Logo
>

Kegagalan Lifting Migas Penyebab Anjloknya PNBP

Ditulis oleh KabarBursa.com
Kegagalan Lifting Migas Penyebab Anjloknya PNBP

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) per Juli 2024 tercatat sebesar Rp338 triliun. Angka ini mengalami penurunan sebesar 3,3 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

    Penurunan ini terutama disebabkan oleh moderasi harga batu bara dan ketidakmampuan realisasi lifting minyak bumi yang tidak memenuhi target pemerintah. Sri Mulyani menjelaskan bahwa realisasi PNBP saat ini mencapai 68,7 persen dari target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.

    “Ada penurunan dibandingkan tahun lalu yang disebabkan oleh tingginya kontribusi sektor Sumber Daya Alam (SDA) baik migas maupun non-migas pada tahun lalu,” jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers APBNKita, Selasa 13 Agustus 2024.

    Ia melanjutkan bahwa setoran PNBP dari SDA migas hingga Juli 2024 sebesar Rp64,5 triliun, yang merupakan 58,6 persen dari target APBN 2024. Jumlah ini mengalami kontraksi sebesar 6,4 persen dibandingkan capaian tahun lalu yang mencapai Rp68,9 triliun.

    “Kita semua menyadari bahwa penurunan lifting migas dan kapasitas produksi yang menyusut menjadi tantangan besar bagi Kementerian ESDM dan SKK Migas,” tambah Sri Mulyani.

    Sementara itu, untuk SDA non-migas, per Juli 2024, penerimaan mencapai Rp68,4 triliun atau 70,1 persen dari target APBN 2024. Namun, PNBP SDA non-migas mengalami kontraksi sebesar 21,8 persen dibandingkan tahun lalu yang mencapai Rp87,4 triliun.

    Penurunan realisasi PNBP SDA non-migas terutama dipengaruhi oleh moderasi harga batu bara serta penurunan volume produksinya. “Harga batubara internasional memegang peranan besar dalam penerimaan kita,” jelas Sri Mulyani.

    PNBP dari kategori lain tercatat sebesar Rp86,2 triliun, mencapai 74,8 persen dari target APBN 2024. Namun, angka ini juga terkontraksi sebesar 10,5 persen dibandingkan tahun lalu yang mencapai Rp96,2 triliun.

    Penurunan tersebut disebabkan oleh anjloknya pendapatan dari hasil tambang seiring dengan penurunan harga batu bara dan volume produksi. Selain itu, penurunan pendapatan PNBP dari Kementerian/Lembaga (K/L) atas pendapatan yang tidak berulang juga turut berkontribusi.

    Sementara itu, PNBP dari Badan Layanan Umum (BLU) mencapai Rp50,7 triliun atau 60,8 persen dari target APBN 2024. PNBP BLU mengalami pertumbuhan sebesar 18,2 persen dibandingkan tahun lalu yang tercatat sebesar Rp42,9 triliun.

    “Pertumbuhan ini didorong oleh PNBP BLU di sektor Pendidikan, Kesehatan, serta layanan Perbankan. Sumbangan terbesar datang dari BLU pengelola dana kelapa sawit. Meskipun sektor kelapa sawit melambat, sektor lainnya masih menunjukkan performa yang baik. Oleh karena itu, BLU tumbuh 18,2 persen,” tutup Sri Mulyani.

    Ambisi Tak Realistis Pertamina Bikin Amblas APBN

    Salamuddin Daeng, Analis dari Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), melontarkan kritik pedas terhadap ambisi Pertamina yang dinilainya tak realistis, terkait target produksi minyak sebesar 1 juta barel per hari pada tahun 2024. Dalam pandangannya, janji ini terus bergaung di telinga publik seakan menjadi tujuan akhir dari serangkaian reformasi besar-besaran di sektor migas.

    Janji tersebut, ujar Salamuddin, seolah ditempatkan sebagai alasan di balik belanja modal besar-besaran yang dilakukan oleh Pertamina. Anggaran tersebut meliputi pengembangan hulu migas, pembangunan kilang melalui proyek Refinery Development Master Plan (RDMP), serta pembelian kapal tanker untuk mengangkut minyak ke pasar domestik dan ekspor. Ironisnya, belanja ini semuanya didukung oleh utang yang dijamin oleh pemerintah.

    Ribuan sumur telah digali oleh Pertamina, namun peningkatan produksi minyak tampaknya masih jauh dari harapan. RDMP, dengan kilang berkapasitas 1,1 juta barel per hari, telah dibangun, namun di mana minyaknya? Kapal-kapal tanker sudah dibeli, namun apakah kita harus mempertimbangkan untuk mengalihfungsikan kapal-kapal tersebut untuk mengangkut minyak sawit? Pertanyaan ini mengusik banyak pihak.

    Menurut Salamuddin, dengan kapasitas kilang yang ada, seharusnya Pertamina mampu memenuhi kebutuhan minyak nasional sebesar 1 juta barel per hari. Sementara itu, produksi dari sektor swasta bisa diekspor untuk mengurangi defisit perdagangan akibat impor migas yang semakin membengkak.

    Namun, Salamuddin menyoroti bahwa kilang-kilang yang dibangun dengan dana utang ini justru kehilangan nilainya jika hanya digunakan untuk menampung minyak impor. Situasi di sektor hulu migas membutuhkan terobosan besar untuk mengatasi penurunan produksi yang begitu drastis. Tanpa langkah-langkah yang signifikan, kondisi ini menjadi potret menyedihkan dalam satu dekade terakhir.

    Berdasarkan laporan-laporan yang dianggap paling kredibel, produksi migas Indonesia saat ini hanya mencapai 600 ribu barel per hari, sementara kebutuhan nasional mencapai 1,6 juta barel per hari. Defisit neraca migas semakin melebar, tanpa ada upaya yang berarti untuk mengatasinya. Pada tahun 2001, produksi migas nasional mencapai 1,4 juta barel, namun setelah itu terus mengalami penurunan yang tajam.

    Lebih lanjut, Salamuddin menyatakan bahwa pendapatan negara dari sektor migas terus merosot, meskipun subsidi migas semakin meningkat dan menjadi semakin tidak rasional. Pada tahun 2006, kontribusi sektor migas terhadap APBN mencapai 24,8 persen, namun kini hanya tersisa 4,6 persen dari total penerimaan negara. Sektor migas justru menjadi beban bagi APBN, menggerogoti neraca transaksi berjalan dan pendapatan primer.

    Akankah Direktur Utama Pertamina yang baru mampu mewujudkan harapan akan produksi 1 juta barel? Hanya waktu yang bisa menjawabnya, namun semoga harapan ini tidak hanya menjadi angan-angan kosong. (*)

     

     

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi