Logo
>

IPO Inalum: Prospek Cerah, tapi Tantangan Global Mengintai

Ditulis oleh Dian Finka
IPO Inalum: Prospek Cerah, tapi Tantangan Global Mengintai

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - PT Indonesia Asahan Aluminium atau Inalum bersiap melantai di bursa saham pada 2026-2027. Langkah strategis ini dinilai sebagai peluang besar bagi MIND ID yang menjadi induk perusahaan tersebut. Namun, memperdagangkan saham Inalum untuk  publik bukan tanpa tantangan. Persaingan global dan harga komoditas yang angin-anginan menjadi faktor yang harus diperhitungkan dalam prospek saham Inalum ke depan.

    Analis pasar modal yang juga Founder Mikirduit, Surya Rianto, mengingatkan bahwa meski Inalum adalah satu-satunya produsen aluminium ingot di Indonesia, daya tarik sahamnya tetap bergantung pada dinamika pasar global. "Karakter saham komoditas logam itu sangat siklikal (naik-turun sesuai kondisi ekonomi), yang artinya sangat tergantung pada fluktuasi harga di pasar internasional," ujar Surya kepada KabarBursa.com di Jakarta, Kamis, 13 Februari 2025.

    Salah satu rencana besar Inalum adalah meningkatkan kapasitas produksi hingga tiga kali lipat. Menurut Surya, jika target ini tercapai, potensi pertumbuhan laba perusahaan bisa sangat besar. Berdasarkan simulasi yang ia lakukan, produksi aluminium Inalum yang saat ini berada di angka 275.000 ton per tahun dapat meningkat menjadi 700.000 ton per tahun. Dengan harga pasar aluminium sedikit di bawah USD2.500 per ton, potensi pendapatan perusahaan milik negara ini bisa melonjak hingga 1.545 persen.

    "Jika target kapasitas produksi tercapai, pendapatan bisa meningkat signifikan, dari sekitar USD687 juta (Rp11 triliun) menjadi USD1,75 miliar (Rp28 triliun). Namun, pertumbuhan ini tidak akan terjadi dalam waktu singkat karena peningkatan kapasitas akan dilakukan bertahap dan memerlukan waktu beberapa tahun," jelas Surya.

    [caption id="attachment_120037" align="alignnone" width="1080"] Founder Mikirduit, Surya Rianto. Foto: Instagram @surya_rianto.[/caption]

    Namun, sebelum memutuskan investasi, investor perlu mempertimbangkan fundamental keuangan perusahaan. Hingga saat ini, laporan keuangan Inalum belum bisa diakses publik. Menurut Surya, transparansi ini akan menjadi faktor penting dalam menilai kelayakan IPO mereka. "Itu penting untuk menentukan apakah kinerja keuangan mereka benar-benar mendukung proyeksi pertumbuhan tersebut," ujarnya.

    Selain tantangan internal, kondisi pasar aluminium dunia juga menjadi faktor penentu bagi prospek Inalum. Persaingan dengan produsen aluminium global yang sudah mapan menjadi salah satu tantangan yang perlu dicermati. Meskipun Inalum memiliki keunggulan sebagai produsen tunggal di Indonesia, faktor eksternal seperti fluktuasi harga dan kebijakan perdagangan global tetap memengaruhi daya saingnya.

    "Inalum bisa menjadi alternatif bagi investor yang mencari saham di sektor logam industri, terutama setelah prospektus IPO diumumkan dan jika kinerjanya menarik. Namun, pasar saham komoditas logam tetap harus memperhitungkan fluktuasi harga yang dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal," kata Surya.

    Kinerja Inalum 2024 dan Target Pasar 2025

    [caption id="attachment_120034" align="alignnone" width="1280"] Tampak dari udara, kompleks pabrik PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) di Kuala Tanjung, Sumatera Utara, yang menjadi pusat produksi aluminium nasional. Foto: Dok. ESDM.[/caption]

    Inalum menargetkan penguasaan 48 persen pasar domestik aluminium pada 2025. Dikutip dari laman Indonesian Mining Association, Inalum memperkirakan akan memenuhi hampir setengah dari total kebutuhan aluminium primer nasional yang diperkirakan mencapai 472 ribu ton.

    Proyeksi kinerja tahun ini didukung oleh pertumbuhan signifikan yang telah dicatatkan Inalum sepanjang 2024, terutama dari sisi penguatan keuangan dan efisiensi operasional. Sepanjang tahun lalu, Inalum membukukan pencapaian terbaik dalam sejarah operasionalnya melalui All-Time High Achievement Supply Chain & Commercial Management 2024.

    Dari sisi keuangan yang dpublikasikan MIND ID, Inalum mencatat kinerja positif pada kuartal II 2024 dengan pertumbuhan pendapatan sebesar 38 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Selain itu, laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) perusahaan juga melonjak 109,9 persen secara tahunan. Hal ini mencerminkan peningkatan efisiensi operasional dan ekspansi produksi yang lebih optimal.

    Produksi aluminium perusahaan mencapai 265.546 kilo ton (kT), rekor tertinggi sejak 2014 yang kala itu mencapai 264.474 kT. Dari sisi penjualan, Inalum mencatat volume tertinggi sebesar 263.195 metric ton (MT), melampaui rekor sebelumnya di 2013 yang berada di level 260.651 MT.

    Dorongan permintaan domestik juga makin kuat seiring dengan berbagai proyek infrastruktur nasional, pengembangan energi terbarukan, dan transportasi publik. Kombinasi antara pertumbuhan pasar global dan domestik diharapkan menjaga prospek industri aluminium tetap positif pada 2025.

    Inalum menargetkan Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah, Kalimantan Barat, yang dikelola oleh anak usahanya, PT Borneo Alumina Indonesia (BAI), akan mulai beroperasi pada awal 2025. Smelter ini memiliki kapasitas produksi sebesar 1 juta ton alumina per tahun dan diharapkan dapat mengurangi dampak kenaikan harga alumina akibat dinamika pasar global.

    Hingga saat ini, permintaan aluminium dalam negeri berkisar antara 1,1 hingga 1,2 juta ton per tahun. Namun, hingga September 2024, lebih dari separuh atau sekitar 56 persen kebutuhan aluminium nasional masih harus dipenuhi melalui impor dengan nilai mencapai USD3,5 miliar.

    Dengan beroperasinya smelter SGAR serta peningkatan kapasitas produksi smelter aluminium di Kuala Tanjung, Sumatera Utara, Inalum berharap Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada impor aluminium dan meningkatkan kemandirian industri dalam negeri.

    Dari perspektif global, Inalum memproyeksikan adanya pertumbuhan permintaan aluminium sebesar 3,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini didorong oleh meningkatnya kebutuhan aluminium untuk proyek Ultra High Voltage (UHV) serta ekspansi energi terbarukan.

    Berdasarkan data Tradingeconomics yang dilihat Kamis, 13 Februari 2025, harga kontrak berjangka aluminium mengalami tekanan dan diperdagangkan di bawah USD2.630 per ton. Sentimen negatif ini dipicu oleh kebijakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang kembali memberlakukan tarif 25 persen terhadap semua impor baja dan aluminium.

    [caption id="attachment_120032" align="alignnone" width="1500"] Grafik menunjukkan fluktuasi harga aluminium dalam setahun terakhir berdasarkan data Trading Economics. Harga aluminium sempat mengalami lonjakan pada pertengahan 2024 sebelum mengalami koreksi tajam pada kuartal ketiga. Memasuki akhir tahun hingga awal 2025, harga kembali menguat, bergerak di kisaran USD2.600 hingga USD2.700 per ton. Sumber: Trading Economics.[/caption]

    Morgan Stanley menilai aluminium akan menjadi salah satu komoditas yang paling terdampak oleh kebijakan ini, mengingat penggunaannya yang luas dalam berbagai sektor seperti transportasi, konstruksi, dan pengemasan. AS sendiri sangat bergantung pada impor aluminium dengan Kanada sebagai pemasok terbesar, disusul oleh Uni Emirat Arab. Impor bersih menyumbang sekitar 82 persen dari total konsumsi aluminium di AS dan menjadikan industri ini rentan terhadap pembatasan perdagangan.

    Langkah tarif yang diambil Trump mencerminkan kebijakan serupa yang ia terapkan pada 2018, di mana ia memberlakukan tarif 10 persen pada impor aluminium dengan dalih melindungi keamanan nasional. Saat ini, harga aluminium telah mengalami kenaikan, didorong oleh keterbatasan pasokan serta meningkatnya indikator manufaktur global.

    Di sisi lain, produksi aluminium di China mencapai rekor tertinggi 44 juta ton pada 2024, mendekati batas yang ditetapkan pemerintah sebesar 45 juta ton. Kebijakan pembatasan produksi ini pertama kali diterapkan pada 2017 sebagai bagian dari strategi untuk mengendalikan kelebihan pasokan serta mendukung target emisi karbon negara tersebut.

    Sementara itu, China telah mengumumkan penghentian program rebate pajak ekspor bagi industri tembaga dan aluminium sejak Desember 2024. Kebijakan ini diambil setelah adanya tekanan dari mitra dagang utama seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Amerika Selatan yang menilai adanya praktik perdagangan tidak adil di sektor tersebut.(*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.