Logo
>

Jelang Lebaran Pasar Blok M Sepi Pembeli

Tak banyak orang yang berburu kebutuhan Lebaran, hanya beberapa pengunjung yang terlihat berbelanja.

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Jelang Lebaran Pasar Blok M Sepi Pembeli
Seminggu jelang ramadan kondisi Pasaraya Blok M, Jakarta Selatan masih nampak sepi. Foto: Ayubbi/KabarBursa.com

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Tinggal sekitar sepekan lagi sebelum Ramadan berakhir, menandai datangnya Hari Raya Idulfitri 1446 H atau Lebaran 2025, yang diperkirakan jatuh pada Senin, 31 Maret 2025. Namun, suasana menjelang Lebaran tahun ini terasa berbeda. 

    Pasar Blok M Square di Jakarta Selatan yang biasanya ramai oleh pembeli justru tampak sepi. Tak banyak orang yang berburu kebutuhan Lebaran, hanya beberapa pengunjung yang terlihat berbelanja.

    Pantauan KabarBursa pada Selasa, 25 Maret 2025, sekitar pukul 16.30 WIB, menunjukkan deretan kios di pusat perbelanjaan itu lengang. Para pedagang hanya bisa duduk menunggu pelanggan yang tak kunjung datang.

    Beberapa pemilik toko pakaian dan aksesori Lebaran mengaku penjualan tahun ini jauh menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya. Salah satunya Aulia (32), pemilik toko busana muslim. Ia mengaku kondisi tahun ini berbeda dari biasanya.

    "Iya, sepi," ujarnya singkat kepada KabarBursa.com di lokasi.

    Ia bahkan membandingkan pendapatan hari ini dengan kemarin yang masih sedikit lebih baik. "Kemarin, jam segini saya sudah dapat Rp2 juta. Hari ini baru Rp700 ribu," tambahnya.

    Sementara itu, Irfan (28), seorang pedagang pakaian, merasakan betul sepinya pembeli tahun ini. Biasanya, seminggu sebelum Lebaran, pasar mulai dipadati pengunjung, terutama di akhir pekan.

    "Biasanya Sabtu-Minggu itu ramai, sekarang malah sepi, apalagi di hari biasa begini," ujarnya.

    Ia pun berharap kondisi berangsur membaik saat libur dan cuti bersama menjelang Lebaran. "Semoga nanti, dua atau tiga hari sebelum Lebaran, saat libur sudah mulai, pembeli bisa lebih banyak," tambahnya.

    Tren Deflasi Terus Berlanjut

    Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan IV-2024 mencatat angka 5,02 persen secara tahunan. Capaian ini membuat pertumbuhan sepanjang 2024 bertahan di 5,03 persen. Namun, menurut Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), angka ini menunjukkan stagnasi jika dibandingkan dengan capaian tahun sebelumnya.

    Tren deflasi yang terus berlanjut dan melemahnya Purchasing Managers’ Index (PMI) sepanjang triwulan IV-2024 menjadi tanda awal bahwa ekonomi Indonesia sedang mengalami perlambatan, baik dari sisi permintaan maupun penawaran. Hal ini pun tercermin dari laju pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

    Kepala Center of Industry, Trade, and Investment (CITI) INDEF, Andry Satrio Nugroho, menilai tantangan struktural yang dihadapi Indonesia semakin serius. Ia menegaskan tanpa langkah konkret dari pemerintah, sulit bagi ekonomi Indonesia untuk tumbuh di atas 5 persen pada 2025.

    “Indonesia saat ini mengalami tantangan struktural yang serius di mana dapat dilihat dari sisi daya beli masyarakat terus tergerus dan pelemahan industri yang cukup serius, sehingga dibutuhkan paket kebijakan stimulus untuk membangkitkan kedua hal tersebut,” ujar Andry dalam keterangan pers INDEF yang diterima KabarBursa.com, Kamis, 6 Februari 2025.

    Beberapa langkah yang diusulkan INDEF untuk mendorong sektor industri dan hilirisasi antara lain:

    1. Menjaga harga energi tetap kompetitif dengan memberikan keringanan bagi industri dalam pembayaran listrik dan menyalurkan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sesuai volume yang ditetapkan.
    2. Menekan biaya logistik melalui penurunan tarif tol khusus bagi kendaraan logistik.
    3. Mengevaluasi kebijakan larangan terbatas (lartas) serta perlindungan pasar domestik.
    4. Mengurangi beban pungutan dan iuran bagi perusahaan serta menindak pungutan liar yang merugikan industri.
    5. Memperluas akses kredit bagi industri manufaktur dan mendirikan lembaga penjaminan investasi khusus untuk proyek hilirisasi.

    Sementara itu, Ekonom CITI INDEF, Dzulfian Syafrian, menyoroti bagaimana belanja pemerintah yang selama ini menjadi salah satu motor utama pertumbuhan ekonomi kini mengalami pengetatan. Menurutnya, beban pertumbuhan ekonomi kini beralih ke sektor swasta.

    Dzulfian menilai dengan adanya kebijakan efisiensi belanja pemerintah, tanggung jawab menjaga pertumbuhan ekonomi kini beralih ke sektor swasta. Ia mempertanyakan apakah kemudahan berusaha, kondisi industri, iklim investasi, serta kebijakan insentif yang ada sudah cukup untuk mendorong sektor swasta berperan lebih besar.

    Menurutnya, tanpa kebijakan yang lebih progresif dan konkret, target pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, apalagi mencapai 8 persen, bisa menjadi sesuatu yang sulit terwujud. “Tanpa kebijakan yang lebih progresif dan konkret, pertumbuhan di atas 5 persen apalagi cita-cita 8 persen ini bisa jadi utopis,” ujarnya.

    Penyumbang Kenaikan Inflasi

     Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan kelompok makanan, minuman dan tembakau menjadi penyumbang terbesar kenaikan inflasi. Ketiganya berkontribusi terhadap kenaikan inflasi sebesar 1,33 persen dan berkontribusi sebesar 0,38 persen terhadap total inflasi.

    Ekonom Bright Institute Muhammad Andri Perdana menilai kenaikan harga makanan, minuman dan barang konsumsi pada Desember 2024 adalah hal wajar seiring dengan peningkatan permintaan pada akhir tahun.

    “Kalau bicara inflasi Desember, kenaikan harga barang konsumsi sudah jadi pola tahunan,” kata Andri kepada kabarbursa.com, Sabtu, 4 Januari 2025.

    Andri menilai ada sesuatu yang berbeda dari inflasi Desember 2024 di mana dalam setahun terakhir, emas menjadi salah satu komoditas yang berkontribusi menyumbang inflasi dan melampauai tahun-tahun sebelumnya.

    “Ini menandakan daya beli masyarakat kelas bawah dan menengah terhadap barang kebutuhan pokok melemah sepanjang tahun,” jelasnya.

    Untuk diketahui, peran emas perhiasan dalam inflasi tahunan (YoY) yang mencapai 1,57 persen pada tahun ini. Dari angka tersebut, 0,35 persen berasal dari komoditas emas perhiasan.

    “Jika ditarik dalam setahun terakhir, andil kenaikan harga emas perhiasan justru terlampau besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dari inflasi YoY sebesar 1,57 persen, sebanyak 0,35 persen disumbang oleh emas perhiasan,” ujar Andri

    Sebelumya, emas perhiasan menyumbang 0,11 persen dari total inflasi sebesar 2,61 persen. Bahkan pada tahun 2019 emas perhiasan menjadi penyumbang utama inflasi dengan angka di kisaran 0,16 persen dari total inflasi 2,72 persen.

    “Secara nominal dan proporsional, kontribusi emas perhiasan kali ini lebih besar. Ini menandakan daya beli masyarakat kelas bawah dan menengah terhadap barang kebutuhan pokok melemah sepanjang tahun,” jelasnya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.