KABARBURSA.COM – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendukung langkah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan meningkatkan pengawasan dan memperketat kawasan Pusat Logistik Berikat (PLB) dan industri di Kawasan Berikat (KB).
Dukungan ini diberikan untuk menekan laju impor produk murah yang membanjiri pasar domestik. Kemenperin menilai, selama ini impor produk jadi dengan harga murah menggerus daya saing industri nasional.
Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief menilai, selama ini dua tempat tersebut ditengarai sebagai pintu masuk barang impor murah dan ilegal ke Indonesia.
“Kita menyaksikan sendiri bagaimana produk jadi impor murah yang berasal dari negara over production, dibeli melalui platform e-commerce dan bisa mencapai pembeli di dalam negeri dalam waktu singkat. Sebagian barang-barang tersebut diduga sudah berada di gudang-gudang PLB,” kata Febri dalam keterangan tertulis, Rabu, 21 Mei 2025.
Febri menilai, pemerintah harus memperketat pengawasan agar barang impor yang tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) tersebut tidak mengganggu pengusaha lokal. Upaya pengetatan ini diharapkan dapat menghentikan masuknya barang impor ilegal.
“Kami cukup heran juga dengan pernyataan Dirjen Bea Cukai (Pak Askolani) yang menyatakan bahwa PLB ditujukan untuk menarik investasi. Hemat kami, PLB justru mengurangi keinginan investor untuk berinvestasi di industri manufaktur dalam negeri terutama investasi manufaktur yang berada di luar Kawasan Berikat,” ujarnya.
“Kalau mereka bisa memasukkan barang jadi impor mengapa mereka harus berinvestasi bangun industri di Indonesia? Cukup impor saja melalui PLB. Mungkin saja hal ini membuat industri dalam negeri tertekan, akhirnya mengurangi produksi dan bahkan menutup pabriknya yang berujung dengan PHK,” imbuhnya.
Menurutnya, Kemenperin telah lama mendorong pengetatan pengawasan aktivitas di Kawasan Berikat. Hal ini dilakukan untuk menekan potensi penyimpangan distribusi barang impor di mana seharusnya ditujukan untuk pasar ekspor.
Pasalnya, ditemukan adanya indikasi bahwa sejumlah barang dari Kawasan Berikat—yang seharusnya hanya didistribusikan ke luar negeri—justru beredar di pasar domestik.
“Selama ini barang yang keluar dari Kawasan Berikat yang seharusnya untuk tujuan pasar ekspor, tetapi ternyata juga masuk ke pasar domestik. Hal ini tidak adil bagi industri yang berada di luar Kawasan Berikat,” ujarnya.
Menurutnya, industri di luar Kawasan Berikat tidak mendapatkan fasilitas bea impor bahan baku seperti industri di dalam Kawasan Berikat. Oleh karena itu, kata dia, wajar produk industri di Kawasan Berikat lebih berdaya saing dibanding produk industri di luar Kawasan Berikat dan ditujukan untuk pasar ekspor.
“Sudahlah mendapat bea masuk impor bahan baku nol persen, mereka malah dibolehkan menjual produknya di pasar domestik. Tentu produk industri di luar Kawasan Berikat kalah bersaing dengan produk tersebut,” ujarnya.
Isu tersebut turut menjadi sorotan dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR RI bersama Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita yang digelar pada Selasa, 29 April lalu. Salah satu rekomendasi yang mengemuka adalah agar Kawasan Berikat dikembalikan pada fungsi awalnya sebagai zona produksi untuk ekspor.
Kemenperin menilai penguatan kembali peran Kawasan Berikat dan Pusat Logistik Berikat (PLB) penting untuk menciptakan iklim usaha yang adil dan mendukung daya saing manufaktur nasional. Terlebih di tengah tekanan global dan derasnya arus produk impor yang masuk ke pasar lokal.
Penguatan TKDN di Berbagai Sektor
Sebagai upaya nyata menjaga keberlanjutan industri dalam negeri, Kemenperin memperkuat sejumlah kebijakan protektif, khususnya bagi sektor industri yang berada di luar Kawasan Berikat. Strategi ini antara lain melalui peningkatan pengawasan terhadap barang impor, penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) secara wajib, serta penguatan pemenuhan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di berbagai sektor strategis.
“Permintaan dan penyerapan produk industri di pasar domestik sangat besar, mencapai sekitar 80 persen dari total produk manufaktur. Sisanya, 20 persen diserap oleh pasar ekspor. Ini menjadi potensi yang harus terus dijaga agar tetap dinikmati oleh industri nasional, bukan produk jadi impor,” tegas Febri.
Langkah antisipatif lainnya yang tengah diupayakan Kemenperin adalah usulan relokasi pintu masuk impor ke kawasan timur Indonesia, terutama untuk komoditas yang sudah dapat diproduksi secara lokal. Usulan ini diharapkan dapat memperlambat aliran barang impor ke pasar dalam negeri dan memberikan ruang yang lebih besar bagi produk industri nasional.
Pelabuhan-pelabuhan seperti Bitung di Sulawesi Utara dan Sorong di Papua Barat menjadi kandidat kuat sebagai lokasi pintu masuk baru untuk pengawasan impor.
“Kemenperin aktif untuk terus berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait dalam upaya mendorong sinergi pengawasan barang impor di pasar domestik. Langkah ini penting untuk menciptakan iklim usaha yang sehat dan berkeadilan bagi industri dalam negeri,” tutur Febri.
Dengan pengawasan ketat yang diiringi langkah perlindungan lain, Kemenperin optimistis industri manufaktur nasional akan semakin mampu menjawab kebutuhan pasar domestik sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
“Kami optimistis apabila kebijakan ini terutama pengawasan lebih ketat untuk PLB dan pengembalian fungsi Kawasan Berikat dapat terlaksana dengan baik sesuai rencana dan targetnya, serta juga didukung koordinasi yang tepat, kinerja industri manufaktur akan bangkit lebih baik lagi untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional,” ujarnya.(*)