KABARBURSA.COM – Secara teori, The Federal Reserve atau The Fed sudah bisa saja memangkas suku bunga pekan ini. Alasannya kuat: inflasi dalam tiga bulan terakhir mulai menunjukkan tanda-tanda jinak. Tapi sayangnya, risiko baru muncul—yakni ancaman lonjakan tarif impor.
Alih-alih memotong bunga, para pejabat The Fed memilih menahan diri. Dalam pertemuan kebijakan moneter yang digelar Rabu hari ini, mereka akan mencermati bagaimana ekonomi AS merespons kenaikan tarif secara historis besar yang mulai berlaku sejak Maret lalu.
Masalahnya bukan semata inflasi hari ini, tapi ekspektasi inflasi esok hari. Ini adalah variabel tak kasat mata yang diamati lewat survei dan prediksi investor terhadap inflasi masa depan. Dan justru ekspektasi inilah yang paling menentukan.
Begini logikanya: kalau pedagang menduga harga bahan baku akan naik besok, maka mereka akan menaikkan harga jual hari ini. Begitu pula dengan pemilik rumah dan pekerja—mereka akan menyesuaikan harga sewa dan tuntutan gaji lebih awal, sebelum inflasi benar-benar datang.
“Kalau semua orang yakin inflasi akan naik, maka inflasi benar-benar akan naik. Dan inilah yang dikhawatirkan The Fed,” kata ekonom di UBS, Alan Detmeister, dikutip dari The Wall Street Journal di Jakarta, Rabu, 18 Juni 2025.
Sebaliknya, jika masyarakat percaya inflasi akan stabil, ekspektasi itu disebut “anchored” alias tertambat. Dalam kondisi itu, bahkan guncangan harga seperti depresiasi nilai tukar atau lonjakan harga minyak, belum tentu mengarah ke inflasi jangka panjang.
Karena itu, apakah The Fed akan menurunkan suku bunga tahun ini sangat bergantung pada bagaimana mereka membaca risiko terhadap ekspektasi inflasi.
Dampaknya nyata bagi publik. Jika bunga tetap tinggi lebih lama, suku bunga kredit rumah akan bertahan mahal dan investasi bisnis bisa terhambat. Tapi bila suku bunga diturunkan terlalu dini, daya beli masyarakat yang meningkat bisa justru menyuburkan inflasi, dan The Fed terpaksa menaikkan suku bunga lagi dengan dampak yang lebih menyakitkan.
Sayangnya, arah ekspektasi inflasi masih belum jelas. Survei Universitas Michigan sempat mencatat lonjakan ekspektasi inflasi jangka pendek dan panjang pada musim semi ini, meski sedikit turun usai beberapa kebijakan tarif ditunda. Survei konsumen New York Fed menunjukkan kenaikan yang lebih ringan.
Di sisi lain, prediksi berbasis pasar menunjukkan investor memperkirakan inflasi akan naik sedikit dalam satu hingga dua tahun ke depan, tapi tetap terkendali setelahnya.
Namun sebagian ekonom tetap cemas. Mereka khawatir perusahaan yang sudah terbiasa menaikkan harga saat inflasi tinggi tahun-tahun kemarin, akan kembali menguji kesabaran konsumen selama musim panas ini.
Ekspektasi Inflasi Masih Rapuh, The Fed Ogah Gegabah
Banyak ekonom mendukung sikap The Fed yang memilih diam. “The Fed tepat untuk menahan diri dan tidak melakukan apa-apa sekarang,” kata Kepala Ekonom Eastspring Investments di Singapura, Ray Farris.
Ia bilang, setiap kenaikan ekspektasi inflasi seharusnya membuat The Fed tak nyaman dan ini tercermin dalam beberapa survei konsumen.
Masalahnya, kekhawatiran publik soal inflasi itu seperti saklar—hidup atau mati. Sulit berharap masyarakat bisa langsung ‘lupa’ pada lonjakan harga yang brutal selama 2021 hingga 2023.
“Konsumen tidak merasa inflasi sudah benar-benar ditaklukkan, sebagaimana yang diklaim para ekonom. Buat saya, itu berarti ada ruang lebih besar bagi masyarakat untuk menerima bahwa harga memang akan naik,” kata Farris.
Para pejabat The Fed juga menyadari betapa rapuhnya ekspektasi masyarakat. Maklum, inflasi AS sudah bertahun-tahun bertengger di atas target 2 persen. Presiden The Fed New York, John Williams, mengingatkan agar publik tidak menganggap ekspektasi inflasi akan selalu stabil. “Lima tahun terakhir telah mengubah cara pandang publik terhadap inflasi,” ujarnya bulan lalu.
Sebelum pandemi, generasi muda di bawah usia 40 tahun—termasuk anak-anak Williams—masih percaya bahwa inflasi akan selalu rendah. Mereka belum pernah merasakan inflasi tinggi. Tapi sekarang, data menunjukkan ekspektasi inflasi nyaris setara di semua kelompok umur.
Yang menarik, para petinggi The Fed sendiri sebenarnya belum pernah punya pengalaman langsung mengelola krisis inflasi. Inflasi super hanya terjadi terakhir kali di akhir 1970-an—era saat John Williams baru lulus kuliah.
Mereka menilai keberhasilan menurunkan inflasi baru-baru ini tanpa memicu resesi ekonomi, sebagian besar karena publik percaya inflasi tidak akan lama. Bandingkan dengan 1980-an, di mana The Fed harus memicu resesi panjang untuk membekuk inflasi yang sudah mengakar satu dekade.
“Pelajarannya: sejarah itu penting,” ujar Williams. Inflasi rendah selama beberapa dekade sebelum pandemi membentuk ekspektasi yang menguntungkan saat krisis terjadi.
Sayangnya, kebijakan tarif dari pemerintahan Trump sekarang ini membuat segalanya jadi lebih ruwet. “Dalam teori, tarif itu diberlakukan sekali, dan pasar langsung paham. Tapi itu bukan yang terjadi sekarang,” kata Presiden The Fed Atlanta, Raphael Bostic.
Bostic menilai kebijakan tarif yang digulirkan secara bertahap—minggu demi minggu, bulan demi bulan—bisa menimbulkan efek psikologis. Semacam rasa waswas berkelanjutan yang bisa memicu reaksi pasar yang tidak rasional.
Tapi tak semua pejabat The Fed punya pandangan serupa. Gubernur The Fed, Christopher Waller, justru melihat tarif hanya akan memicu lonjakan harga satu kali saja. Ia menolak anggapan bahwa ini akan memberi ruang bagi perusahaan untuk menaikkan harga terus-menerus.
Meski begitu, Waller juga sadar bahwa sikap ini mirip seperti blunder The Fed pada 2021. Saat itu, mereka menyangka inflasi yang muncul usai pandemi hanyalah sementara alias transitory. Kenyataannya, inflasi menetap lebih lama dan lebih ganas.
“Apakah saya seperti main api dengan posisi ini? Ya, kelihatannya begitu,” ujar Waller dalam pidato bulan ini. Tapi menurut dia, konteks sekarang berbeda. Ketidakseimbangan ekonomi jauh lebih kecil. Harga barang mungkin akan naik lagi, tapi pasar tenaga kerja dan properti tidak sepanas dulu.
Selain itu, ekonomi AS saat ini tidak lagi disokong oleh suku bunga ultra-rendah atau stimulus fiskal yang besar seperti beberapa tahun lalu. Meskipun perusahaan sempat menikmati momentum kenaikan harga, mereka tahu ada risiko kehilangan pangsa pasar jika konsumen yang sudah lelah dihantam inflasi mulai mencari alternatif atau bahkan berhenti belanja sama sekali.
Anggota Dewan Gubernur The Fed, Christopher Waller, juga tidak terlalu percaya pada survei konsumen. Menurutnya, sekalipun hasil survei itu akurat dan masyarakat memang yakin harga-harga bakal melonjak tahun ini, tetap saja mereka tidak bisa berbuat banyak.
Alasannya adalah pasar tenaga kerja belum cukup kuat untuk memungkinkan pekerja menegosiasikan kenaikan gaji besar-besaran. Jadi, meskipun kekhawatiran soal inflasi tumbuh, daya tawar masyarakat tidak ikut menguat. Ketakutan bisa saja meningkat, tapi kemampuan meresponsnya belum tentu tersedia.(*)