KABARBURSA.COM – Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan serangkaian kesepakatan dagang dengan Jepang dan sejumlah negara Asia lainnya. Kesepakatan ini diharapkan dapat meringankan beban tarif tinggi yang selama ini menekan perusahaan dan konsumen akibat kebijakan impor ke Amerika Serikat.
Namun, beban besar masih tersisa. Tarif impor baja dan aluminium dari berbagai negara tetap diberlakukan. Dilansir dari AP di Jakarta, Kamis, 24 Juli 2025, beberapa negara seperti Korea Selatan dan Thailand belum mencapai titik temu dalam negosiasi. Para ekonom memperingatkan, kebijakan tarif ini tetap akan menggerus pertumbuhan ekonomi di Asia dan global.
Kesepakatan terbaru dicapai menjelang tenggat 1 Agustus 2025. Trump dan Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba mengumumkan kesepakatan yang memangkas tarif impor dari Jepang menjadi 15 persen, turun dari rencana awal 25 persen.
Kabar itu menjadi angin segar bagi industri otomotif Jepang. Saham Toyota dan Honda melonjak dua digit di bursa Tokyo. Trump juga menyepakati tarif baru dengan Filipina dan Indonesia. Produk dari Filipina kini dikenakan tarif 19 persen, turun tipis dari ancaman tarif sebelumnya sebesar 20 persen.
Indonesia mendapat pengurangan signifikan, dari rencana tarif 32 persen menjadi 19 persen. Sebagai timbal balik, Indonesia sepakat untuk menghapus hampir seluruh hambatan dagang atas produk Amerika. Untuk Vietnam, tarif ekspor ditetapkan 20 persen. Barang yang dialihkan dari China ke Vietnam bakal dikenai tarif dua kali lipat. Namun belum ada pengumuman resmi soal ini.
Negosiasi dengan China Masih Panjang
Negosiasi antara Amerika dan China sejatinya memiliki tenggat 12 Agustus, namun Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, menyebut kemungkinan besar akan diperpanjang. Putaran pembicaraan baru dijadwalkan digelar di Swedia pekan depan.
Pada Juni lalu, kesepakatan awal membuka jalan bagi China untuk melonggarkan pembatasan ekspor rare earth, mineral penting untuk industri teknologi tinggi. Pada Mei, AS sempat memangkas tarif produk China dari 145 persen menjadi 30 persen selama 90 hari. Sebagai balasan, China menurunkan tarif atas produk Amerika dari 125 persen menjadi 10 persen.
Pelonggaran tersebut memberi napas bagi produsen untuk mempercepat ekspor sebelum tarif lebih tinggi diberlakukan, sehingga menopang ekspor China dan mengurangi tekanan di sektor manufakturnya. Namun ketidakpastian kebijakan Trump tetap membuat investor waspada untuk menanamkan modal jangka panjang di Negeri Tirai Bambu.
Seiring mendekatnya tenggat 1 Agustus, tekanan meningkat bagi negara-negara yang belum menyepakati perjanjian dagang. Lewat platform Truth Social, Trump mengunggah daftar tarif yang akan diberlakukan jika kesepakatan tidak tercapai.
Impor dari Korea Selatan akan dikenakan tarif 25 persen. Myanmar dan Laos menghadapi tarif 40 persen, sementara Kamboja dan Thailand masing-masing 36 persen. Serbia dan Bangladesh terkena tarif 35 persen, sedangkan Afrika Selatan dan Bosnia-Herzegovina 30 persen. Malaysia, Kazakhstan, dan Tunisia juga masuk dalam daftar dengan tarif 25 persen.
India masih dalam tahap negosiasi yang alot, terutama karena sektor pertanian mereka sangat dilindungi. Produk dari India diproyeksikan akan dikenakan tarif 26 persen.
Sejak April lalu, hampir semua negara sudah terkena tarif minimum 10 persen di atas tarif sektor tertentu lainnya.
Pertumbuhan Ekonomi Asia Tertekan Meski Ada Kesepakatan
Kendati sejumlah kesepakatan berhasil dicapai, para ekonom menilai efek domino dari tarif tetap menekan aktivitas ekonomi. Kenaikan biaya bagi produsen dan konsumen membuat prospek pertumbuhan kian suram.
Asian Development Bank (ADB) memangkas proyeksi pertumbuhan untuk negara-negara berkembang di Asia dan Pasifik menjadi 4,7 persen pada 2025 dan 4,6 persen pada 2026. Penurunan masing-masing sebesar 0,2 dan 0,1 poin persentase dari perkiraan sebelumnya.
ADB juga mengingatkan bahwa eskalasi tarif dan friksi dagang dapat makin membebani kawasan. Risiko lainnya termasuk konflik geopolitik yang bisa mengganggu rantai pasok global, lonjakan harga energi, serta memburuknya pasar properti di China.
Sementara itu, ekonom dari AMRO lebih pesimistis. Mereka memperkirakan pertumbuhan di Asia Tenggara dan kawasan utama Asia hanya akan tumbuh 3,8 persen pada 2025 dan turun menjadi 3,6 persen pada 2026.
“Negosiasi tarif yang tidak merata dan kemungkinan ekspansi tarif ke lebih banyak produk bisa makin menghambat perdagangan dan menekan pertumbuhan kawasan,” kata Kepala Ekonom AMRO, Dong He.(*)