Logo
>

Kadin Minta Iklan Rokok Tetap Diperbolehkan di Revisi UU Penyiaran

Kadin Indonesia menilai iklan rokok masih menjadi penopang utama pendapatan media penyiaran konvensional. Pembatasan jam tayang dinilai cukup sebagai pengaturan.

Ditulis oleh Dian Finka
Kadin Minta Iklan Rokok Tetap Diperbolehkan di Revisi UU Penyiaran
Kadin sebut iklan rokok masih jadi penopang utama pemasukan stasiun TV. Mereka minta draf RUU Penyiaran tak melarang total, cukup atur jam. Foto: riau.go.id.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran kembali mengundang perhatian pelaku industri. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengingatkan agar rancangan regulasi anyar ini tidak justru menekan ruang gerak lembaga penyiaran konvensional, yang kini tengah berjuang bersaing dengan platform digital.

    Salah satu poin yang disorot Kadin adalah keberlanjutan penayangan iklan rokok, yang hingga kini masih menjadi penopang utama pendapatan media penyiaran. Ketua Komite Tetap Penelitian dan Kebijakan Komunikasi dan Digital Kadin, Chris Taufik, menilai pembatasan total atas iklan tersebut bisa berdampak pada kelangsungan bisnis televisi dan radio konvensional.

    “Sehingga kalau dimungkinkan dan kelihatannya memang seharusnya bisa diberi ruang untuk itu tetap diperbolehkan hanya mungkin dengan pembatasan jam tayang seperti yang sudah berlaku sekarang. Sekarang kan boleh tapi jamnya malam,” ujar Chris saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja RUU Penyiaran Komisi I DPR RI, di Jakarta Pusat, Senin, 14 Juli 2025.

    Isu lain yang diangkat Kadin adalah kewajiban penayangan iklan layanan masyarakat (ILM). Menurut Chris, ketentuan itu tidak lagi selaras dengan realitas industri. Sejumlah anggota Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), kata dia, telah mengeluhkan beban produksi ILM yang minim peminat.

    “Beberapa teman dari Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) menyampaikan di dalam undang-undang sekarang ada kewajiban untuk menjalankan iklan layanan masyarakat, yang menjadi masalah adalah sangat kecil sekali iklan layanan masyarakat ini,” jelasnya.

    Chris menilai ILM tidak lagi memiliki permintaan nyata dari pemirsa maupun pengiklan. Namun, stasiun televisi tetap diwajibkan memproduksi konten tersebut karena ketentuan undang-undang yang masih berlaku. Ia menjelaskan kewajiban ini membuat sejumlah lembaga penyiaran swasta harus membuat ILM hanya demi memenuhi regulasi, meskipun tidak ada kebutuhan riil di lapangan. Menurutnya, fungsi ILM untuk mendukung program pemerintah pun saat ini tidak lagi berjalan melalui mekanisme tersebut.

    Selain itu, kewajiban penayangan konten lokal juga dinilai sudah tidak relevan. Pasca diberlakukannya Analog Switch-Off (ASO), siaran lokal justru berkembang secara organik melalui kehadiran televisi digital daerah. Bagi Chris, kewajiban tersebut tak lagi sejalan dengan dinamika industri penyiaran modern yang sudah lebih fleksibel dan terfragmentasi.

    “Setelah ada analog switch-off (ASO) itu banyak sekali muncul TV-TV lokal yang menyiarkan siaran-siaran lokal sehingga adanya kewajiban siaran lokal itu juga dipandang sudah tidak relevan,” kata Chris.

    Tak hanya itu, Kadin juga meminta peninjauan atas pembatasan durasi iklan maksimal 30 persen dari total jam tayang. Menurut Chris, kompetisi dengan platform digital seperti YouTube atau TikTok telah mengubah lanskap iklan. Ia menilai, publik kini punya daya saring sendiri terhadap konten beriklan tinggi.

    “Ada permintaan seperti untuk menaikkan batas maksimal siaran iklan, dan nanti pada kenyataannya di lapangan itu masyarakat sendiri yang akan menentukan... Penontonnya akan berkurang sendiri,” katanya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.