KABARBURSA.COM - Keputusan pemerintah Indonesia untuk membebaskan tarif impor bagi produk asal Amerika Serikat terus menuai sorotan.
Pengamat kebijakan publik, Sabeth Abilawa, memandang kebijakan tersebut tidak hanya sarat dengan dimensi geopolitik, tetapi juga menyimpan potensi ketimpangan struktural dalam hubungan dagang kedua negara.
“Dalam jangka pendek, kebijakan ini lebih menguntungkan pihak AS,” ujar Sabeth kepada KabarBursa.com, Jumat, 18 Juli 2025.
Menurut Sabeth, langkah Indonesia yang membuka akses pasar secara sepihak belum tentu direspons dengan perlakuan serupa oleh AS.
Ia mencatat bahwa berbagai produk unggulan Indonesia seperti tekstil, alas kaki, karet, dan makanan olahan masih dikenakan tarif tinggi oleh AS—bahkan hingga 19 persen. Selain itu, produk Indonesia juga kerap dihadapkan pada hambatan non-tarif seperti sertifikasi, sanitary requirement, dan tuduhan dumping.
“Produk-produk Indonesia seperti tekstil, karet, alas kaki, dan makanan olahan masih dikenakan tarif hingga 17–19 persen di AS,” jelasnya.
Di tengah ketimpangan itu, Sabeth menyayangkan jika pemerintah Indonesia tidak menuntut kesetaraan akses pasar sebagai kompensasi dari pembebasan tarif tersebut. Ia menilai, ketidakseimbangan ini dapat merugikan kepentingan nasional, terutama bagi pelaku industri dalam negeri.
Tak hanya itu, Sabeth juga mengkritisi komitmen pembelian besar dari AS oleh Indonesia. Ia menyoroti nilai transaksi yang fantastis, khususnya untuk sektor energi dan aviasi.
“USD15 miliar untuk energi, kemungkinan besar LNG atau minyak, sangat besar dan menimbulkan ketergantungan pada produk energi AS,” tegasnya.
Dampak lebih jauh dari kebijakan ini, kata Sabeth, adalah kemungkinan terjadinya pengalihan perdagangan. Ketika produk Indonesia dikenakan tarif tinggi oleh AS, pembeli di sana cenderung mencari alternatif dari negara lain yang menawarkan harga lebih kompetitif karena tarif lebih rendah. Ini, menurutnya, bisa menggerus pangsa pasar Indonesia di AS dan menekan volume ekspor.
Ia juga memperingatkan potensi limpahan barang dari Tiongkok ke pasar Indonesia, sebagai reaksi atas tarif yang dikenakan AS terhadap produk mereka.
“Jika Tiongkok membanjiri pasar Indonesia dengan barang-barang murah, hal itu dapat merugikan industri domestik Indonesia yang sudah menghadapi tekanan,” terangnya.
Meski begitu, Sabeth melihat celah peluang yang bisa dimanfaatkan. Salah satunya adalah memosisikan Indonesia sebagai alternatif rantai pasok bagi negara-negara yang terimbas kebijakan tarif AS.
Selain itu, Indonesia bisa menarik investasi dari mitra seperti Jepang untuk memperkuat manufaktur barang setengah jadi, serta mengoptimalkan status GSP untuk merundingkan perjanjian dagang terbatas atau bebas dengan AS.(*)
 
      