KABARBURSA.COM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan perkembangan terbaru perihal dugaan kasus gratifikasi yang menyeret beberapa oknum pegawai Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam proses penawaran saham perdana atau Initial Public Offering (IPO).
Ketua Dewan Audit OJK, Sophia Wattimena, mengatakan pihaknya telah melakukan serangkaian pemeriksaan untuk mengusut dugaan keterlibatan OJK dalam kasus tersebut. Hingga saat ini, Sophia menegaskan tidak ada bukti yang mengindikasikan keterlibatan internal OJK.
"Belum ditemukan keterlibatan pihak internal OJK dalam skema penerimaan gratifikasi pegawai BEI," ujar Sophia dalam Rapat Dewan Komisioner OJK pada Selasa, 1 Oktober 2024.
OJK juga mengimbau pihak mana pun yang memiliki informasi atau bukti terkait kasus ini untuk melaporkannya melalui sistem whistleblowing yang disediakan. Hal ini guna memastikan transparansi dan integritas dalam penanganan kasus gratifikasi tersebut.
OJK juga telah berkoordinasi dengan pihak BEI perihal dugaan pelanggaran etika yang dilakukan oleh oknum karyawan di Self-Regulatory Organization (SRO) pasar modal. Kasus ini mencuat setelah beredar informasi bahwa manajemen BEI memutuskan hubungan kerja dengan lima karyawannya yang diduga terlibat dalam penerimaan gratifikasi selama proses IPO pada periode Juli-Agustus 2024.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, juga meanggapi soal kasus gratifikasi ini. Ia menegaskan OJK mendukung penuh langkah penegakan hukum jika pelanggaran ini terbukti. Menurut Mahendra, sebagai lembaga yang dipercaya mengelola transaksi dan investasi masyarakat, BEI harus menjaga integritas dengan ketat.
“Apabila ada hal-hal yang tidak berdasar ataupun melanggar terhadap ketentuan dan pengaturan yang berlaku, tentu harus diberikan sanksi yang seimbang,” kata Mahendra dalam peluncuran Peta Jalan Pengembangan dan Penguatan Industri Penjaminan 2024-2028 pada Jumat, 27 Agustus 2024, lalu.
Kasus ini sendiri melibatkan lima karyawan BEI yang diduga menerima imbalan untuk memperlancar proses pencatatan calon emiten di bursa. Karyawan tersebut diketahui bekerja di Divisi Penilaian Perusahaan BEI. BEI mengonfirmasi adanya pelanggaran etika yang dilakukan oleh oknum karyawannya dan telah mengambil tindakan disipliner sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna, menyatakan pelanggaran etika ini telah ditindak dengan serius. BEI telah menerapkan prinsip tata kelola yang baik serta mengimplementasikan Sistem Manajemen Anti Penyuapan berbasis ISO 37001:2016.
Namun, Nyoman juga memastikan bahwa kasus ini tidak berdampak pada perusahaan yang tercatat di bursa. Ia menegaskan bahwa seluruh perusahaan yang melakukan IPO di BEI telah memenuhi prosedur pencatatan sesuai dengan aturan yang berlaku. "Seluruh perusahaan tercatat telah melalui prosedur evaluasi di bursa dan memenuhi persyaratan pencatatan bursa," tegas Nyoman pada Sabtu, 28 Agustus 2024.
BEI: Tak Ada Anggota Bursa yang Terlibat
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa Bursa Efek Indonesia (BEI),Irvan Susandy, sebelumnya menegaskan anggota bursa atau perusahaan efek yang terlibat dalam kegiatan usaha penjamin emisi efek, perantara perdagangan efek, dan manajer investasi tidak tersangkut dalam kasus tersebut.
Meski banyak spekulasi beredar mengenai identitas emiten yang diduga terlibat dalam gratifikasi, otoritas BEI tetap menolak untuk memberikan keterangan lebih lanjut. Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna, pada Kamis, 19 September 2024, kepada wartawan menegaskan seluruh perusahaan yang tercatat di BEI telah melalui prosedur evaluasi ketat dan memenuhi seluruh persyaratan pencatatan. BEI juga secara konsisten memantau kinerja perusahaan-perusahaan tercatat serta memberikan pembinaan sesuai aturan yang berlaku.
Nyoman menegaskan, tidak ada pelanggaran peraturan yang dilakukan oleh calon perusahaan yang akan tercatat di BEI. Lebih lanjut dia menyatakan, hasil investigasi internal yang dilakukan BEI tidak akan dipublikasikan karena proses tersebut bersifat internal. BEI berkomitmen untuk tetap menjaga integritas bursa dan memastikan bahwa setiap pelanggaran terhadap kode etik atau aturan yang berlaku akan ditindak secara tegas.
Teknologi sebagai Solusi Antikorupsi
Pengamat pasar modal Wahyu Laksono, turut angkat bicara mengenai kasus gratifikasi yang menimpa BEI. Ia menegaskan bahwa jika dugaan gratifikasi terbukti benar, BEI harus bersikap tegas dan mengambil langkah hukum demi melindungi investor dan menjaga kepercayaan publik terhadap bursa. Menurutnya, penegakan hukum yang tegas dan adil sangat penting dalam menciptakan bursa yang transparan, adil, dan sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance, GCG).
Wahyu juga mengakui bahwa meskipun teknologi telah diterapkan untuk meningkatkan keterbukaan informasi dan pengawasan, masih ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu. Dalam konteks ini, ia menekankan bahwa teknologi informasi dan komunikasi harus dapat mendukung upaya anti-korupsi dengan memfasilitasi pengawasan publik serta memungkinkan pelaporan yang lebih efektif.
“Harus ada penegakan hukum dengan tujuan perlindungan investor serta demi kebaikan bursa sesuai prinsip keterbukaan, keadilan fairness dan GCG serta tuntutan ISO,” ujar dia kepada KabarBursa, Kamis, 29 Agustus 2024.
Menurutnya, peran aktif emiten dalam bekerja sama dengan pemerintah dan penegak hukum juga sangat diperlukan untuk mencegah kasus korupsi dan gratifikasi. Emiten diharapkan dapat memberikan masukan yang konstruktif dalam upaya memperkuat regulasi dan tata kelola di pasar modal Indonesia.(*)