KABARBURSA.COM - Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) 2024 berpotensi menambah ketidakpastian signifikan pada pasar minyak dunia dalam waktu dekat.
Kembali terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS melalui pemilu November ini bisa mengubah dinamika pasar minyak. Trump, yang mencalonkan diri dari Partai Republik, diperkirakan akan menerapkan kebijakan yang lebih agresif terhadap minyak Iran dibandingkan rivalnya dari Demokrat, Kamala Harris.
Tren produksi minyak Iran meningkat pesat di bawah pemerintahan Joe Biden, namun Trump diyakini akan menekan lebih keras. Menurut tim riset BMI, bagian dari Fitch Solutions, meskipun kebijakan agresif Trump terhadap Iran sudah diprediksi, dampaknya terhadap produksi minyak mentah Tehran masih dipertanyakan.
“Beberapa faktor, termasuk perubahan pembeli di China, membuat kami ragu Trump dapat mempengaruhi produksi Iran seperti yang terlihat pada 2018. Namun, pandangan ini masih jauh dari pasti,” ungkap laporan tersebut pada Selasa 13 Agustus 2024.
Tak hanya Iran, Venezuela, yang juga menjadi sasaran tekanan maksimal Trump, akan terus mengamati perkembangan pemilihan AS. Biden sempat menawarkan keringanan sanksi untuk menghidupkan kembali hubungan dengan Caracas. Walaupun sanksi diberlakukan kembali pada April tahun ini, beberapa konsesi penting masih memungkinkan produksi Venezuela berlanjut.
Brent Terdampak
Menurut analisis BMI, jika Trump menang pada November, harga Brent diprediksi akan kembali menguat. Namun, ada kemungkinan skenario yang bisa membuat masa jabatan kedua Trump justru menekan harga minyak.
“Trump sangat mendukung sektor minyak dan berjanji untuk terus melakukan pengeboran. Namun, kami tidak percaya masa jabatan kedua Trump akan berdampak drastis pada produksi, karena pertumbuhan yang melambat secara struktural dalam beberapa tahun ke depan, seiring matangnya aset ladang serpih dan pergeseran strategi perusahaan migas,” jelas tim riset BMI.
Perlambatan ini memberikan OPEC+ keleluasaan lebih dalam membalikkan kebijakan pemangkasan tanpa merusak pasar. Meskipun demikian, produksi non-OPEC di luar AS akan mencapai puncak multidekade selama 2024-2025, menjadi faktor utama penurunan harga Brent tahun depan.
BMI memperkirakan harga minyak Brent akan berada di rata-rata USD85/barel pada 2024, sebelum turun menjadi USD82/barel pada 2025. Namun, mereka memperingatkan adanya risiko signifikan yang bisa menekan harga minyak lebih dalam. Kontrak Brent bulan depan saat ini diperdagangkan sekitar USD77/barel, setelah mencapai titik terendah tahun ini senilai USD76,3/barel pada penutupan 5 Agustus.
“Aksi jual stok minyak di pasar berlanjut, meskipun ketegangan di Timur Tengah meningkat. Hal ini mencerminkan kekhawatiran terhadap kesehatan ekonomi global,” kata mereka.
Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas), Moshe Rizal, menyebut harga Brent bisa jatuh di bawah USD70/barel jika kondisi ekonomi AS memburuk.
Moshe menekankan bahwa resesi akan menurunkan daya beli masyarakat, termasuk untuk sektor energi, yang bisa mengakibatkan oversupply dan penurunan harga minyak. “Konsumsi energi akan turun, yang berpotensi menyebabkan oversupply dan menurunkan harga minyak,” ujarnya.
Dilansir dari Energy Information Agency (EIA), AS merupakan konsumen utama minyak dengan konsumsi sebesar 20,01 juta barel per hari pada 2022, mencakup 20 persen dari total konsumsi global.
Meski demikian, Moshe meyakini bahwa harga Brent di level USD60 hingga USD70/barel masih aman dan tidak akan membunuh industri minyak di AS. “Industri minyak tidak akan mati dengan harga USD60/barel, dan jika USD70/barel masih ada margin,” tambahnya.
Namun, Moshe mengingatkan bahwa pelaku industri lebih mementingkan stabilitas harga dibandingkan volatilitas. Volatilitas tinggi bisa menimbulkan ketidakpastian, menghambat ekspansi dan investasi di sektor minyak.
Skenario Bullish/Bearish Harga Minyak Dunia
Sentimen Trump yang Berpotensi Mendorong Harga Minyak Naik (Bullish):
- Pembatalan dukungan federal untuk kendaraan listrik dan energi rendah karbon lainnya. Potensi subsidi untuk bahan bakar fosil.
- Pengetatan sanksi terhadap Iran.
- Diplomasi yang tidak menentu, meningkatkan risiko geopolitik dan mendorong investasi aman.
- Melemahnya diplomasi iklim global, mengurangi transisi energi.
- Dolar AS yang lebih kuat akibat tarif impor, pembatasan imigrasi, diplomasi kasar, dan/atau krisis militer luar negeri.
Sentimen Trump yang Berpotensi Menekan Harga Minyak (Bearish):
- Kebijakan dan regulasi yang lebih mendukung produsen minyak, menurunkan biaya dan memberikan insentif untuk pengeboran.
- Meningkatnya aktivitas pengeboran minyak dan gas yang mendongkrak produksi jangka panjang.
- Inflasi lebih tinggi dan pertumbuhan PDB AS yang lemah akibat tarif impor luas.
- Proteksionisme perdagangan global membebani pertumbuhan perdagangan global.
- Dolar yang lebih lemah akibat pemotongan pajak, defisit fiskal besar, dan ancaman terhadap independensi The Fed. (*)