KABARBURSA.COM - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa pemerintah tengah berupaya maksimal untuk mengatasi kelangkaan LPG yang terjadi di masyarakat.
Dalam rapat bersama Komisi XII DPR RI, Bahlil mengungkapkan bahwa pemerintah melalui anggaran APBN telah mengalokasikan subsidi sebesar Rp87 triliun untuk LPG, namun dinamika distribusi yang tidak optimal menyebabkan harga gas melonjak di luar harga yang telah ditetapkan.
"Seperti yang kita tahu, LPG seharusnya disalurkan dengan harga subsidi yang terjangkau, namun fakta di lapangan menunjukkan harga di masyarakat bisa mencapai lebih dari Rp20.000 per tabung. Padahal, subsidi yang kita alokasikan adalah untuk memastikan masyarakat dapat membeli LPG dengan harga sekitar Rp5.000 per kilogram," ujar Bahlil di dalam ruang rapat Komisi XII DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin 3 Febuari 2025.
Menurut Bahlil, distribusi LPG sudah disusun melalui tiga tahap yang melibatkan agen, pangkalan, dan pengecer. Meskipun distribusi hingga tahap pangkalan dapat dikontrol secara teknologi, harga yang diterima konsumen di pengecer seringkali tidak sesuai dengan harapan. Oleh karena itu, pemerintah bersama Pertamina telah memutuskan untuk mengubah status pengecer menjadi sub-pangkalan.
"Pengencer yang tadinya hanya bertindak sebagai pengecer, akan naik statusnya menjadi sub-pangkalan, dengan tujuan agar distribusi LPG bisa lebih terkontrol. Ini adalah upaya untuk memastikan harga LPG tetap stabil dan terjangkau bagi masyarakat," kata Bahlil.
Bahlil menekankan bahwa perubahan ini akan membutuhkan penyesuaian waktu, namun pemerintah berkomitmen untuk memastikan masyarakat tidak kesulitan mendapatkan LPG dengan harga subsidi.
"Seolah-olah atau merasa sulit mendapatkan elpiji dan tidak ada pengurangan volume nanti tidak ada pengurangan subsidi ini cuma persoalan perubahan sedikit saja tapi Insyaallah kalau ada masukan dari bapak ibu anggota dewan yang terhormat Dengan senang hati kami akan mencoba untuk memperbaiki atau menyempurnakan apa yang telah menjadi kebijakan kami dengan Pertamina demikian pimpinan terima," tegasnya
Meski perubahan aturan ini akan disesuaikan, Bahlil berharap bahwa langkah-langkah yang diambil dapat memperbaiki distribusi gas bersubsidi secara lebih efektif.
Pemerintah juga terbuka untuk menerima masukan dari berbagai pihak, termasuk anggota dewan, untuk menyempurnakan kebijakan yang ada demi kepentingan masyarakat.
"Intinya, kami ingin memastikan subsidi ini benar-benar sampai ke tangan yang tepat dan masyarakat tidak merasa terbebani," tutup Bahlil.
Pembatasan Penyaluran Gas Subsidi
Anggota Komisi VI DPR RI, Herman Khaeron, menyoroti kelangkaan gas LPG 3 kilogram atau gas melon yang terjadi di berbagai daerah sejak aturan baru mulai diberlakukan pada 1 Februari 2025. Ia menegaskan kelangkaan ini bukan disebabkan oleh terbatasnya pasokan gas, melainkan akibat kebijakan baru yang membatasi penyaluran gas subsidi hanya sampai di tingkat pangkalan.
“Gas LPG 3 kilo itu adalah barang bersubsidi yang harus disalurkan tepat sasaran dengan harga yang sesuai dan tepat pada penerima manfaat,” ujar Herman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 3 Febuari 2025.
Herman menegaskan gas melon merupakan barang milik negara yang seharusnya didistribusikan dengan sistem yang lebih tertutup guna mencegah penyalahgunaan. Namun, kebijakan yang mulai berlaku pada 1 Februari—yang membatasi penyaluran gas subsidi hanya sampai di tingkat pangkalan—dinilainya justru memunculkan persoalan baru.
Ia mempertanyakan efektivitas kebijakan tersebut mengingat pangkalan hanya memiliki satu titik distribusi yang belum tentu dapat menjangkau masyarakat di desa atau kampung. “Jika tidak, tentu ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan masyarakat untuk membeli ke pangkalan,” katanya.
Selain itu, ia juga mengkritik larangan penjualan gas LPG di warung-warung atau toko-toko yang sebelumnya menjadi titik distribusi subsidi. Larangan ini, menurutnya, justru membuat penyaluran gas menjadi terbatas, bahkan menyebabkan kelangkaan di tingkat pengecer.
Herman menilai, masalah utama bukanlah penyaluran yang dilakukan melalui warung, tetapi pelanggaran terhadap harga eceran tertinggi (HET). “Jika harga di pengecer sudah naik menjadi Rp25.000 per tabung, sementara HET-nya Rp18.000, jelas ini melanggar,” tegasnya.
Ia meminta pemerintah melakukan kajian ulang perihal aturan tersebut dengan memastikan agen dan pemilik pangkalan yang melanggar peraturan harus diberi sanksi tegas, termasuk pencabutan izin. “Sanksi harus diberikan kepada mereka yang melanggar, bukan kepada warung atau toko yang menjadi subordinasi pangkalan,” katanya.
Herman menilai Pertamina harus lebih bertanggung jawab dalam memastikan distribusi gas LPG 3 kilogram berjalan sesuai sasaran, dengan harga yang tepat, serta bebas dari penyalahgunaan yang dapat merugikan masyarakat.
Ia menegaskan perusahaan tersebut perlu memastikan seluruh agen dan pengecer mematuhi regulasi pemerintah. “Jika ada yang melanggar, cabut izin mereka dan berikan kepada yang lebih siap,” kata Herman.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.