Logo
>

Izin Tambang Tabrak Tata Ruang di Kaltim, DPRD Mengadu ke Senayan

Wakil Ketua DPRD Kaltim soroti tambang ilegal, konflik lahan, dan pelanggaran izin yang tabrak tata ruang di wilayah pertambangan

Ditulis oleh Dian Finka
Izin Tambang Tabrak Tata Ruang di Kaltim, DPRD Mengadu ke Senayan
Ilustrasi: Lubang tambang menganga di Kalimantan Timur tampak hanya sepelemparan batu dari permukiman warga. Foto: Dok. JATAM.

KABARBURSA.COM – Kalimantan Timur nyaris kehilangan kendali atas aktivitas tambang. Dari jalan umum yang disulap jadi jalur hauling (pengangkutan tambang) hingga tambang yang berdempetan dengan rumah warga, kekacauan itu dipotret Wakil Ketua Komisi III DPRD Kaltim Akhmed Reza Fachlevi saat mengadu ke DPR RI.

“Kami datang membawa keresahan masyarakat daerah. Tambang di Kaltim ini sudah terlalu banyak melanggar aturan, bahkan membahayakan,” ujar Reza dalam audiensi dengan Komisi XII di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu 25 Juni 2025.

Akhmed menilai aktivitas pertambangan di daerahnya kian meresahkan. Ia menyoroti praktik penggunaan jalan umum sebagai jalur hauling dan crossing oleh kendaraan tambang yang menyebabkan kerusakan infrastruktur dan membahayakan keselamatan warga. Truk-truk pengangkut hasil tambang, menurut dia, kerap melintasi jalanan publik tanpa pengawasan memadai.

Ia juga mencatat sejumlah tambang berada terlalu dekat dengan kawasan permukiman. Selain polusi dan kerusakan lingkungan, kedekatan ini juga memicu konflik sosial di masyarakat. Bahkan, kata Reza, warga di sekitar tambang tak jarang hidup dalam kecemasan karena khawatir akan risiko longsor yang kerap terjadi.

Reza menyoroti sejumlah kasus yang baru-baru ini terjadi, seperti longsor di Desa Batuah dan Desa Pendingin di Kutai Kartanegara. Insiden ini menunjukkan betapa lemahnya pengawasan terhadap aktivitas pertambangan, baik yang berizin maupun yang ilegal.

“Di Kaltim, tambang ilegal bukan rahasia lagi. Semua orang tahu, tapi bertahun-tahun tak ada penindakan yang tegas,” katanya.

Menurut Reza, maraknya pertambangan tanpa izin (PETI) menjadi salah satu biang kerok kerusakan lingkungan yang sulit dikendalikan. Selain merusak alam, aktivitas ini juga kerap menjadi sumber konflik antara perusahaan dan masyarakat, hingga menimbulkan insiden berdarah.

“Konflik lahan dengan masyarakat hampir merata di semua kabupaten atau kota. Ada yang sampai berujung kekerasan. Ini sudah darurat,” katanya.

Tata Ruang Tak Sinkron, CSR Tak Maksimal

Permasalahan lain yang disorot Komisi III adalah ketidaksesuaian antara tata ruang dan izin pertambangan. Banyak izin yang diterbitkan di wilayah yang seharusnya menjadi kawasan lindung atau zona pemukiman.

“Kami temukan banyak kasus izin yang menabrak rencana tata ruang. Ini menunjukkan lemahnya koordinasi antar-instansi,” ujar Reza.

Tak hanya itu, program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (PPM) yang diwajibkan dalam regulasi pertambangan pun dinilai tidak berjalan maksimal. Menurut Reza, dana CSR sering kali tidak dirasakan langsung oleh masyarakat terdampak.

“Harusnya PPM jadi kompensasi bagi warga. Tapi yang terjadi, banyak program CSR yang tidak menyentuh kebutuhan riil masyarakat,” tegasnya.

Reza meminta masukan dari Komisi VII DPR RI sebagai acuan agar Pemerintah Provinsi Kaltim memiliki rujukan hukum yang kuat dalam merumuskan kebijakan di tingkat daerah. Ia berharap pertemuan ini menghasilkan rekomendasi konkret yang bisa menjadi dasar regulasi di Kaltim.

“Kami ingin pulang ke daerah dengan membawa referensi legal dan solusi nyata. Jangan sampai permasalahan ini dibiarkan berlarut-larut. Kaltim butuh tata kelola pertambangan yang berpihak pada rakyat dan lingkungan,” kata Reza.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Dian Finka

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.