Logo
>

Isi Disunat, Harga Melonjak, MinyaKita Langka: Lagu Lama!

Permasalahan terkait penyusutan isi dan penjualan MinyaKita di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Isi Disunat, Harga Melonjak, MinyaKita Langka: Lagu Lama!
MINYAKITA - Pemerintah menetapkan HET Minyakita naik menjadi Rp15.700 per liter. (Foto: Shutterstock)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, menyoroti permasalahan terkait penyusutan isi dan penjualan MinyaKita di atas Harga Eceran Tertinggi (HET). Menurutnya, kondisi ini bukanlah hal baru dan telah terjadi sejak pertengahan 2023.

    “Mengapa ada perusahaan menyunat isi MinyaKita? Mengapa pula mereka menjual di atas HET? HET MinyaKita saat ini Rp15.700/liter, mulai berlaku pada 14 Agustus 2024. HET ini naik dari HET sebelumnya sebesar Rp14.000/liter. MinyaKita di level konsumen berada di atas HET sebenarnya bukan hal baru. Harga nangkring di atas HET setidaknya sudah terjadi sejak pertengahan 2023. Jadi, harga di atas HET sudah cukup lama,” ujar Khudori dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Selasa 11 Maret 2025.

    Menurutnya, penyunatan isi kemasan MinyaKita oleh perusahaan diduga terjadi karena biaya pokok produksi yang sudah jauh melampaui HET. Harga bahan baku minyak goreng sawit, yakni CPO, dalam negeri selama enam bulan terakhir berkisar Rp15.000-16.000 per kg. Dengan konversi CPO ke minyak goreng sebesar 68,28 persen dan asumsi 1 liter setara 0,8 kg, maka harga CPO maksimal yang masih memungkinkan produksi MinyaKita sesuai HET adalah Rp13.400/kg.

    “Ini baru menghitung bahan baku CPO. Belum memperhitungkan biaya mengolah, biaya distribusi, dan margin keuntungan usaha. Kalau ketiga komponen itu diperhitungkan, sudah barang tentu harga CPO harus lebih rendah lagi. Artinya, dengan tingkat harga CPO saat ini dan keharusan produsen MinyaKita menjual ke Distributor 1 (D1) maksimal sebesar Rp13.500/liter adalah tidak mungkin tanpa kerugian,” jelasnya.

    Khudori menjelaskan bahwa terdapat dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, produsen tetap menjual MinyaKita sesuai HET, tetapi dengan mengorbankan kualitas, salah satunya dengan mengurangi isi kemasan. Kedua, produsen mempertahankan kualitas MinyaKita tanpa mengurangi isi, namun menjualnya dengan harga di atas HET. 

    Menurutnya, kedua pilihan tersebut berisiko dan melanggar aturan. Ia pun mempertanyakan apakah dalam situasi ini yang seharusnya disalahkan adalah pengusaha, pembuat regulasi, atau bahkan keduanya, mengingat aturan yang ada tidak memungkinkan usaha tetap berjalan tanpa melanggar ketentuan.

    “Tapi kalau aturan yang ada tidak memungkinkan usaha eksis dan sustain tanpa melanggar aturan, yang patut disalahkan pengusaha atau pembuat regulasi? Atau keduanya?” katanya.

    Khudori menyoroti bahwa skema Domestic Market Obligation (DMO) yang menjadi dasar kebijakan MinyaKita masih memiliki kelemahan. Sejarahnya, MinyaKita lahir dari program Minyak Goreng Rakyat yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 49/2022. Salah satu tujuannya adalah memastikan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri melalui skema DMO. Namun, menurutnya, skema ini tidak mengakomodasi fluktuasi harga CPO sebagai bahan baku utama minyak goreng.

    “Salah satu kelemahan skema DMO adalah beleid ini tidak mengakomodasi fluktuasi harga CPO sebagai bahan baku minyak goreng. Ketika harga CPO naik, otomatis harga MinyaKita juga naik. Sebaliknya, ketika harga CPO turun, harga MinyaKita di konsumen tidak otomatis turun. Jika pun terjadi penurunan, biasanya amat lambat. Selain itu, beleid ini juga potensial menghambat ekspor dan menurunkan penerimaan negara,” jelasnya.

     Rantai Distribusi Panjang 

    Khudori juga menyoroti temuan Kementerian Perdagangan dan Satgas Pangan yang menyebut bahwa harga MinyaKita di atas HET disebabkan oleh produsen yang menahan distribusi serta rantai distribusi yang panjang hingga ada D3 dan D4. Versi pemerintah menyebutkan distribusi MinyaKita dari produsen ke distributor I (D1) dijual seharga Rp13.500/liter, lalu ke D2 seharga Rp14.000/liter, ke pengecer Rp14.500/liter, dan akhirnya ke konsumen Rp15.700/liter. Namun, keberadaan D3 dan D4 memperpanjang rantai distribusi dan menaikkan harga di pasaran.

    “Agar distribusi tidak panjang, sebaiknya libatkan BUMN (BULOG dan ID Food) dalam distribusi. Dengan demikian, kontrol pemerintah lebih mudah,” usulnya.

    Lebih lanjut, Khudori menekankan bahwa perlu ada koreksi kebijakan agar ekosistem produksi MinyaKita tetap berjalan dengan baik. Ia menjelaskan bahwa pengelola kebun sawit, produsen MinyaKita, pedagang, dan konsumen merupakan bagian dari satu mata rantai yang saling terhubung. Jika salah satu pihak terpaksa keluar karena ekosistem yang ada tidak mendukung keberlanjutan usaha, maka mata rantai produksi akan terganggu, dan hal itulah yang berpotensi terjadi saat ini.

    “Pengelola kebun sawit, produsen MinyaKita, pedagang, dan konsumen adalah satu mata rantai tak terputus. Kalau ada salah satu yang harus keluar karena ekosistem tidak memungkinkan usaha berlanjut, mata rantai produksi bakal terganggu. Itulah yang berkemungkinan terjadi saat ini,” ujarnya.

    Sebagai solusi, Khudori menyarankan agar subsidi MinyaKita dilakukan melalui mekanisme transfer tunai agar lebih tepat sasaran. Menurutnya, bantuan tersebut sebaiknya hanya dapat digunakan untuk membeli MinyaKita dan tidak bisa dicairkan atau digunakan untuk keperluan lain. Dengan cara ini, distorsi harga dapat dihindari, sekaligus memastikan subsidi benar-benar menyasar kelompok miskin, rentan, dan UMKM. Ia juga menambahkan bahwa kebijakan lain yang lebih ramah pasar bisa menjadi alternatif.

    “Kalau hendak mensubsidi MinyaKita untuk kelompok miskin/rentan dan UMKM, sebaiknya dilakukan dengan transfer tunai. Uang hanya bisa digunakan untuk membeli MinyaKita. Tidak bisa dicairkan atau digunakan membeli yang lain. Cara ini tidak mendistorsi harga, selain juga lebih tepat sasaran. Atau kebijakan lain yang ramah pasar,” pungkasnya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.