Logo
>

KADIN Desak Revisi PP 28/2024, Industri Tembakau Tertekan

KADIN mendesak revisi PP 28/2024 yang dinilai memberatkan sektor padat karya. Industri tembakau dan mamin disebut terancam, jutaan lapangan kerja bisa terdampak.

Ditulis oleh Dian Finka
KADIN Desak Revisi PP 28/2024, Industri Tembakau Tertekan
KADIN desak revisi PP 28/2024. Industri tembakau & mamin tertekan, ancam 15 juta lapangan kerja. Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

KABARBURSA.COM – Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia mendesak pemerintah untuk segera mengevaluasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024. Regulasi ini dinilai membebani pelaku usaha, khususnya di sektor padat karya seperti industri hasil tembakau serta makanan dan minuman (mamin). KADIN memperingatkan bahwa aturan tersebut berisiko menekan produktivitas industri dan mengancam keberlangsungan lapangan kerja.

Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia Bidang Perindustrian, Saleh Husin, menegaskan bahwa PP 28/2024 disusun tanpa kajian yang memadai dan berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap sektor industri. Ia menyebut, industri padat karya seperti industri hasil tembakau dan makanan-minuman sudah cukup tertekan oleh situasi ekonomi global.

“Sudah banyak contoh yang kita lihat belakangan ini, mulai dari tekstil hingga industri media. Saya sangat setuju dengan teman-teman serikat pekerja, bahwa di tengah gelombang ketidakpastian ekonomi ini, pemerintah tidak perlu tergesa-gesa dalam mengeluarkan sebuah kebijakan,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat, 9 Mei 2025.

Saleh menyebutkan bahwa regulasi ini memperberat beban industri hasil tembakau dan mamin yang saat ini sedang menghadapi tantangan berat. Lebih jauh, ia memperingatkan bahwa dampak PP 28 Tahun 2024 juga bisa memperbesar pasar rokok ilegal, yang menurut data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), sudah mencapai 6,9 persen pada 2023.

“Apalagi dengan semakin diketatkannya peraturan, maka semakin menjamur pastinya produk ilegal,” katanya.

Saleh Husin, yang juga mantan Menteri Perindustrian, menyoroti minimnya partisipasi pelaku usaha dalam proses penyusunan PP 28/2024. Ia menyatakan bahwa banyak masukan dari pelaku industri hasil tembakau, makanan dan minuman, serta kementerian terkait yang diabaikan oleh pemerintah.

“Oleh karenanya terdapat banyak pasal yang problematik dan justru dapat mematikan industri itu sendiri,” jelasnya.

KADIN Indonesia, lanjut Saleh, aktif memfasilitasi dialog antara pelaku usaha dan pemerintah guna mencari solusi terbaik. Menurutnya, penolakan terhadap PP 28 Tahun 2024 datang dari berbagai asosiasi, mulai dari sektor tembakau, periklanan, ritel, petani, buruh, hingga pedagang kecil.

“Seharusnya pemerintah membuka wadah untuk berdiskusi dengan pelaku industri dan mencari jalan tengah. Kami sebagai KADIN juga akan membantu menjembatani industri dengan pemerintah terkait hal ini,” tutur Saleh.

Ia menegaskan, menjaga keberlangsungan sektor padat karya sangat penting untuk menekan angka pengangguran, apalagi di tengah tren perlambatan ekonomi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 4,87 persen pada kuartal I-2025, jauh di bawah target 5 persen.

Saleh menambahkan, capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 ini masih tertinggal dari target pemerintah sebesar 8 persen dan kalah dari negara pesaing seperti Vietnam. Oleh karena itu, ia menilai penguatan sektor industri dalam negeri, termasuk industri hasil tembakau dan mamin, harus menjadi prioritas utama untuk mendorong perekonomian nasional.

Menurutnya, selain menarik investasi baru, pemerintah juga wajib menjaga dan mengembangkan investasi yang sudah ada agar industri tetap hidup. “Industri hasil tembakau ini merupakan salah satu industri yang harus dipertahankan oleh pemerintah, berhubung industri ini memiliki tenaga kerja dari hulu hingga hilir yang mencapai 6 juta orang,” kata Saleh.

Potret Industri: Kontribusi Besar, Ancaman Nyata


Industri hasil tembakau (IHT) dan makanan-minuman (mamin) selama ini dikenal sebagai tulang punggung sektor padat karya di Indonesia. Pada 2022, sektor IHT menyerap sekitar 5,98 juta tenaga kerja. Ini artinya, dari hulu ke hilir, jutaan keluarga menggantungkan hidupnya di sektor ini.

Sementara itu, sektor makanan dan minuman tak kalah besar perannya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), industri penyediaan makanan dan minuman menyerap sekitar 9,8 juta tenaga kerja hingga 2023—angka yang melonjak lebih dari 20 persen dibanding 2016. Lonjakan ini menggambarkan betapa sektor mamin menjadi salah satu motor penggerak ekonomi yang konsisten membuka lapangan kerja baru.

Tak hanya menyerap tenaga kerja, kontribusi ekonomi kedua sektor ini juga tidak bisa dianggap sepele. Industri hasil tembakau, misalnya, menyumbang 4,22 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Selain itu, penerimaan negara dari Cukai Hasil Tembakau (CHT) mencapai Rp216,9 triliun hanya pada tahun 2024—angka yang jelas menunjukkan betapa strategisnya sektor ini bagi pendapatan negara.

Industri makanan dan minuman pun berkontribusi besar, menyumbang 40,17 persen terhadap PDB industri pengolahan nonmigas dan sekitar 6,9 persen terhadap PDB nasional pada 2024. Kedua sektor ini bukan hanya urat nadi industri nasional, tapi juga menjadi benteng ekonomi rakyat.

Namun di balik angka-angka besar ini, bayang-bayang ancaman pengangguran tetap mengintai. BPS mencatat bahwa pada Februari 2025, tingkat pengangguran terbuka (TPT) memang turun tipis menjadi 4,76 persen dari 4,82 persen setahun sebelumnya. Tapi yang mengkhawatirkan, jumlah pengangguran secara absolut justru naik dari 7,2 juta menjadi 7,28 juta orang.

Ini terjadi karena laju pertumbuhan angkatan kerja lebih cepat dibanding penyerapan tenaga kerja. Kondisi ini makin mempertegas pentingnya menjaga stabilitas sektor padat karya, termasuk IHT dan mamin, agar tak ada lagi lonjakan pengangguran yang tak diantisipasi.

Masalah lain yang juga menjadi sorotan adalah peredaran rokok ilegal yang kian mengkhawatirkan. Pada 2024, proporsi rokok ilegal melonjak tajam hingga mencapai 46,95 persen, naik drastis dari 30,96 persen pada tahun sebelumnya. Jenis yang paling marak adalah rokok polos tanpa pita cukai, yang bahkan menguasai 95,44 persen dari total rokok ilegal yang beredar.

Kondisi ini diperkirakan merugikan negara hingga Rp97,81 triliun hanya dalam setahun. Lonjakan ini menguatkan kekhawatiran bahwa semakin ketatnya regulasi tanpa pengawasan yang memadai justru akan memicu pasar ilegal tumbuh subur.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Dian Finka

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.