Logo
>

Kenaikan UMP: Kesejahteraan Pekerja atau Ancaman bagi Dunia Usaha?

Ditulis oleh Dian Finka
Kenaikan UMP: Kesejahteraan Pekerja atau Ancaman bagi Dunia Usaha?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Pemerintah melalui Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, telah menetapkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2024 yang mengatur kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen untuk tahun 2025. Kebijakan ini menuai berbagai tanggapan, baik dari kalangan pekerja, pengamat ekonomi, hingga pelaku usaha.

    Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menyambut baik kenaikan UMP ini sebagai upaya mendukung kesejahteraan pekerja. Meski demikian, ia menggarisbawahi bahwa kenaikan tersebut belum cukup untuk sepenuhnya mengimbangi peningkatan harga barang dan jasa akibat inflasi.

    “Daya beli masyarakat memang akan terbantu, tetapi tidak secara signifikan. Banyak pekerja masih menghadapi kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak,” jelas Esther.

    Langkah ini diakui sebagai angin segar bagi pekerja formal, tetapi juga membawa tantangan ekonomi yang lebih luas, terutama dalam menjaga keseimbangan antara kenaikan upah dan stabilitas harga.

    Menurut Esther, kenaikan UMP berpotensi memicu inflasi jenis cost-push, yaitu inflasi yang disebabkan oleh peningkatan biaya produksi. Ia menilai bahwa ketika upah naik, biaya produksi perusahaan juga meningkat, yang pada akhirnya mendorong kenaikan harga barang dan jasa di pasar.

    “Jika inflasi meningkat dalam jangka pendek, daya beli masyarakat dapat kembali tergerus, terutama bagi mereka yang berada di sektor informal,” ungkapnya.

    Namun, ia juga menekankan bahwa risiko ini dapat dikelola jika pemerintah dan pelaku usaha mampu menjaga keseimbangan antara upah, produktivitas, dan harga produk.

    Kenaikan UMP tidak hanya berdampak pada pekerja, tetapi juga pada sektor usaha dan industri. Pelaku usaha diperkirakan akan melakukan berbagai penyesuaian, mulai dari menaikkan harga produk hingga melakukan efisiensi tenaga kerja.

    “Kenaikan upah tanpa diimbangi peningkatan produktivitas dapat memaksa pengusaha untuk memangkas tenaga kerja atau menaikkan harga produk. Akibatnya, risiko PHK dan pengurangan penciptaan lapangan kerja bisa meningkat,” kata Esther.

    Sementara itu, Wijayanto Samirin, ekonom Universitas Paramadina, memberikan pandangan yang lebih optimis. Ia menilai kenaikan UMP sebesar 6,5 persen cukup memberikan ruang bernapas bagi pekerja formal di tengah tekanan ekonomi, terutama dengan inflasi yang diperkirakan hanya 1,7-1,8 persen tahun ini.

    “Kenaikan ini melebihi kebutuhan penyesuaian inflasi, sehingga daya beli pekerja formal diproyeksikan meningkat secara signifikan,” ujar Wijayanto.

    Namun, ia juga mengingatkan bahwa kebijakan ini harus diiringi langkah strategis untuk mengurangi dampak negatifnya terhadap dunia usaha. Kombinasi antara kenaikan UMP dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang naik menjadi 12 persen akan meningkatkan beban pengusaha.

    “Kenaikan UMP menguntungkan pekerja formal, sementara kenaikan PPN menguntungkan pemerintah. Namun, keduanya menciptakan tekanan besar bagi dunia usaha,” tambahnya.

    Untuk menjaga keseimbangan ekonomi, Wijayanto mengusulkan beberapa langkah strategis, seperti:

    1. Peningkatan bantuan langsung tunai (BLT) dan program bantuan sosial (bansos) untuk mendorong daya beli masyarakat.
    2. Pengawasan terhadap impor dan penyelundupan barang, guna mendukung daya saing produsen lokal.
    3. Pemajakan sektor informal atau bisnis bawah tanah agar kontribusinya terhadap ekonomi nasional lebih signifikan.

    Kenaikan UMP sebesar 6,5 persen merupakan langkah positif untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja formal. Namun, kebijakan ini juga membawa tantangan signifikan, seperti potensi inflasi, penurunan daya saing pelaku usaha, dan risiko pengurangan tenaga kerja.

    Oleh karena itu, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada implementasi strategi lanjutan yang komprehensif. Pemerintah perlu memastikan bahwa kenaikan UMP tidak hanya berdampak positif bagi pekerja, tetapi juga menciptakan stabilitas ekonomi yang berkelanjutan untuk seluruh sektor.

    Penerapan Pajak Pertambahan Nilai

    Center of Economic and Law Studies (Celios) meragukan efektivitas kebijakan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen dan penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada 2025.

    Achmad Hanif Imaduddin, peneliti dari Celios, menyatakan bahwa pendapatan pekerja atau buruh pada 2025 diperkirakan masih belum mencukupi untuk mengimbangi lonjakan harga barang dan jasa akibat inflasi. Di sisi lain, bagi para pengusaha, peningkatan upah ini justru menambah beban operasional perusahaan.

    “Meskipun kenaikan UMP dapat dilihat sebagai kabar positif, dampaknya dalam jangka panjang diperkirakan tidak akan signifikan,” ujar Hanif dalam wawancara dengan Kabarbursa.com pada Kamis, 5 Desember 2024.

    Hanif menjelaskan bahwa tingginya tarif pajak akan langsung menggerus daya beli masyarakat. Konsumsi yang terhambat akibat kondisi ini diprediksi akan membuat perekonomian berjalan stagnan.

    “Kenaikan upah yang ditetapkan oleh pemerintah tidak akan banyak berpengaruh. Pemasukan masyarakat tetap tidak akan cukup untuk mengimbangi pengeluaran mereka,” tambahnya.

    Sebagai solusi, Hanif mengusulkan berdasarkan hasil penelitian Celios, agar pemerintah menaikkan UMP sebesar 9 persen. Angka ini dianggap diperlukan untuk mengimbangi dampak inflasi dan memberikan ruang bagi buruh untuk mempertahankan kapasitas daya beli mereka.

    “Melihat tren kenaikan harga barang, penyesuaian UMP seharusnya lebih besar. Meskipun ada peningkatan 6,5 persen, hal ini tidak cukup untuk meringankan beban hidup buruh. Kenaikan UMP yang lebih signifikan diperlukan agar daya beli mereka tetap terjaga,” jelasnya.

    Hanif juga menyoroti dampak kebijakan ini terhadap pengusaha. Dengan adanya peningkatan tarif PPN dan kewajiban membayar upah yang lebih tinggi, banyak pengusaha merasa tertekan.

    “Untuk mengimbangi kenaikan PPN, perusahaan terpaksa harus menaikkan harga produk dan jasa mereka. Namun, langkah ini berpotensi menurunkan daya beli konsumen, yang pada gilirannya dapat mengakibatkan penurunan penjualan,” ujarnya. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.