KABARBURSA.COM - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebutkan bahwa kontribusi masyarakat kelas menengah terhadap penerimaan pajak sangat rendah, yaitu hanya 1 persen.
"Kalau masuk ke orang pribadi, sumbangsihnya enggak besar hanya sekitar 1 persen," Kepala Subdirektorat Pengelolaan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu Muchamad Arifin di acara media gathering di Novus Jiva Anyer, Banten, Kamis, 26 September 2024.
Menurut Arifin, rendahnya kontribusi kelas menengah pada penerimaan pajak karena mereka mayoritas bekerja di sektor informal seperti UMKM.
Sementara Wajib Pajak Orang Pribadi di sektor UMKM tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), sehingga tidak terintegrasi ke dalam sistem pajak. Berbeda dengan wajib pajak orang pribadi dari perusahaan atau sektor formal yang umumnya memiliki NPWP.
"Orang-orang pribadi ini biasanya masuk di sektor UMKM, sektor UMKM informalitasnya sangat tinggi sehingga dia tidak masuk dalam data perpajakan, karena mereka tidak punya NPWP," ungkap Arifin.
Seharusnya, lanjut Arifin, pungutan pajak dari orang pribadi dapat menjadi penopang penerimaan pajak negara.
"Idealnya di negara maju, wajib pajak orang pribadi inilah yang jadi penopang penerimaan pajak," tuturnya.
Adapun jumlah kelas menengah di Indonesia sebanyak 17,13 persen dari total penduduk atau sekitar 47,85 juta orang.
Oleh karenanya, Ditjen Pajak berupaya memadankan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan NPWP agar dapat mendata wajib pajak yang belum terdata sebelumnya.
"Nanti begitu NIK sudah berjalan di 2025 dan Coretax sudah berjalan, maka data tersebut jadi satu dan digabungkan. Nanti akan ketahuan, ternyata si X dengan penghasilan sekarang belum punya NPWP," jelas Arifin.
Sistem Pajak Baru
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam waktu dekat akan menerapkan sistem administrasi pajak terbaru, Core Tax Administration System (CTAS).
Dirjen Pajak Kemenkeu Suryo Utomo mengatakan, CTAS akan diluncurkan paling lambat pada awal tahun depan, tepatnya tanggal 1 Januari 2025.
"Insya Allah menjelang akhir tahun 2024 ini, kita sudah bisa mulai menggunakan sistem core tax. Paling tidak tanggal 1 Januari 2025," kata Suryo di acara konferensi pers APBN KiTa edisi September di kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin, 23 September 2024.
Sebelum sistem ini benar-benar diterapkan, Suryo menyatakan pihaknya gencar mensosialisasikan, edukasi dan pelatihan, terutama kepada Wajib Pajak tertentu, terutama yang memiliki transaksi besar atau dikenal dengan istilah "Pajak Kelas Kakap."
"Pelatihan ini ditujukan untuk mempersiapkan mereka menghadapi perubahan sistem yang akan berdampak besar pada transaksi pajak mereka," jelas Suryo.
Suryo menyebutkan, fokus utama sosialisasi penerapan CTAS ini adalah pada 52.964 Wajib Pajak yang memiliki transaksi besar. Hal ini dilakukan karena kelompok ini akan menjadi pihak yang paling terdampak oleh implementasi sistem pajak baru tersebut.
"Kami memberikan pelatihan langsung, khususnya bagi wajib pajak dengan transaksi besar, karena mereka akan sangat terdampak oleh implementasi core tax. Ada sekitar 52.964 wajib pajak yang menjadi prioritas kami," ucap Suryo.
Suryo menjelaskan, pelatihan intensif ini dilakukan secara langsung, terutama bagi Wajib Pajak yang berada di Kantor Wilayah (Kanwil), Large Taxpayer Office (LTO), dan Kanwil khusus, dengan harapan mereka siap menjalankan kewajiban perpajakan melalui sistem CTAS ketika resmi diterapkan.
Sementara itu, pengamat pajak dari Center for Indonesia Tax Analysis (CTAS) Fajry Akbar berpendapat, dengan diberlakukannya CTAS maka akan mereformasi administrasi perpajakan.
"Banyak sekali manfaatnya, termasuk mendorong penerimaan perpajakan," kata Fajry Akbar kepada Kabar Bursa, Senin, 24 September 2024.
Akan tetapi, lanjutnya, CTAS bukanlah solusi segala masalah perpajakan yang ada, terlebih kalau isunya adalah kebutuhan pendanaan yang besar dan instan.
Fajry menjelaskan bahwa CTAS dirancang untuk meningkatkan penerimaan negara melalui proses pencocokan data yang lebih efektif menggunakan analitik big data. Selain itu, CTAS bertujuan untuk memperbaiki layanan kepada wajib pajak dengan prinsip kesederhanaan dan kemudahan administrasi.
"Kami berharap CTAS dapat menyederhanakan administrasi pemungutan pajak dan menyajikan data berkualitas tinggi bagi DJP dan wajib pajak," jelas Fajry.
Sebenarnya, ungkap Fajry, CTAS sudah diterapkan dalam sistem administrasi perpajakan, seperti menu prepopulated dalam bukti pemotongan pajak, namun implementasinya belum optimal.
Salah satu fitur utama CTAS adalah penggunaan NIK sebagai NPWP, yang memperluas cakupan wajib pajak dan diharapkan meningkatkan tingkat kepatuhan.
"Jadi, implementasi CTAS memang belum sepenuhnya optimal," pungkas Fajry. (*)