KABARBURSA.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan agar tidak ada kesalahpahaman perihal kebijakan pembukaan ekspor sedimen laut yang sebelumnya telah dilarang selama 20 tahun. Menurut Jokowi, yang diperbolehkan untuk diekspor adalah hasil sedimentasi laut, bukan pasir laut yang biasa dipahami. "Itu bukan pasir laut ya, yang dibuka adalah sedimen, sedimen yang mengganggu alur jalannya kapal," ujar Jokowi di di Menara Danareksa Jakarta, Selasa, 17 September 2024.&
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan belum lama ini mengeluarkan peraturan perihal ekspor pasir alam hasil sedimentasi di laut. Aturan ini tercantum dalam Permendag No. 20/2024 dan No. 21/2024, yang menjadi perubahan atas aturan sebelumnya tentang barang yang dilarang untuk diekspor. Peraturan ini mulai berlaku sejak 29 Agustus 2024 dan efektif setelah 30 hari kerja.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Isy Karim, menjelaskan ekspor hasil sedimentasi laut hanya bisa dilakukan jika kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi. Jenis pasir laut yang boleh diekspor adalah pasir alam dari hasil pembersihan sedimentasi laut dengan kriteria tertentu seperti ukuran butiran dan kadar logam.
Selain itu, Isy Karim menjelaskan ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha dan eksportir untuk bisa mengekspor sedimen laut. Pelaku usaha harus ditetapkan sebagai Eksportir Terdaftar (ET), memiliki Persetujuan Ekspor (PE), dan Laporan Surveyor (LS). Mereka juga diwajibkan memiliki Izin Pemanfaatan Pasir Laut dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Izin Usaha Pertambangan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Selain itu, eksportir harus membuat surat pernyataan bermaterai yang menyatakan pasir hasil sedimentasi yang diekspor berasal dari lokasi pengambilan sesuai titik koordinat yang telah diizinkan. Mereka juga perlu mendapatkan Rekomendasi Ekspor Pasir Hasil Sedimentasi dari KKP dan memenuhi kebutuhan dalam negeri melalui mekanisme domestic market obligation (DMO).
Isy berharap pelaku usaha dan eksportir dapat menjalankan kegiatan ekspor sesuai dengan peraturan yang berlaku sehingga dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia.
Tak Sejalan dengan Komitmen Pengurangan Emisi
Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB University Yonvitner, mengatakan kegiatan pengerukan sedimen laut berpotensi mengganggu ekosistem laut.
“Terjadi perubahan habitat biota benthic, yaitu peningkatan bahan tersuspensi di perairan yang dapat meningkatkan endapan material pada ekosistem perairan,” kata Yonvitner kepada KabarBursa, Selasa, 10 September 2024.
Menurut dia, kondisi tersebut bisa menyebabkan tertutupnya polip karang dan potensi kematian jika menjangkau ekosistem terumbu karang. Selain itu, daerah perikanan yang digarap masyarakat, terutama daerah yang beririsan dengan penangkapan, juga bisa terganggu.
Daerah pemanfaatan sedimen sebagian besar berada di bawah 12 mill dari permukaan laut yang menjadi daerah penangkapan nelayan tradisional (nelayan kecil) yang berbasis izin provinsi. Potensi lepasnya karbon akibat pembersihan akan menyebabkan karbon yang tersedimentasi lepas ke perairan,” jelasnya.
Lebih lanjut Yonvitner juga menerangkan dampak jangka panjang dari kegiatan ekspor pasir laut. Menurutnya, struktur dasar laut dapat mengubah pergerakan arus dan gelombang hingga risiko pada abrasi pantai.
“Komitmen mengurangi emisi dengan menangkap karbon akan kontraproduktif dengan kegiatan pengerukan yang melepaskan karbon. Dua pekerjaan yang kontraproduktif,” kata dia.
Dalam konteks negara kepulauan, lanjut dia, ada potensi perubahan garis pantai dan pulau, serta risiko dampak yang lebih besar dari keuntungan yang didapatkan. Yonvitner juga melihat Singapura akan menjadi peminat pasir laut untuk kebutuhan reklamasi untuk pembangunan pelabuhan yang berpotensi menjadi salah satu hub pelabuhan terbesar di dunia.
“Sementara pelabuhan Indonesia terus tertinggal dan makin tidak berdaya,” katanya.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, mengatakan permintaan akan pasir laut datang tidak hanya dari dari luar negeri, seperti Hong Kong dan Singapura. Namun, upaya pemerintah kini lebih berfokus pada memanfaatkan pasir tersebut untuk memenuhi kebutuhan domestik.
“Kami melihat bahwa permintaan dalam negeri jauh lebih tinggi daripada permintaan ekspor,” ujar Trenggono.
Pengelolaan pasir hasil sedimentasi laut tidak hanya mencakup aspek ekonomi, tetapi juga lingkungan. Pengambilan pasir yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan ekosistem laut yang sensitif dan berdampak pada keberlanjutan lingkungan hidup. Oleh karena itu, implementasi regulasi yang ketat diperlukan untuk memastikan bahwa eksploitasi pasir dilakukan secara bertanggung jawab.
Peneliti China-Indonesia di Center for Economic and Law Studies (Celios), Muhammad Zulfikar Rakhmat, menyarankan agar pemerintah juga memperhatikan penerapan prinsip Environmental, Social, Governance (ESG) dalam pengelolaan pasir. “ESG perusahaan asing yang tertarik berinvestasi di sektor ini masih perlu ditingkatkan untuk memastikan dampak lingkungan dan sosialnya minimal,” ujar Zulfikar.
Langkah-langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah Indonesia untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Dengan pengaturan yang lebih ketat dan pengawasan yang lebih baik, diharapkan pengelolaan pasir hasil sedimentasi laut dapat memberikan manfaat maksimal bagi pembangunan nasional tanpa mengorbankan keberlanjutan lingkungan.
WALHI Riau sempat mengecam keras kebijakan KKP terkait penetapan lokasi penambangan pasir laut yang didasarkan PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Menurut WALHI Riau, kebijakan ini berpotensi memperburuk kondisi ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan masyarakat di Pulau-Pulau dan Pesisir Indonesia.
Direktur WALHI Riau, Even Sembiring, menegaskan kebijakan ini hanya mengedepankan orientasi bisnis semata, tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya yang signifikan.
“Negara hanya melihat sumber daya alam sebagai aset yang harus dieksploitasi tanpa memperhatikan akibatnya. Kebijakan ini akan melegalkan aktivitas penambangan pasir laut dan membuka pintu lebar untuk ekspor, tanpa memperhatikan kesehatan laut dan keamanan jalur pelayaran,” ujar Even.
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM tahun 2023, tercatat ada tujuh perusahaan tambang pasir laut yang akan beroperasi di perairan Pulau Rupat dan Dumai. Bahkan, potensi tambahan perusahaan lain yang akan beroperasi di wilayah tersebut tidak tertutup kemungkinan. Langkah ini dipandang sebagai potensi peningkatan dampak negatif terhadap lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat setempat.
Masuknya Kepulauan Riau, termasuk Pulau Karimun, Pulau Lingga, dan Pulau Bintan, sebagai target penambangan pasir laut juga menjadi perhatian serius. WALHI Riau menilai hal ini akan meningkatkan tekanan terhadap lingkungan, terutama di tengah ancaman Program Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City yang berpotensi menggusur 7.500 jiwa dari 16 kampung tua di Pulau Rempang. Masyarakat setempat masih bertahan menolak relokasi, dengan alasan menjaga kearifan lokal dan kondisi alam sekitar yang merupakan bagian penting dari budaya mereka.
Even Sembiring menegaskan pentingnya mempertimbangkan kembali kebijakan ini dengan melibatkan dialog yang lebih luas dan memperhatikan keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dengan keberlanjutan lingkungan serta kehidupan sosial masyarakat lokal. “Kami mengajak pemerintah untuk memperhitungkan dampak jangka panjang dari kebijakan ini terhadap lingkungan hidup dan kehidupan sosial masyarakat, serta untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan,” kata Even.(*)