KABARBURSA.COM – Pergerakan harga minyak dunia pada penutupan pekan ini, Sabtu pagi WIB, 13 Desember 2025, Kembali melemah. Tidak hanya tergerus permasalahan geopolitik, isu pasokan global yang paling berpengaruh.
Brent ditutup melemah tipis ke USD61,12 per barel, sementara WTI berakhir di USD57,44 per barel. Secara mingguan, kedua acuan ini sudah terkoreksi lebih dari 4 persen, setelah sebelumnya juga turun sekitar 1,5 persen pada sesi Kamis, 11 Desember 2025.
Konsistensi pelemahan ini menunjukkan pasar secara kolektif sedang memprice-in kondisi oversupply yang semakin jelas terlihat dalam proyeksi lembaga internasional.
Proyeksi terbaru International Energy Agency menunjukkan bahwa suplai minyak dunia pada tahun depan berpotensi melampaui permintaan, yaitu hingga 3,84 juta barel per hari, hampir setara dengan 4 persen dari total konsumsi global.
Angka sebesar ini memberikan sinyal kuat bahwa bahkan jika terjadi gangguan pasokan berskala terbatas, pasar masih memiliki bantalan yang cukup untuk menyerapnya tanpa lonjakan harga signifikan.
Ketegangan Geopolitik Kehilangan Daya Dorong
Sementara itu, ketegangan geopolitik justru kehilangan daya dorongnya. Penyitaan kapal tanker minyak Venezuela oleh Amerika Serikat, serta rencana intersepsi lanjutan terhadap pengapalan minyak negara tersebut, nyaris tidak menggoyang harga.
Andrew Lipow mengatakan, ketika pasokan global berlimpah, risiko geopolitik yang biasanya bersifat bullish berubah menjadi noise yang cepat diabaikan.
Berbeda dengan potensi kesepakatan damai antara Rusia dan Ukraina. Meski belum ada kepastian, pasar mempersepsikannya sebagai faktor yang dapat menjaga stabilitas pasokan dari Rusia. Ini memperkuat pandangan bahwa risiko upside harga dalam jangka pendek relatif terbatas.
Menariknya, terdapat perbedaan pandangan antar lembaga. Dalam laporannya, OPEC menilai bahwa keseimbangan pasokan dan permintaan global pada 2026 akan diperketat. Sementara IEA memproyeksikannya lebih bearish.
Untuk saat ini, pelaku pasar cenderung mengikuti narasi IEA yang lebih konservatif terhadap permintaan dan lebih agresif terhadap pertumbuhan pasokan.
Beberapa faktor pendukung harga memang masih ada, tetapi sifatnya terbatas dan belum cukup kuat untuk membalikkan tren. Serangan drone Ukraina terhadap infrastruktur minyak Rusia di Laut Kaspia, serta meningkatnya tensi diplomatik AS–Venezuela, menjadi faktor penahan laju penurunan.
Data terbaru juga menunjukkan bahwa ekspor produk minyak Rusia lewat jalur laut hanya turun tipis 0,8 persen pada November. Selesainya pemeliharaan kilang mampu menutupi penurunan ekspor dari rute selatan seperti Laut Hitam dan Laut Azov. Artinya, suplai dari Rusia tetap relatif tangguh.
Secara keseluruhan, performa Brent dan WTI saat ini mencerminkan pasar yang lebih percaya pada narasi kelebihan pasokan ketimbang risiko gangguan geopolitik. Selama data fundamental menunjukkan suplai yang longgar dan belum ada kejutan signifikan pada sisi permintaan, ruang pemulihan harga minyak tampak terbatas.
Sentimen global menempatkan minyak bukan sebagai aset lindung risiko, melainkan sebagai komoditas yang sedang menyesuaikan diri dengan realitas pasokan yang berlimpah.(*)