Logo
>

Kesepakatan Trump-Putin Tekan Harga Minyak Dunia

Harga minyak dunia jatuh lebih dari 1 persen karena rencana pertemuan Trump dan Putin di Hongaria memicu ketidakpastian geopolitik serta kekhawatiran kelebihan pasokan global.

Ditulis oleh Yunila Wati
Kesepakatan Trump-Putin Tekan Harga Minyak Dunia
Ilustrasi minyak dunia. Foto: Freepik.

KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia kembali tertekan pada perdagangan Kamis waktu New York dan menandai penurunan lebih dari 1 persen untuk kedua acuan utama, Brent dan West Texas Intermediate (WTI). 

Tekanan ini terjadi di tengah meningkatnya ketidakpastian geopolitik setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan bahwa dirinya dan Presiden Rusia Vladimir Putin sepakat untuk segera bertemu di Budapest, Hongaria, guna membahas upaya mengakhiri perang di Ukraina. 

Pernyataan tersebut langsung memicu aksi ambil untung di pasar energi global, karena pelaku pasar menilai potensi pertemuan itu dapat mengubah arah pasokan minyak mentah di pasar dunia.

Harga minyak mentah berjangka Brent, yang menjadi patokan internasional, turun 85 sen atau 1,37 persen menjadi USD61,06 per barel. Sementara minyak mentah berjangka WTI melemah 81 sen atau 1,39 persen ke USD57,46 per barel. 

Kedua harga acuan tersebut menutup sesi di level terendah sejak 5 Mei, di mana hal ini menunjukkan bahwa tekanan jual kali ini bukan hanya bersifat teknikal, tetapi juga mencerminkan perubahan fundamental dalam sentimen pasar terhadap keseimbangan pasokan dan permintaan global.

Pernyataan Trump tentang pertemuan dengan Putin menjadi katalis utama pelemahan harga. Pasar minyak selama ini merespons sangat sensitif terhadap setiap indikasi perubahan kebijakan atau hubungan diplomatik antara dua negara besar penghasil minyak, yaitu AS dan Rusia. 

Jika pertemuan itu benar-benar menghasilkan langkah konkret menuju deeskalasi konflik di Ukraina, para pelaku pasar memperkirakan akan terjadi stabilisasi geopolitik di Eropa Timur yang dapat membuka kembali jalur pasokan energi dari kawasan tersebut. 

Namun di sisi lain, adanya potensi penambahan pasokan di tengah stok global yang sudah tinggi menimbulkan kekhawatiran baru terhadap kelebihan suplai.

Kepala Ekonom Matador Economics Tim Snyder, menilai pernyataan Trump dan Putin menciptakan ketidakpastian baru. Alih-alih menenangkan pasar, kabar itu justru mendorong sebagian pelaku pasar melepas posisi beli (long position) karena belum jelas arah hasil pertemuan tersebut. 

Apakah akan mengarah pada pemangkasan produksi, sanksi baru, atau bahkan pemulihan perdagangan energi antara Rusia dan beberapa negara lain.

Kenaikan Stok Minyak di Luar Ekspektasi 

Faktor lain yang memperberat tekanan pada harga minyak datang dari data mingguan Badan Informasi Energi (EIA) AS. EIA melaporkan peningkatan stok minyak mentah sebesar 3,5 juta barel menjadi 423,8 juta barel. Angka ini jauh di atas ekspektasi kenaikan 288.000 barel. 

Lonjakan ini sebagian besar disebabkan oleh turunnya utilisasi kilang yang memasuki periode pemeliharaan rutin musim gugur. Dengan kata lain, pasokan minyak mentah meningkat karena kilang tidak menyerap minyak sebanyak biasanya untuk produksi bahan bakar.

Analis energi dari UBS Giovanni Staunovo, menyebut laporan EIA tersebut “sedikit bearish”. Alasannya, meski ada penarikan besar pada stok distilat (produk turunan minyak seperti solar dan bahan bakar jet), permintaan minyak tersirat (implied demand) justru melemah tajam dibanding minggu sebelumnya. 

Artinya, konsumsi aktual masih belum pulih cukup kuat untuk menahan tekanan dari sisi pasokan.

Selain itu, EIA juga melaporkan bahwa produksi minyak mentah Amerika Serikat naik ke rekor baru 13,636 juta barel per hari. Ini adalah level tertinggi sepanjang sejarah. 

Kenaikan ini mempertegas bahwa AS terus berperan sebagai salah satu produsen utama dunia bersama Arab Saudi dan Rusia. Peningkatan output tersebut memperburuk kekhawatiran bahwa pasar minyak akan kembali menghadapi kondisi oversupply seperti yang pernah terjadi beberapa tahun sebelumnya.

India Pertimbangkan Hentikan Impor Minyak Rusia

Dari sisi geopolitik lain, muncul pula dinamika baru yang melibatkan India. Presiden Trump menyebut bahwa Perdana Menteri India Narendra Modi, telah berjanji untuk menghentikan impor minyak dari Rusia. 

Jika ini benar terealisasi, hal tersebut bisa menjadi pukulan signifikan bagi ekspor Rusia, karena India selama ini menjadi salah satu pembeli utama minyak Moskow. India menyumbang sekitar sepertiga dari total impor minyak India. 

Analis IG Tony Sycamore, menilai langkah India ini bisa berpotensi mendukung harga minyak mentah global karena akan menyingkirkan salah satu pembeli besar minyak Rusia dari pasar, sehingga memperketat pasokan global dari sisi distribusi.

Namun, respons resmi India kemudian menekankan bahwa prioritas negara tersebut tetap menjaga stabilitas harga dan keamanan pasokan energi, tanpa secara eksplisit mengonfirmasi akan menghentikan impor dari Rusia. 

Hal ini menunjukkan bahwa India masih berhati-hati menyeimbangkan hubungan ekonomi dan politiknya, mengingat minyak Rusia selama ini menjadi sumber utama energi murah bagi India di tengah fluktuasi global. 

Di sisi lain, Rusia melalui pernyataan resmi tetap optimistis bahwa kemitraan energinya dengan India akan terus berlanjut, menandakan bahwa ketergantungan kedua negara ini belum akan berakhir dalam waktu dekat.

Tekanan tambahan datang dari keputusan Inggris yang mengumumkan sanksi baru terhadap dua raksasa energi Rusia, Rosneft dan Lukoil. Langkah tersebut semakin menambah kompleksitas lanskap perdagangan minyak global. 

Di satu sisi, sanksi ini berpotensi menghambat pasokan minyak Rusia ke pasar Eropa. Namun di sisi lain, jika India atau negara lain mencari pasokan alternatif, maka pola distribusi minyak dunia akan berubah, menciptakan ketidakseimbangan sementara antara suplai dan permintaan.

Kombinasi dari faktor-faktor tersebut membentuk sentimen bearish yang cukup kuat di pasar minyak dunia. Para trader juga masih dibayangi oleh kekhawatiran kelebihan pasokan global yang sudah muncul sejak awal pekan. Hal ini terutama setelah harga minyak sempat melemah akibat ketegangan perdagangan AS–China.

Secara teknikal, penurunan harga Brent dan WTI ke level terendah sejak Mei menunjukkan bahwa momentum bullish yang sempat terbentuk di pertengahan tahun mulai kehilangan tenaga. 

Investor tampaknya menunggu kepastian baru, apakah potensi pertemuan AS–Rusia akan benar-benar menghasilkan kesepakatan damai yang berdampak positif bagi stabilitas pasokan energi, atau justru memperpanjang ketidakpastian di pasar komoditas.

Secara keseluruhan, kondisi pasar minyak saat ini berada dalam fase transisi antara dua kekuatan yang bertolak belakang, yaitu kekhawatiran kelebihan pasokan akibat produksi tinggi dan stok yang meningkat, versus kemungkinan gangguan pasokan jika ketegangan geopolitik berubah arah atau sanksi diperketat. 

Dalam jangka pendek, harga minyak berpotensi tetap tertekan karena faktor fundamental masih menunjukkan surplus pasokan, sementara sentimen politik global belum memberikan arah yang pasti. 

Namun, apabila pertemuan antara Trump dan Putin nantinya menghasilkan terobosan diplomatik yang signifikan, pasar energi dunia bisa kembali bergejolak, entah menuju stabilisasi atau justru ke volatilitas baru, tergantung pada isi kesepakatan yang tercapai.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Yunila Wati

Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79