KABARBURSA.COM - Keputusan pemerintah yang melonggarkan ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 serta Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 16 Tahun 2024 memantik reaksi keras dari kalangan akademisi, aktivis lingkungan, dan komunitas pesisir.
Kebijakan ini dinilai berpotensi merusak ekosistem laut, meningkatkan laju erosi pantai, mengganggu kelestarian terumbu karang, serta mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati. Dampak lebih luasnya, masyarakat pesisir—terutama nelayan—terancam kehilangan sumber penghidupan akibat rusaknya habitat perikanan tangkap mereka.
Lembaga riset ekonomi dan kebijakan publik, CELIOS, mengungkapkan bahwa meskipun kebijakan ini berpotensi mendatangkan keuntungan bagi pelaku usaha dan tambahan pendapatan negara, manfaatnya dinilai tidak sebanding. Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda, menyoroti hasil simulasi yang menunjukkan dampak negatif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga mencapai Rp1,22 triliun. Selain itu, pendapatan masyarakat diperkirakan menyusut hingga Rp1,21 triliun. Temuan ini menjadi penyeimbang terhadap klaim pemerintah bahwa ekspor pasir laut akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Nyatanya, klaim tersebut dianggap berlebihan.
Dari sisi pendapatan negara, estimasi kontribusi hanya mencapai Rp170 miliar jika memperhitungkan dampak tidak langsung pada sektor usaha terkait. Meski eksportir pasir laut meraup keuntungan sekitar Rp502 miliar, industri perikanan justru mengalami kerugian signifikan. Analisis ekonomi CELIOS menegaskan bahwa narasi pemerintah mengenai kontribusi signifikan tambang pasir laut terhadap penerimaan negara adalah keliru. Pendapatan dari pajak tak sebanding dengan potensi kerugian ekonomi yang diproyeksikan merosot hingga Rp1,13 triliun.
Studi ini juga mengindikasikan bahwa peningkatan ekspor pasir laut akan menekan produksi perikanan tangkap. Dengan estimasi volume ekspor sebesar 2,7 juta m³, nilai tambah bruto sektor perikanan diproyeksikan turun hingga Rp1,59 triliun. Hilangnya pendapatan nelayan mencapai Rp990 miliar, serta berkurangnya lapangan kerja di sektor perikanan sebanyak 36.400 orang.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS, menegaskan bahwa ekspor pasir laut justru akan memperbesar angka pengangguran di wilayah pesisir. Model penambangan pasir laut menggunakan kapal isap dan tongkang cenderung bersifat padat modal (capital intensive), bukan padat karya (labor intensive). Tidak ada korelasi antara ekspor pasir laut dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan inklusif.
Lebih jauh, penambangan pasir laut berujung pada degradasi ekosistem yang berdampak luas pada perikanan tangkap. Masyarakat pesisir, khususnya nelayan, semakin rentan kehilangan mata pencaharian seiring penurunan hasil tangkapan. Data historis dari 2001 hingga 2009 juga menunjukkan adanya korelasi negatif antara peningkatan ekspor pasir laut dan penurunan produksi perikanan tangkap.
Selain itu, kerusakan habitat laut akibat aktivitas penambangan sulit dipulihkan dalam jangka panjang. Indonesia berpotensi kehilangan kekayaan Blue Carbon dan ekosistem ekonomi biru jika eksploitasi ini diteruskan. Padahal, Indonesia memiliki sekitar 17 persen potensi karbon biru dunia, setara dengan 3,4 gigaton. Hal ini sejalan dengan target jangka panjang pemerintah yang hendak mengoptimalkan potensi kredit karbon hingga US$65 miliar atau sekitar Rp994,5 triliun.
Sebagai penutup, Bhima menekankan pentingnya pembangunan pesisir yang berkelanjutan sebagai alternatif yang lebih menguntungkan ketimbang ekspor pasir laut yang berisiko merusak ekosistem ekonomi biru.
Untuk merespons permasalahan ini, CELIOS memberikan beberapa rekomendasi kebijakan:
- Mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 beserta aturan turunannya guna menjaga ekosistem pesisir dan kesejahteraan masyarakat nelayan.
- Menghentikan seluruh proses penerbitan izin penambangan pasir laut, baik untuk kepentingan domestik maupun ekspor.
- Mengembangkan potensi ekonomi pesisir yang ramah lingkungan, seperti pengolahan hasil perikanan bernilai tambah, budidaya rumput laut, serta ekowisata berbasis pesisir.
- Menyusun program restorasi ekosistem laut yang terdampak oleh pencemaran, perusakan terumbu karang, penebangan hutan mangrove, serta reklamasi pantai.
Pendekatan berbasis pelestarian lingkungan jauh lebih menjanjikan dibandingkan kebijakan tambang pasir laut yang merusak masa depan ekonomi biru Indonesia.
Catatan Nilai Ekspor
Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat nilai ekspor Indonesia pada Agustus 2024 yang tertinggi dalam 20 bulan terakhir.
Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perjanjian Perdagangan Internasional, Bara Khrisna Hasibuan, mengatakan nilai ekspor Indonesia Agustus 2024 mencapai USD23,56 miliar.
“Ini nilai terbesar sejak akhir Desember 2022. tentunya ini merupakan pencapaian besar, khususnya di saat kondisi ekonomi global yang tidak menentu,” kata Bara saat konferensi pers di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin, 23 September 2024.
Dia menyebut, China dan Amerika Serikat (AS) menjadi dua negara tujuan ekspor pada Agustus 2024.
Dipaparkannya, nilai ekspor Indonesia ke China sebesar USD5,47 miliar dari total ekspor. Sedangkan nilai ekspor AS sebesar USD2,61 juta.
Bara menyebut, meski terjadi perlambatan ekonomi di dua negara tersebut, ekspor nonmigas ke China dan AS mengalami peningkatan jika dibanding dengan sebulan sebelumnya.
Sebagai informasi, China dan AS berkontribusi sebesar 35,50 persen dari total ekspor nonmigas nasional.
Adapun ekspor Indonesia pada Agustus 2024 naik 5,97 persen dibandingkan bulan sebelumnya (month to month/mtm) , dan naik 7,13 persen dibandingkan Agustus 2023 (year on year/yoy).
Capaian tersebut didorong kenaikan ekspor nonmigas sebesar 7,43 persen dan kontraksi migas 15,14 persen dibandingkan Juli 2024 (mtm).
Secara rinci, lanjut Bara, pada Agustus 2024, terjadi peningkatan kinerja ekspor nonmigas secara bulanan pada semua sektor.
Sektor dengan kenaikan tertinggi dibanding bulan sebelumnya yaitu sektor pertambangan dengan kenaikan sebesar 9,01 persen, diikuti sektor pertanian (8,70 persen), dan industri pengolahan (7,09 persen).
Ditinjau dari kawasannya, Bara mengatakan, beberapa kawasan tujuan ekspor menunjukkan peningkatan ekspor nonmigas yang signifikan (mtm). Kawasan tersebut antara lain Afrika Utara dengan kenaikan 74,73 persen, Afrika Selatan 35,97 persen, Eropa Utara 33,94 persen, Asia Tengah 26,28 persen, dan Amerika Tengah 24,44 persen.
“Peningkatan ekspor ke beberapa kawasan tersebut menunjukkan bahwa potensi pasar nontradisonal berpeluang besar untuk dikembangkan,” kata Bara.(*)