Logo
>

Kesepakatan Dagang AS-China Tekan Harga Emas: Minyak Bergerak Naik

Kesepakatan dagang AS–China memicu reaksi berlawanan di pasar komoditas global — harga emas anjlok akibat penguatan dolar, sementara minyak dunia justru melesat didorong optimisme ekonomi.

Ditulis oleh Yunila Wati
Kesepakatan Dagang AS-China Tekan Harga Emas: Minyak Bergerak Naik
Ilustrasi. Foto: AI untuk KabarBursa.

KABARBURSA.COM – Kesepakatan dagang antara Amerika Serikat dengan China, membuat harga emas global dan minyak dunia bergerak berseberangan. Emas spot dan berjangka anjlok, sementara harga minyak mentah dunia - baik WTI maupun Brent - bergerak naik.

Pada perdagangan Senin sore WIB, 27 Oktober 2025, harga emas spot anjlok 0,76 persen menjadi USD4.081,63 per ons. Begitu pula dengan emas berjangka AS untuk kontrak Desember merosot 1,1 persen ke USD4.092,40 per ons. 

Penurunan ini terjadi bersamaan dengan penguatan dolar AS dan sinyal positif dari perundingan perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia tersebut. Biasanya, ketika dolar menguat — terutama terhadap yen Jepang — daya tarik emas otomatis menurun, karena logam mulia ini menjadi lebih mahal dalam denominasi non-dolar.

Namun yang paling menekan emas bukan hanya faktor teknikal mata uang, melainkan juga perubahan persepsi risiko global. Selama ini, emas menjadi pelindung utama (safe haven) ketika ketegangan geopolitik atau ekonomi meningkat. 

Kini, dengan kabar bahwa pejabat tinggi AS dan China tengah menyusun kerangka kesepakatan dagang baru yang akan dibahas langsung oleh Presiden Donald Trump dan Xi Jinping. Rencana ini membuat ketegangan global mereda. Harapan akan perbaikan hubungan dagang ini memicu rotasi modal keluar dari aset lindung nilai seperti emas, menuju aset berisiko yang menawarkan imbal hasil lebih tinggi.

Analis Capital.com Kyle Rodda, mengatakan bahwa kesepakatan tersebut menjadi “kejutan positif” bagi harga emas. Meski begitu, Rodda menegaskan bahwa tren jangka menengah emas belum sepenuhnya berakhir. Masih ada prospek dari pelonggaran kebijakan moneter sejumlah bank sentral besar, termasuk Federal Reserve. 

Pasar memperkirakan The Fed akan memangkas suku bunga acuan sebesar 0,25 poin persentase pekan ini. Langka ini secara historis mendukung kenaikan logam mulia, karena menurunkan opportunity cost bagi investor untuk memegang aset tanpa imbal hasil seperti emas.

Di sisi lain, harga minyak mentah dunia justru bergerak naik. Minyak mentah berjangka Brent naik 0,41 persen ke USD66,21 per barel. Sementara West Texas Intermediate (WTI) menguat 0,37 persen ke USD61,73 per barel. 

Kenaikan ini memperpanjang reli yang sudah dimulai sejak pekan lalu. Ketika itu, kedua acuan harga minyak ini masing-masing melonjak hampir 9 persen dan 7,7 persen. Kenaikan tersulut sanksi baru Amerika dan Uni Eropa terhadap Rusia.

Kesepakatan Baru Perdagangan AS-China

Pernyataan Menteri Keuangan AS Scott Bessent, yang mengonfirmasi bahwa kesepakatan mencakup penghindaran tarif 100 perseb terhadap barang impor China, disambut pasar dengan euforia. Apalagi optimisme Presiden Trump yang menyatakan bahwa kesepakatan akan tercapai “dalam waktu dekat”, ikut memperkuat sentimen beli di pasar energi.

Analis IG Tony Sycamore, menyebut kesepakatan tersebut “menenangkan kekhawatiran bahwa perang dagang akan menekan permintaan minyak lebih dalam". Di tempat lain, analis Haitong Yang An, mengingatkan potensi risiko baru bila sanksi terhadap Rusia ternyata kurang efektif. Artinya, ini bisa memunculkan kembali kelebihan pasokan minyak mentah dalam waktu dekat.

Dengan dua arah harga yang berseberangan ini, terlihat jelas bagaimana kesepakatan dagang AS–China menciptakan pembalikan psikologis di pasar komoditas. Emas kehilangan sebagian daya tariknya karena investor beralih ke aset berisiko, sedangkan minyak mendapat tenaga baru dari prospek ekonomi yang lebih sehat. 

Keduanya, dalam cara berbeda, mencerminkan satu hal, bahwa pasar kini memasuki fase “risk-on”. Dalam hal ini, optimisme menggantikan ketakutan dan modal mulai mengalir ke sektor-sektor yang diharapkan tumbuh cepat ketika gejolak global mereda.

Namun, dinamika ini juga mengandung paradoks. Jika bank sentral dunia tetap melonggarkan kebijakan moneter seperti yang diantisipasi, emas bisa kembali menjadi pilihan strategis sebagai pelindung terhadap inflasi jangka panjang. Sementara itu, bagi minyak, kenaikan harga bisa tertahan jika pasokan global kembali berlimpah akibat pelonggaran sanksi atau melemahnya efektivitas embargo Rusia.

Dengan kata lain, kesepakatan dagang AS–China hari ini mungkin menekan emas dan mengangkat minyak, tetapi keseimbangan itu masih rapuh. Setiap perubahan kecil dalam kebijakan moneter atau geopolitik dapat membalikkan arah pasar dengan cepat. Perubahan ini nantinya membuat investor terus berjaga di antara dua ekstrem, yaitu euforia dan kehati-hatian.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Yunila Wati

Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79