Indonesia.
Kementerian Pertanian, menurut Arief, berfokus pada kerja sama peningkatan kapasitas produksi dalam negeri agar Indonesia mencapai kemandirian pangan, sesuai dengan arahan Presiden Prabowo Subianto.
Kata Arief, investor dari Vietnam rencananya akan mengelola lahan 10.000 hektar di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, dan membangun fasilitas pengolahan susu yang diproyeksikan mampu menghasilkan hingga 1,8 juta ton per tahun.
“Target produksi ini bukanlah hasil dari impor, melainkan dari kapasitas produksi lokal yang akan dibangun dan ditingkatkan melalui investasi tersebut,” jelas Arief.
Jika investasi tersebut berjalan sesuai rencana, Kementerian Pertanian memperkirakan produksi susu dalam negeri akan mencapai target 1,8 juta ton dalam waktu tiga hingga lima tahun mendatang.
“Dengan demikian, produksi dalam negeri dapat memenuhi sekitar setengah dari kebutuhan nasional yanag saat ini masih mengandalkan impor sebesar 3,7 juta ton per tahun,” jelasny.
Arief berharap inisiatif ini akan menciptakan lapangan kerja, menekan angka pengangguran, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi investasi. Ia menambahkan, rencana ini adalah langkah konkret Kementan dalam mengurangi ketergantungan impor dan memperkuat industri persusuan nasional untuk mencapai kemandirian pangan nasional.
“Kami berharap rekan-rekan media dapat menyampaikan informasi ini secara utuh dan akurat, serta mendukung Kementan dalam mendorong pembangunan industri peternakan nasional guna mencapai kemandirian protein hewani di Indonesia,” ujar Arief.
Ketersediaan Susu Ikan Diragukan
Wacana mengenai penggunaan susu ikan sebagai alternatif pengganti susu sapi dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Indonesia disorot oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).
Organisasi ini mengungkapkan, nelayan Indonesia saat ini tengah menghadapi kesulitan dalam memperoleh ikan, sehingga memunculkan pertanyaan tentang kelayakan dan ketersediaan bahan baku tersebut.
Awalnya Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati memberikan apresiasi terhadap upaya pemerintah untuk mendorong konsumsi susu ikan sebagai solusi untuk memenuhi kebutuhan protein masyarakat. Namun, dia menggarisbawahi perlunya jaminan dari Presiden terpilih, Prabowo Subianto, mengenai ketersediaan ikan yang cukup.
“Apakah Prabowo benar-benar memahami kondisi yang dihadapi para nelayan di pesisir dan pulau-pulau kecil, yang justru kesulitan mendapatkan ikan?” tanyanya saat diwawancarai oleh Kabar Bursa pada Senin, 14 September 2024.
Herawati menjelaskan bahwa di berbagai wilayah pesisir, para nelayan menghadapi tantangan serius.
“Saat ini, kita membutuhkan susu ikan untuk memenuhi kebutuhan protein, tetapi apakah Prabowo menyadari berapa banyak stok ikan yang ada dan tantangan yang dihadapi nelayan,” ujarnya.
Salah satu contoh konkret disampaikan Susan, yakni kondisi di Masalembu, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Di daerah tersebut, ketidaktersediaan listrik menyebabkan banyak ikan yang diperoleh nelayan mati sebelum sempat diolah.
“Saya baru mendapat kabar dari teman-teman nelayan di Masalembu, banyak ikan mereka yang mati karena tidak ada listrik. Ini tentunya semakin mempersulit keadaan,” ungkapnya.
Kondisi ini menyebabkan banyak nelayan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil kesulitan untuk mendapatkan ikan yang sehat dan bersih. “Ikan saja sulit didapat karena berbagai masalah di pesisir yang terjadi,” kata Susan.
Dia kemudian membahas anggaran yang diperlukan jika susu ikan jadi pengganti susu sapi dalam program Makan Bergizi Gratis, yang ditujukan untuk menjangkau 70,5 juta orang dari tahun 2025 hingga 2029. “Anggaran yang diperlukan akan mencapai Rp450 triliun,” jelasnya.
Lebih lanjut, Susan mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan protein melalui susu ikan, mengingat ikannya sendiri sulit dicari. Salah satu isu yang diangkat adalah masalah infrastruktur “rantai dingin” yang belum terselesaikan.
“Kebijakan yang ada tidak menjawab tantangan ketersediaan ikan, terutama terkait infrastruktur rantai dingin yang masih kurang,” ungkapnya.
Untuk diketahui, yang dimaksud dengan Infrastruktur Rantai Dingin adalah menjaga mutu ikan dengan menerapkan suhu rendah selama proses pengumpulan, pengolahan, hingga sampai ke konsumen.
Kembali lagi ke Susan, dia menekankan bahwa aspek ini tidak pernah menjadi perhatian dalam anggaran belanja negara.
Dia menilai program-program yang ada hanya bersifat sementara dan tidak berkelanjutan, mirip dengan pemadam kebakaran. (*)