Logo
>

Kenaikan PPN Kontra Produktif, bikin Daya Beli Makin Anjlok

Ditulis oleh KabarBursa.com
Kenaikan PPN Kontra Produktif, bikin Daya Beli Makin Anjlok

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa perhatian pemerintah tak hanya terarah pada kelompok berpendapatan rendah. Melalui APBN, daya beli masyarakat dijaga, termasuk kelas menengah.

    "Bansos memang spesifik, lebih banyak dirasakan oleh masyarakat paling miskin. Namun, APBN memberikan dukungan melalui subsidi. Subsidi ini hadir dalam bentuk barang, seperti BBM, Elpiji, dan listrik, yang harganya dibuat lebih rendah secara buatan. Dengan begitu, daya beli masyarakat di semua lapisan  dari miskin hingga kaya  ikut terdorong," jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Jumat 16 Agustus 2024 kemarin.

    Sri Mulyani juga menekankan bahwa instrumen lain yang memberi dukungan pada kelas menengah adalah pajak, terutama Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Meski tarif PPN naik, dan diperkirakan mencapai 12 persen tahun depan, tidak semua barang dan jasa dikenakan PPN.

    "Bahan pokok, pendidikan, dan beberapa sektor lain dikecualikan dari PPN. Kelas menengah hingga atas juga turut menikmatinya, bahkan lebih dari itu. APBN menawarkan perlindungan lewat tiga instrumen utama: bansos, subsidi, dan pengecualian PPN," ujar Sri Mulyani.

    Tekanan Hidup Kaum Kelas Menengah

    Kelas menengah di Indonesia sedang berada di bawah sorotan tajam akibat tekanan daya beli yang kian menciut. Tekanan ekonomi yang melanda mereka semakin berat, diperparah dengan minimnya perhatian khusus dari pemerintah.

    Namun, Deputi III Kepala Staf Kepresidenan, Edi Priyono, menampik tuduhan ini. Ia menegaskan bahwa pemerintah telah meluncurkan berbagai kebijakan yang secara tidak langsung menyentuh kelas menengah, meskipun tidak selalu dilabeli secara spesifik untuk mereka.

    “Meskipun tidak secara eksplisit disebut sebagai insentif atau stimulus untuk kelas menengah, kenyataannya ada sejumlah program pemerintah yang sebenarnya menyasar kelompok ini,” kata Edi, Minggu 11 Agustus 2024 lalu

    Edi menyebut, beberapa kebijakan tersebut berbentuk subsidi atau insentif pajak. Misalnya, subsidi untuk pembelian kendaraan listrik roda dua serta insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk kendaraan roda empat.

    Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8 Tahun 2024 serta Peraturan Pemerintah Perindustrian Nomor 21 Tahun 2023. "Kendaraan listrik itu kan konsumsi kelas menengah, bukan kelas bawah. Jadi jelas ini menyasar menengah ke atas," tegasnya.

    Lebih lanjut, Edi mengungkapkan bahwa pemerintah juga memberikan program rumah bersubsidi bagi masyarakat dengan pendapatan hingga Rp 7 juta per bulan, atau Rp 8 juta untuk yang sudah menikah. Aturan ini diatur dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 22/KPTS/M/2023.

    "Pendapatan maksimal Rp 7 juta per bulan itu kita harapkan memang jatuh ke tangan kelas menengah, khususnya mereka yang berada di kelompok dengan pendapatan per kapita antara 1 hingga 3 kali dari garis kemiskinan," jelasnya.

    Di sisi lain, Edi menyoroti beberapa program yang sifatnya inklusif, meski tidak secara langsung ditujukan untuk kelas menengah, namun dapat mereka manfaatkan. Salah satunya adalah subsidi pupuk.

    "Subsidi pupuk ini berlaku untuk lahan pertanian maksimal 2 hektare. Rata-rata kepemilikan lahan di Indonesia sekitar 0,4 hektare, jadi batas 2 hektare ini juga mencakup petani yang bukan gurem," ungkap Edi.

    Petani gurem sendiri didefinisikan sebagai pemilik lahan di bawah 0,5 hektare. "Dengan batasan 2 hektare ini, subsidi pupuk juga mencakup petani kelas menengah," lanjutnya.

    Selain itu, bantuan sosial seperti pemberian beras juga bisa dinikmati oleh kelas menengah. Menurut Edi, program bantuan ini sebenarnya menyasar 40 persen lapisan masyarakat terbawah. “Namun, 40 persen itu tidak semuanya miskin, termasuk juga mereka yang hampir miskin,” ujarnya.

    Edi juga menyoroti langkah pemerintah dalam mendukung industri yang dapat membuka lapangan kerja, menjaga daya beli kelas menengah. Ia mencontohkan, pemerintah memberikan subsidi gas kepada industri tertentu, dengan harga gas yang disubsidi sebesar USD 6 per MMBtu, sementara harga pasar mencapai USD 11.

    Meskipun begitu, Edi menekankan bahwa pemerintah terbuka terhadap masukan dari berbagai pihak untuk terus memperkuat kebijakan yang mendukung kelas menengah ke depan. "Kami terbuka jika ada masukan untuk terus membantu atau meningkatkan konsumsi kelas menengah, meskipun perhatian kami tetap besar terhadap kelompok miskin dan rentan miskin," tegasnya.

    Namun, data terbaru dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) mengungkapkan bahwa 8,5 juta orang dari kelas menengah telah jatuh ke kelas ekonomi yang lebih rendah selama periode 2018-2023.

    Ekonom LPEM UI, Teuku Riefky, menyebutkan bahwa pada 2023, kelas menengah di Indonesia mencapai 52 juta jiwa, mewakili 18,8 persen dari total populasi. Angka ini menurun dibandingkan dengan periode sebelumnya.

    "Kelas menengah baru-baru ini mengalami penurunan," kata Riefky, dikutip Sabtu 17 Agustus 2024 lalu.

    Menurutnya, kelas menengah RI sempat mengalami ‘booming’ pada periode 2014-2018, di mana jumlah mereka meningkat dari 39 juta menjadi 60 juta orang. Saat itu, proporsi kelas menengah dari populasi juga melonjak dari 15,6 persen menjadi 23 persen.

    Namun, tren ini berbalik sejak 2018. Setelah puncaknya, kelas menengah turun hingga lebih dari 8,5 juta orang, lanjutnya.

    Sejalan dengan itu, Ekonom senior dan mantan Menteri Keuangan 2013-2014, Chatib Basri, juga mencatat bahwa penurunan kelas menengah ini telah berlangsung sejak 2019.

    Mengutip data Bank Dunia, Chatib menjelaskan bahwa pada 2018, kelas menengah mencapai 23 persen dari populasi, namun pada 2019, turun menjadi 21 persen dengan bertambahnya kelompok aspiring middle class (AMC) dari 47 persen menjadi 48 persen.

    Tren ini berlanjut hingga 2023, di mana kelas menengah menyusut menjadi 17 persen, sementara AMC naik menjadi 49 persen, dan kelompok rentan meningkat menjadi 23 persen. “Artinya, sejak 2019, sebagian kelas menengah turun menjadi AMC, dan sebagian AMC jatuh menjadi kelompok rentan,” kata Chatib, dikutip Sabtu 17 Agustus 2024.

    Dengan garis kemiskinan di tahun 2024 sekitar Rp 550.000, Chatib menjelaskan bahwa mereka yang mengeluarkan Rp 1,9 juta hingga Rp 9,3 juta per bulan tergolong kelas menengah. AMC mencakup mereka dengan pengeluaran 1,5 hingga 3,5 kali di atas garis kemiskinan, yakni Rp 825.000 hingga Rp 1,9 juta per bulan. Sementara kelompok rentan miskin memiliki pengeluaran 1 hingga 1,5 kali di atas garis kemiskinan, yakni Rp 550.000 hingga Rp 825.000 per bulan.

    Fenomena Kelas Menengah 'Makan Tabungan'

    Anggota Komisi XI DPR RI, Ecky Awal Mucharam, menyoroti wacana perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025 sebagai langkah yang kontra produktif dengan situasi daya beli masyarakat saat ini. Dalam pernyataan tertulis yang diterima Parlementaria di Jakarta, Kamis 14 Agustus 2024, Ecky menegaskan, kondisi ini berisiko menambah beban perekonomian nasional.

    Sumber utama PPN berasal dari PPN dalam negeri yang mencakup konsumsi masyarakat dan PPN impor untuk bahan baku serta modal industri. Ecky memaparkan, kenaikan tarif PPN tidak hanya melemahkan daya beli, tetapi juga menambah tekanan pada sektor ekonomi yang sedang berjuang untuk bangkit.

    "Tarif PPN baru saja naik menjadi 11 persen, dan daya beli masyarakat langsung terjun bebas. Jika dinaikkan lagi, masyarakat pasti akan jadi korban," ujar politisi Fraksi PKS tersebut.

    Fenomena ‘mantab’ atau ‘makan tabungan’ di kalangan masyarakat menengah pada tahun 2023 menjadi sorotan hangat dalam diskursus ekonomi nasional.

    Berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pemerintah menetapkan kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen yang berlaku mulai 1 April 2022, dan 12 persen yang akan diberlakukan paling lambat 1 Januari 2025. Menurut Ecky, dampak kenaikan tersebut langsung terasa, menyebabkan daya beli masyarakat semakin tergerus.

    Anggota Badan Anggaran DPR RI ini juga menambahkan bahwa penurunan daya beli masyarakat sudah terlihat sejak 2022. Sebagian besar pendapatan rumah tangga terpaksa dialokasikan untuk barang konsumsi habis pakai. Hampir seluruh penghasilan habis untuk membeli makanan dan kebutuhan rumah tangga. Tren ini terus berlanjut hingga 2023.

    Fenomena ‘mantab’ ini mencuat di tengah masyarakat kelas menengah, menjadi isu yang tak dapat diabaikan, kata Ecky.

    Hasil survei konsumen yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) memperkuat pernyataan Ecky. Survei tersebut menunjukkan bahwa konsumsi kelompok dengan pengeluaran di bawah Rp 5 juta per bulan mengalami penurunan signifikan. Penurunan terdalam dialami oleh kelompok pengeluaran Rp 2,1 juta hingga Rp 3 juta, diikuti kelompok pengeluaran Rp 4,1 juta hingga Rp 5 juta.

    Lebih jauh, Ecky mengingatkan bahwa penyesuaian tarif PPN dapat memicu inflasi yang lebih tinggi. Harga barang dan jasa akan semakin mahal, dan pada akhirnya, daya beli masyarakat akan semakin terpuruk.

    "Pelaku industri dari kalangan ekonomi atas akan mudah menaikkan harga produk mereka ketika tarif PPN untuk bahan baku meningkat. Akhirnya, masyarakat menengah ke bawah yang akan menanggung langsung kenaikan ini sebagai konsumen utama," tutup Ecky dalam pernyataannya. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi