KABARBURSA.COM – Pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung, Yannes Martinus Pasaribu, menilai kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen bakal memperburuk kondisi industri otomotif di Indonesia.
“Adanya program UMP 6,5 persen juga akan semakin meningkatkan biaya produksi kendaraan. Biaya tersebut akan dibebankan kepada harga akhir dan harus ditanggung oleh konsumen dan pembeli,” kata Yannes kepada Kabarbursa.com, Senin, 23 Desember 2024.
Kenaikan UMP tersebut berada di dalam kondisi yang dilematis. Di satu sisi, UMP dinaikkan untuk meredam dampak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Namun, di sisi lain, pasar otomotif masih lesu akibat penurunan penjualan.
Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil secara retail (dari dealer ke konsumen) periode Januari–November 2024 tercatat sebesar 806.721 unit, atau turun sebesar 11,2 persen dibanding periode yang sama pada tahun 2023 (year-on-year/yoy).
Pada Januari, penjualan mobil tercatat sebanyak 69.758 unit, yang kemudian naik tipis menjadi 70.772 unit pada Februari 2024. Momentum ini terus berlanjut hingga Maret dengan capaian 74.720 unit, mencatatkan kinerja kuartal pertama yang solid.
Namun, di bulan April, pasar menghadapi tekanan yang membuat penjualan turun drastis menjadi hanya 48.762 unit. Meski demikian, perbaikan mulai terlihat pada Mei dengan angka penjualan melonjak ke 71.391 unit. Tren positif berlanjut pada Juni, di mana penjualan menyentuh 74.615 unit.
Memasuki paruh kedua tahun, Juli mengalami sedikit penurunan dengan angka 74.229 unit. Namun, pasar kembali menguat pada Agustus, dengan penjualan tertinggi selama periode ini sebesar 76.304 unit. Sayangnya, euforia ini tidak bertahan lama karena pada September penjualan kembali menurun menjadi 72.667 unit.
Produksi Kendaraan Terancam Turun
Menurut Yannes, kenaikan PPN menjadi 12 persen yang akan berlaku pada 1 Januari 2024 mendatang bakal berdampak terhadap penurunan penjualan kendaraan. Secara otomatis, agar pabrikan tidak kelebihan stok kendaraan, maka bisa dipastikan akan mengurangi kapasitas produksi.
“Belum lagi perihal PPN yang naik jadi 12 persen, yang akan semakin membuat harga kendaraan tambah mahal. Padahal, kondisi kelas menengah Indonesia saat ini semakin tertekan karena tidak pernah mendapatkan insentif dari pemerintah,” kata Yannes.
Di sisi lain, selama ini kelas menengah memiliki peran sentral sebagai bantalan ekonomi nasional dengan kontribusi terhadap konsumsi dan penerimaan pajak pemerintah.
Selain itu, kombinasi dari kenaikan pajak, penurunan daya beli, opsen atau pajak tambahan yang berpotensi meningkatkan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) di 2025, serta tekanan terhadap ekonomi lainnya menyebabkan produsen otomotif mengurangi volume produksi.
“Penurunan volume produksi dilakukan untuk menyesuaikan dengan permintaan pasar yang melemah. Hal ini berpotensi menyebabkan inefisiensi operasional dan pengurangan tenaga kerja di sektor otomotif,” ujarnya.
Insentif untuk Sektor Otomotif
Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita memberikan sejumlah insentif untuk sektor otomotif yang sedang berada dalam tekanan dari sisi penjualan.
“Insentif-insentif ini bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat serta mendorong transisi menuju kendaraan ramah lingkungan,” kata Agus.
Beberapa insentif yang diberikan pemerintah mencakup insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB). Untuk mobil dan bus listrik, pemerintah memberikan potongan PPN sebesar 10 persen dengan syarat kendaraan tersebut memenuhi ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal 40 persen. Sementara itu, bus listrik dengan TKDN kurang dari 20 persen akan mendapatkan insentif sebesar 5 persen.
Selain itu, ada insentif berupa pembebasan bea masuk dan penghapusan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebesar 15 persen yang ditanggung pemerintah. Insentif ini berlaku untuk impor kendaraan listrik kategori tertentu, baik yang berupa Completely Built Up (CBU) maupun Completely Knocked Down (CKD).
Insentif ini bertujuan untuk mempercepat adopsi kendaraan listrik di Indonesia serta mendukung pengembangan industri kendaraan listrik di dalam negeri. Salah satu perusahaan yang telah menerima insentif tersebut adalah PT BYD Motor Indonesia, yang akan memproduksi 100.000 unit kendaraan listrik. Selain itu, PT National Assemblers juga telah mendapatkan insentif untuk memproduksi 4.800 unit kendaraan merek Citroen, 17.200 unit kendaraan merek Aion, dan 600 unit kendaraan merek Maxus pada tahun 2024.
Selanjutnya, pemerintah juga memberikan insentif sebesar 3 persen untuk kendaraan hybrid yang memenuhi kriteria Low Carbon Emission Vehicle (LCEV).
“Kebijakan ini juga menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk mendorong peralihan dari kendaraan bermesin konvensional ke kendaraan yang lebih ramah lingkungan,” jelas Agus.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya menegaskan tarif PPN 12 persen akan diberlakukan pada 1 Januari 2025, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Mantan Ketua Umum Partai Golkar ini mengatakan, meskipun tarif PPN akan naik, pemerintah telah menyiapkan kebijakan untuk melindungi masyarakat berpendapatan rendah. Salah satu langkah yang diambil adalah membebaskan barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, dan gula konsumsi dari PPN. Selain itu, layanan seperti pendidikan, kesehatan, angkutan umum, dan air bersih juga akan tetap dikenakan PPN 0 persen.
“Untuk sektor tertentu, seperti minyak goreng, tepung terigu, dan gula industri, pemerintah akan menanggung 1 persen dari kenaikan PPN sehingga tarif efektifnya tetap 11 persen. Kebijakan ini bertujuan untuk meringankan beban masyarakat, terutama golongan berpendapatan rendah dan menengah,” kata Airlangga.
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.