Logo
>

Kelas Menengah Turun 47,85 Juta Jiwa, Berubah Miskin?

Ditulis oleh KabarBursa.com
Kelas Menengah Turun 47,85 Juta Jiwa, Berubah Miskin?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Penjabat Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, mengungkapkan sebuah fakta mengejutkan: jumlah kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan sejak pandemi Covid-19.

    Berdasarkan data terbaru, jumlah masyarakat yang tergolong dalam kelas menengah menyusut menjadi 47,85 juta jiwa atau sekitar 17,13 persen dari total populasi pada tahun ini. Penurunan ini mencerminkan dampak berkepanjangan dari pandemi yang masih memengaruhi ketahanan ekonomi kelas menengah di tanah air.

    Amalia menjelaskan bahwa pada tahun 2021, jumlah kelas menengah tercatat sebanyak 58,83 juta orang dengan proporsi 19,28 persen. Ini berarti, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, jumlah kelas menengah menyusut sekitar 5,98 juta orang.

    Penurunan ini mencerminkan dampak jangka panjang dari pandemi, yang disebut juga sebagai "scarring effect," terhadap stabilitas kelas menengah.

    “Dalam periode tersebut, kami mengamati bahwa dampak pandemi sangat terasa, dengan pengurangan yang signifikan dalam jumlah kelas menengah. Pada tahun 2021, jumlah kelas menengah adalah 53,83 juta orang, atau 19,82 persen dari populasi,” ungkap Amalia dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Gedung Nusantara, Jakarta, Rabu 28 Agustus 2024.

    Melihat dari sektor pekerjaan, data menunjukkan bahwa 57 persen dari kelas menengah bekerja di sektor jasa, 22,98 persen di sektor industri, dan 19,97 persen di sektor pertanian. Perubahan ini mencerminkan pergeseran dalam struktur ekonomi yang mempengaruhi stabilitas pendapatan kelas menengah.

    Amalia juga menyoroti perubahan pola pengeluaran dalam satu dekade terakhir. Proporsi pengeluaran untuk makanan dan minuman mengalami penurunan signifikan. Pada tahun 2014, sekitar 45,54 persen dari total pengeluaran kelas menengah dialokasikan untuk makanan dan minuman, namun angka ini menurun menjadi 41,67 persen pada tahun ini.

    “Pengeluaran untuk perumahan, yang pada 2014 lebih dari 32 persen, kini hanya mencapai 28,5 persen. Sementara itu, terdapat peningkatan dalam pengeluaran untuk barang dan jasa lainnya,” jelas Amalia.

    Walaupun ada pergeseran dalam prioritas pengeluaran, kebutuhan makanan dan minuman serta perumahan tetap mendominasi alokasi pengeluaran kelas menengah.

    Amalia juga mengungkapkan bahwa modus pengeluaran penduduk kelas menengah cenderung mendekati batas bawah dari kelompok pengeluaran tersebut. Tahun ini, batas atas pengelompokan kelas menengah berada pada Rp9.909.844, sementara batas bawahnya adalah Rp2.040.262. Modus pengeluaran kelas menengah tercatat sebesar Rp2.056.494, menunjukkan bahwa banyak penduduk kelas menengah berada dekat dengan batas bawah kategori ini.

    “Data ini mengindikasikan bahwa kelas menengah menghadapi tantangan untuk naik ke kelas atas dan semakin rentan terperosok ke kelas bawah, bahkan mendekati garis kemiskinan,” tambah Amalia.

    Penurunan jumlah kelas menengah yang konsisten selama periode 2019-2024 terlihat jelas. Pada 2019, jumlah penduduk kelas menengah tercatat sebanyak 57,33 juta jiwa (21,45 persen), namun angka ini menurun menjadi 47,85 juta jiwa (17,13 persen) pada tahun 2024. Di sisi lain, jumlah masyarakat yang menuju kelas menengah terus meningkat, mencapai 137,50 juta jiwa (49,22 persen) pada 2024.

    Amalia menegaskan bahwa fenomena aspiring middle class atau kelompok yang sedang menuju kelas menengah memang menunjukkan tren yang signifikan.

    Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Dolfie Othniel Frederic Palit, menilai bahwa pemerintah perlu memberikan perhatian lebih pada kelas menengah yang rentan turun kelas. “Kelas menengah sering kali terlupakan dalam kebijakan pemerintah. Sementara kelas atas mendapatkan insentif pajak dan kelas bawah menerima bantuan sosial, kelas menengah juga memerlukan perhatian khusus,” ujar Dolfie.

    Dengan penurunan yang signifikan dalam jumlah kelas menengah dan perubahan pola pengeluaran, jelas bahwa pemerintah perlu merumuskan kebijakan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan kelas menengah, untuk memastikan keberlanjutan ekonomi yang lebih merata di masa depan.

    Middle Income Trap

    Sementara itu, Ekonom senior Chatib Basri baru-baru ini menekankan pentingnya memanfaatkan momentum yang ada sebelum bonus demografi mulai menyusut antara tahun 2025 hingga 2050. Menurutnya, kebijakan yang akan datang kemungkinan besar akan mirip dengan yang ada sekarang atau pada masa pemerintahan sebelumnya. Yang membedakan adalah aspek kepemimpinan, bukan masalah ekonomi itu sendiri.

    Chatib menegaskan bahwa presiden mendatang harus memperkuat dua aspek penting. Pertama adalah pemahaman mendalam dan keterlibatan aktif dalam isu-isu geopolitik. Dunia saat ini dipenuhi ketidakpastian, dan kemampuan untuk menavigasi tantangan global sangat krusial.

    Kedua, kemampuan eksekusi yang efektif. Indonesia perlu segera menyelesaikan masalah besar untuk menghindari jebakan negara berpendapatan menengah dan mencapai status negara maju pada 2050 dengan pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen per tahun.

    Kualitas kepemimpinan, kemampuan untuk mendengarkan, membuat keputusan yang tepat, dan membentuk tim yang solid akan menjadi penentu utama. Chatib menegaskan, pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa keputusan dan eksekusi yang tepat adalah kunci sukses.

    Ekonom senior lainnya, Raden Pardede, Co-founder Creco Research, menambahkan pandangannya. Menurutnya, presiden mendatang harus fokus pada keluar dari jebakan pendapatan menengah dan mencapai status negara maju, dengan target utama pada periode 2035-2040. Batas waktu ini berhubungan dengan median usia produktif masyarakat Indonesia yang akan mencapai puncaknya pada masa tersebut.

    Raden menilai bahwa untuk keluar dari jebakan ini, pemerintah yang akan datang perlu mempercepat pertumbuhan ekonomi sambil menjaga stabilitas makroekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang stagnan di level 5 persen selama delapan kuartal terakhir menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi sedang mandek. Pemimpin dan pembuat kebijakan harus mampu membawa pertumbuhan ekonomi ke kisaran 5-6 persen untuk mengatasi jebakan pendapatan menengah.

    Untuk mencapai target tersebut, presiden mendatang harus memastikan inflasi tetap di bawah 3 persen, mengurangi defisit transaksi berjalan di bawah 3 persen dengan mengurangi ketergantungan pada investasi portofolio, dan menjaga defisit APBN serta utang pada tingkat yang aman. Efisiensi birokrasi juga harus ditingkatkan untuk menekan biaya investasi dan mendorong produktivitas melalui penguasaan teknologi tinggi.

    Raden menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi saat ini yang berada di kisaran 5 persen bisa ditingkatkan dengan efisiensi dan perbaikan alokasi modal. Tambahan 1 persen pertumbuhan dapat dicapai dengan langkah-langkah tersebut, sehingga target 6 persen dalam waktu dekat mungkin terwujud.

    Selain itu, peningkatan pendapatan masyarakat melalui ekonomi digital, kewirausahaan, dan UMKM bisa menjadi jalan keluar dari jebakan pendapatan menengah. Keberhasilan dalam sektor-sektor ini dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian Indonesia di masa depan. (*)

     

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi