KABARBURSA.COM - Jumlah kelas ekonomi bawah alias penduduk miskin di masa 10 tahun pemerintahan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mengalami peningkatan. Artinya, terjadi penurunan kelas ekonomi menengah.
Berdasarkan kriteria Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengacu pada Bank Dunia, jumlah masyarakat kelas menengah menyusut sebanyak 9,48 juta orang, dari 57,33 juta orang pada tahun 2019 menjadi 47,85 juta orang pada tahun 2024. Ini berarti penurunan persentase sebesar 4,13 persen dari total populasi.
Padahal, sebelumnya, pada periode 2002-2016, Bank Dunia mengapresiasi perkembangan kelas menengah di Indonesia melalui laporan berjudul ‘Aspiring Indonesia-Expanding the Middle Class’ yang menyebutkan bertumbuh pesatnya kelas menengah.
Pada periode tersebut, masyarakat kelas menengah Indonesia tumbuh dari 7 persen menjadi 20 persen dari total penduduk, mencapai 50 juta orang pada 2016. Selain itu, sekitar 115 juta orang atau 45 persen dari total populasi berada di jalur menuju kelas menengah.
Menurut Bright Institute kelas menengah memainkan peran krusial dalam perekonomian suatu negara. Di sisi permintaan, pertumbuhan kelas menengah yang pesat dapat meningkatkan konsumsi, yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan, mengurangi ketimpangan, dan memperkuat ketahanan ekonomi nasional.
“Dari sisi penawaran, kelas menengah berkontribusi pada penciptaan lapangan pekerjaan, kondisi pekerja yang lebih baik, dan investasi dalam pendidikan, yang semuanya dapat memperluas jumlah kelas menengah di masa depan,” tulis Bright Institute dalam rilisnya, Selasa, 17 September 2024
Berbanding terbalik dengan masa pemerintahan Jokowi yang mengindikasikan kinerja ekonominya yang kurang memuaskan. Hal ini diperparah dengan bertambahnya jumlah kelompok yang menuju kelas menengah dan kelompok rentan miskin, serta stagnasi jumlah penduduk miskin antara 2019-2024.
Fenomena ini menambah risiko bagi perekonomian Indonesia di tahun-tahun mendatang. Jika terjadi guncangan eksternal atau kondisi global memburuk, Indonesia mungkin tidak memiliki daya tahan yang cukup. Ambisi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen menjadi hampir mustahil, karena penurunan kelas menengah menghambat pertumbuhan konsumsi dan dapat mempengaruhi investasi kecil dan menengah.
“Impian untuk tumbuh 8 persen nyaris mustahil terwujud. Berkurangnya kelas menengah akan menyulitkan pertumbuhan konsumsi. Bahkan sebagian investasi yang berskala kecil dan menengah pun akan tergerus,” terangnya.
Masalah ini tidak hanya terbatas pada kelas menengah, tetapi juga mencakup mereka yang rentan miskin dan miskin, yang menghadapi situasi lebih serius. Banyak dari mereka yang berada di sekitar garis kemiskinan dan sangat rentan jatuh miskin, sebagian besar hanya tergantung pada program bantuan sosial.
“Sebenarnya bukan hanya kelas menengah, melainkan mereka yang rentan miskin dan yang miskin memiliki masalah lebih serius. Banyak dari mereka yang tidak tergolong miskin namun berada di sekitar Garis kemiskinan, dan sangat rentan untuk jatuh miskin," jelas dia.
Karena itu, Bright Institute menyimpulkan bahwa penurunan kelas menengah dan peningkatan ketidakstabilan sosial berpotensi memperburuk kesenjangan sosial dan ketidakstabilan politik, serta melemahkan ketahanan ekonomi nasional di tengah guncangan eksternal di masa depan.
“Bahkan, kesenjangan sosial akan cenderung meningkat dan bisa berdampak pada ketidakstabilan sosial dan politik. Ditambah melemahnya daya tahan perekonomian nasional jika terjadi guncangan eksternal pada tahun-tahun mendatang,” pungkasnya.
Utang Pemerintahan Jokowi tidak Produktif
Ekonom dari Bright Institute Awalil Rizky mengkritisi besarnya jumlah utang yang ditinggalkan oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang menurutnya tidak produktif.
Awalil pun membeberkan empat bukti kuat yang menunjukkan bahwa utang tersebut tidak memberikan manfaat nyata bagi perekonomian Indonesia.
Pertama, pendapatan negara tidak tumbuh seiring dengan kenaikan utang. Menurut Awalil, peningkatan negara jauh lebih cepat dibandingkan pertumbuhan pendapatan negara.
Katanya, selama masa pemerintahan Jokowi, rasio utang terhadap pendapatan melonjak drastis, dari 168,27 persen pada 2014 menjadi 315,81 persen di 2024.
“Jadi, tidak terbukti utang itu menambah pendapatan negara. Utangnya berjalan lebih cepat dari pendapatan,” ucap Awalil, Selasa, 17 September 2024.
Kedua, nilai aset tetap yang diperoleh melalui utang tidak signifikan. Awalil menyoroti bahwa peningkatan utang tidak diiringi dengan kenaikan aset tetap yang sepadan. Contohnya, jalan nasional yang dibangun selama pemerintahan Jokowi jauh lebih sedikit dibandingkan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Jalan tol memang bertambah, tapi jalan nasional sangat sedikit. Begitu juga tanah, nilainya naik bukan karena pembelian tanah besar-besaran, melainkan karena revaluasi. Tidak ada kenaikan aset tetap yang signifikan akibat berutang,” terangnya.
Ketiga, investasi pemerintah di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga tidak membaik secara signifikan. Pertumbuhan penyertaan modal pemerintah (PMP) di BUMN tidak sejalan dengan kenaikan utang pemerintah pusat. Ini menjadi bukti lain bahwa utang tidak membawa dampak positif yang besar pada sektor ini.
“Utang tidak membuat investasi pemerintah di BUMN membaik secara signifikan,” tandas Awalil.
Keempat, laju pertumbuhan ekonomi tidak sebanding dengan kenaikan utang. Awalil menyimpulkan, meski utang terus bertambah, pertumbuhan ekonomi tidak mengalami percepatan yang berarti. Dengan kata lain, utang yang ditarik oleh pemerintahan Jokowi sebagian besar tidak produktif dan tidak membawa dampak yang diharapkan.
“Kenaikan utang tidak membuat pertumbuhan ekonomi lebih cepat dibandingkan saat utangnya lebih sedikit,” pungkasnya. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.