KABARBURSA.COM - Keputusan pemerintah untuk mencabut empat dari lima izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, mendapat tanggapan dari Greenpeace Indonesia.
Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik menyebut langkah ini sebagai awal penting untuk perlindungan kawasan. Namun, ia menegaskan bahwa perlindungan penuh dan permanen masih harus diperjuangkan.
“Pencabutan empat IUP ini menjadi setitik kabar baik dan langkah penting menuju perlindungan Raja Ampat secara penuh dari industri nikel,” kata Kiki pada Rabu, 11 Juni 2025.
Izin-izin yang dicabut pemerintah meliputi PT Kawei Sejahtera Mining (Pulau Kawe), PT Anugerah Surya Pratama (Pulau Manuran), PT Mulia Raymond Perkasa (Pulau Manyaifun dan Batang Pele), dan PT Nurham (Pulau Waigeo). Namun, satu izin lainnya masih aktif dan belum dicabut.
Kiki menyoroti peran masyarakat adat dan komunitas lokal yang tergabung dalam Aliansi Jaga Alam Raja Ampat sebagai kekuatan utama dalam mendorong perlindungan lingkungan di kawasan tersebut. Ia mengapresiasi gerakan publik yang terus bersuara, termasuk melalui kampanye #SaveRajaAmpat yang telah mengumpulkan lebih dari 60.000 tanda tangan petisi.
“Ketika masyarakat bersatu dan terus bersuara, kita bisa mendesak perubahan. Ini bukti nyata bahwa perjuangan kolektif bisa berdampak,” ujarnya.
Meski demikian, Greenpeace menegaskan bahwa pencabutan izin harus dibarengi dengan transparansi, termasuk dengan penerbitan surat keputusan resmi yang dapat diakses publik. Greenpeace juga meminta jaminan bahwa tidak ada reaktivasi izin tambang yang sebelumnya sudah dicabut.
“Kami menunggu bukti nyata di lapangan. Ada preseden izin yang sudah dicabut tapi muncul lagi setelah gugatan perusahaan, termasuk di Raja Ampat. Ini tidak boleh terulang,” tegas Kiki.
Minta Pemerintah Restorasi Ekologis
Greenpeace juga mendesak pemerintah untuk melakukan restorasi ekologis di wilayah-wilayah yang telah terdampak aktivitas tambang. Menurut Kiki, langkah ini penting untuk memulihkan fungsi lingkungan dan memastikan keberlanjutan ekosistem Raja Ampat.
Tak hanya itu, konflik sosial akibat kehadiran tambang juga menjadi perhatian serius. Greenpeace meminta pemerintah menjamin keselamatan masyarakat yang selama ini menolak tambang serta memastikan transisi yang adil bagi warga yang sebelumnya bekerja di sektor pertambangan.
“Pemerintah harus membangun ekosistem pariwisata berkelanjutan yang berpihak pada masyarakat adat dan komunitas lokal, serta menjamin hak-hak pekerja dalam proses transisi,” kata Kiki.
Lebih luas lagi, Greenpeace juga menyoroti kerusakan serupa yang terjadi akibat tambang nikel di pulau-pulau kecil lain di wilayah Indonesia Timur. Organisasi ini mendesak dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh izin tambang, khususnya di daerah yang dihuni masyarakat adat.
Sementara, Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economics Action Institution, Ronny P. Sasmita, mendorong pemerintah segera melakukan moratorium terhadap aktivitas pertambangan di wilayah konservasi tersebut.
“Pemerintah perlu berhenti melihat pertambangan sebagai sektor anak emas, apalagi jika itu mengorbankan kawasan strategis seperti Raja Ampat,” ujar Ronny.
Ronny menilai paradigma pembangunan nasional yang terlalu berpihak pada industri ekstraktif perlu segera diubah. Ia mengingatkan, banyak kasus pertambangan di Sulawesi telah menunjukkan bahwa dampak sosial dan ekologis dari eksploitasi nikel kerap kali lebih besar daripada manfaat ekonominya.
“Jangan sampai Papua mengalami reproduksi masalah seperti di Sulawesi. Pemerintah harus belajar dari pengalaman buruk itu dan tidak mengulanginya,” kata Ronny.
Menurutnya, kawasan seperti Raja Ampat yang secara administratif merupakan wilayah konservasi dan secara strategis menjadi pusat ekowisata nasional, seharusnya mendapat perlakuan regulatif yang jauh lebih ketat.
Izin pertambangan, apalagi dalam sektor nikel yang dikenal rawan merusak ekosistem, harus dikaji ulang dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan, status geopark dunia, serta dampaknya terhadap ekonomi pariwisata.
“Pariwisata di Raja Ampat adalah aset jangka panjang yang jauh lebih berkelanjutan daripada tambang. Keutuhan kontur lahan, terumbu karang, vegetasi, dan bentuk asli kawasan harus jadi prioritas,” ungkapnya.
Ronny mendorong agar semua izin tambang di kawasan ini dihentikan sementara, sembari dilakukan kajian khusus oleh tim independen. Ia menilai perlu ada formula baru yang mengedepankan keberlanjutan lintas sektor, bukan sekadar eksploitasi sumber daya alam jangka pendek.
“Stop dulu semua aktivitasnya. Lakukan evaluasi total. Lalu tetapkan aturan main baru yang melibatkan semua pihak dan mengedepankan potensi strategis Raja Ampat sebagai destinasi pariwisata nasional,” jelasnya.
Lebih jauh, Ronny menegaskan pentingnya diversifikasi ekonomi nasional agar tidak terlalu tergantung pada sektor tambang. Ketergantungan ini, menurutnya, menjadikan Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global dan tekanan geopolitik.
“Tidak semua lahan yang punya potensi tambang harus ditambang. Pemerintah perlu berpikir ulang soal strategi ekonomi nasional yang terlalu tambang-sentris,” ujar Ronny.
Ia juga mengingatkan soal jebakan zero sum game dalam komoditas nikel yang saat ini menjadi tulang punggung ambisi global untuk transisi energi bersih.
Di satu sisi, permintaan nikel meningkat karena baterai kendaraan listrik. Namun, di sisi lain, proses penambangannya justru merusak ekosistem yang ingin diselamatkan melalui dekarbonisasi.
Menurut Ronny, penerapan prinsip good mining practice wajib dilakukan secara ketat, dan khusus untuk kawasan seperti Raja Ampat, pendekatan pertambangan ramah lingkungan saja tidak cukup.