Logo
>

Kalah dari Vietnam, Aturan TKDN Diminta Lebih Fleksibel

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Kalah dari Vietnam, Aturan TKDN Diminta Lebih Fleksibel
Ilustrasi perbandingan investasi antara Indonesia vs Vietnam. (Foto: doc Kabar Bursa)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Kegagalan Indonesia menarik investasi strategis dari perusahaan teknologi global semestinya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah. 

    Dosen Ekonomi Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyarankan agar pemerintah mulai mempertimbangkan pelonggaran aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) demi mendorong masuknya investasi besar yang berdampak langsung pada ekosistem industri nasional.

    “Ketika mereka (investor) masuk tetapi ada komitmen untuk meningkatkan dan menggandeng produksi produsen lokal,” ujar Wijayanto dalam diskusi yang bertajuk Trump Trade War: Menyelamatkan Pasar Modal, Menyehatkan Ekonomi Indonesia, Jumat, 11 April 2025.

    Menurutnya, pendekatan yang lebih fleksibel dalam kebijakan TKDN bisa membuka jalan bagi Indonesia untuk menjadi destinasi relokasi perusahaan teknologi, terutama di tengah dinamika global yang membuat banyak industri besar mempertimbangkan perpindahan basis produksi dari negara lain.

    Ia menyinggung kasus Samsung sebagai contoh nyata. Perusahaan raksasa asal Korea Selatan itu memilih Vietnam sebagai lokasi ekspansi industri ketimbang Indonesia. Kesalahan kebijakan di masa lalu terkait TKDN disebutnya sebagai salah satu penyebab utama kegagalan tersebut.

    “Sekarang Vietnam miliki, kita tidak karena kesalahan masa lalu terkait TKDN,” tutur dia.

    Wijayanto menilai, jika saat itu Indonesia berhasil menjadi basis produksi Samsung, dampaknya terhadap ekonomi nasional akan sangat signifikan. Pasalnya, kehadiran perusahaan sekelas Samsung bukan hanya membawa investasi langsung, tapi juga menumbuhkan ekosistem industri teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di dalam negeri.

    Berangkat dari pengalaman itu, Wijayanto menegaskan pentingnya membicarakan ulang soal TKDN dalam konteks ekonomi saat ini. Terlebih, saat ada peluang baru dari perusahaan-perusahaan teknologi asal Amerika Serikat yang mulai melirik opsi relokasi dari Vietnam.

    “Ada harapan Indonesia menjadi negara pilihan jika aturan TKDN dibuat fleksibel,” tandasnya.

    Investasi di Indonesia Vs Vietnam

    Seperti diberitakan sebelumnya, Pengamat perbankan sekaligus praktisi sistem pembayaran, Arianto Muditomo, menilai pergeseran minat investor ke Vietnam berpotensi menekan prospek pertumbuhan perusahaan terbuka di Indonesia, khususnya di sektor manufaktur, teknologi, dan ekspor.

    “Hal ini bisa berdampak pada valuasi pasar yang kurang atraktif akibat minimnya arus modal baru serta lambatnya ekspansi produksi,” ujar Arianto saat dihubungi kabarbursa.com via sambungan telepon, Sabtu, 5 April 2025.

    Ia menjelaskan bahwa perusahaan yang bergantung pada investasi asing langsung atau pengembangan rantai pasok global akan menghadapi tantangan yang makin kompetitif.

    Menurut Arianto, korporasi dalam negeri perlu mengoptimalkan efisiensi operasional, memperluas jangkauan pasar, dan menjalin kemitraan strategis lintas negara untuk tetap bertahan dalam persaingan investasi kawasan.

    Vietnam Unggul dalam Berbagai Indikator

    Meskipun Indonesia memiliki populasi lebih besar—282 juta jiwa dibanding Vietnam yang berjumlah 101 juta jiwa—namun Vietnam berhasil menunjukkan performa ekonomi yang lebih kuat. Pertumbuhan ekonominya mencapai 7,09 persen di tahun 2024, mengungguli Indonesia yang tumbuh 5,03 persen.

    Dari sisi Foreign Direct Investment (FDI), Vietnam mencatat rasio investasi asing terhadap PDB sebesar 5,90 persen dalam periode 2010 hingga 2018. Sementara itu, Indonesia hanya mencatat 2,10 persen. Ini menunjukkan bahwa kepercayaan investor global terhadap Vietnam lebih tinggi.

    Keunggulan Vietnam juga tercermin dalam kebijakan fiskalnya. Tarif Pajak Penghasilan Badan di negara tersebut hanya sebesar 20 persen, dibandingkan dengan Indonesia yang menetapkan 25 persen. Demikian pula untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Vietnam hanya mengenakan 8 persen, sedangkan Indonesia menerapkan tarif sebesar 11 persen dan 12 persen untuk barang mewah.

    Tantangan Indonesia: Korupsi dan Birokrasi

    Indeks Persepsi Korupsi menjadi aspek lain yang memperlihatkan keunggulan Vietnam. Skor Vietnam berada di angka 41, sementara Indonesia hanya mencapai 34. Semakin rendah skor ini, menunjukkan tingkat korupsi yang semakin tinggi. Hal ini mencerminkan masih perlunya perbaikan dalam transparansi dan tata kelola Indonesia untuk menarik investor jangka panjang.

    Perbedaan daya tarik investasi juga tampak dari besaran modal yang ditanamkan oleh perusahaan global. Apple misalnya, telah berinvestasi sebesar Rp265,7 triliun di Vietnam, sementara di Indonesia hanya sebesar Rp1,6 triliun. Samsung pun demikian, dengan nilai investasi sebesar Rp289,8 triliun di Vietnam, jauh melebihi investasi mereka di Indonesia yang sebesar Rp8 triliun.

    Meskipun inflasi Indonesia hanya 1,57 persen dan lebih rendah dari Vietnam yang mencapai 3,63 persen, keunggulan dalam stabilitas harga saja tidak cukup. Tanpa pembenahan struktural, Indonesia masih sulit bersaing sebagai tujuan utama investasi asing.

    Investor Butuh Kepastian dan Efisiensi

    Arianto menjelaskan bahwa investor seperti Apple dan Samsung lebih memilih Vietnam karena iklim industri yang mendukung sektor manufaktur, infrastruktur logistik yang lebih maju, serta konsistensi kebijakan yang stabil.

    “Termasuk dengan Uni Eropa, serta efisiensi birokrasi yang lebih tinggi, yang mempercepat proses perizinan dan eksekusi proyek. Sementara Indonesia, meski memiliki pasar domestik besar, masih menghadapi hambatan regulasi, ketidakpastian kebijakan, dan biaya logistik yang relatif tinggi,” ungkapnya.

    Dari sisi fiskal, Indonesia masih bergulat dengan tantangan yang cukup besar. Kerumitan sistem perpajakan dan ketidakpastian hukum membuat banyak investor ragu untuk mengambil keputusan jangka panjang. Arianto menilai meskipun pemerintah telah menggulirkan reformasi lewat Undang-Undang Cipta Kerja dan sistem OSS RBA, implementasinya masih belum maksimal.

    “Dibanding Vietnam, Indonesia kalah dalam hal efisiensi regulasi, transparansi birokrasi, dan kestabilan insentif fiskal, sehingga daya saing investasi relatif tertinggal di kawasan ASEAN,” tutup Arianto.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.