KABARBURSA.COM - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan kabar menggembirakan dari iklim geopolitik global.
Ketegangan antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia, Amerika Serikat dan China, mulai menunjukkan tanda-tanda mencair. Kedua negara membuka ruang negosiasi dan menahan diri dari aksi balas-membalas tarif perdagangan.
Perkembangan menurut Sri Mulyani membawa angin segar ke pasar keuangan dunia, termasuk Indonesia. Hal itu disampaikan dalam konferensi pers APBN Kita pada Jumat, 23 Mei 2025.
"Gejolak pasar keuangan global relatif lebih mereda dibandingkan posisi awal April," kata dia.
Meredanya volatilitas global juga berdampak langsung terhadap kurs rupiah. Menurut data Kementerian Keuangan, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami depresiasi sebesar 1,6 persen secara year to date (ytd), atau berada di posisi Rp 16.395 per dolar AS.
Kondisi pasar modal nasional juga menunjukkan sinyal pemulihan. Indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) tercatat menguat signifikan sebesar 9,7 persen sepanjang April. Di sisi lain, kinerja instrumen utang negara pun turut membaik.
Imbal hasil surat berharga negara (SBN) tenor 10 tahun tercatat menurun 15 basis poin sejak awal tahun. Jika dihitung secara bulanan, penurunan mencapai 17 basis poin. Hingga 21 Mei 2025, yield SBN berada di level 6,8 persen atau 223 basis poin.
"Penurunan untuk government bond bagus, karena makin rendah yield-nya, beban utang berkurang," ujar Sri Mulyani.
Sebagai informasi, berdasarkan data yang diiris Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa gejolak pasar keuangan global mulai mereda setelah adanya indikasi de-eskalasi perang tarif antara Amerika Serikat dan China.
Kesepakatan antara kedua negara tersebut mendorong sentimen positif di pasar keuangan global, tercermin dalam apresiasi nilai tukar, penguatan indeks saham, dan penurunan imbal hasil surat berharga negara (SBN).
Pada aspek nilai tukar (exchange rate), banyak mata uang mengalami apresiasi terhadap dolar AS. Rubel Rusia mencatat apresiasi tertinggi sebesar 5,5 persen, diikuti oleh euro (4,2 persen), yen Jepang (3,8 persen), dan real Brasil (0,2 persen).
Sebaliknya, rupiah Indonesia mengalami depresiasi sebesar -1,6 persen ytd dengan nilai tukar per 21 Mei 2025 berada di Rp16.395/USD, meskipun sejak 2 April hingga 21 Mei terjadi sedikit apresiasi sebesar 1,9 persen. Argentina dan Turki mencatat depresiasi terbesar, masing-masing -11,2 persen dan -9,9 persen.
Untuk indeks harga saham (stock price index), pasar Meksiko dan Italia mencatatkan penguatan tertinggi dengan kenaikan masing-masing 18,3 persen dan 18,2 persen. Saham di Afrika Selatan, Brasil, dan kawasan euro juga menunjukkan penguatan yang signifikan.
Indonesia mencatat kenaikan indeks saham sebesar 9,7 persen sejak awal April hingga 21 Mei, meski hanya tumbuh 0,9 persen sepanjang tahun berjalan (ytd). Sementara itu, negara seperti Malaysia, Jepang, Argentina, dan Thailand mengalami pelemahan indeks saham, dengan Thailand mencatat penurunan terbesar sebesar -15,7 persen.
Dalam hal imbal hasil surat utang negara (government bond yield), tren penurunan yield menjadi sorotan. Meksiko, Brasil, dan Filipina mengalami penurunan yield paling besar, masing-masing -99 bps, -96 bps, dan -61 bps sepanjang tahun berjalan.
Indonesia mencatat penurunan yield sebesar -15 bps ytddan -7 bps sejak awal April hingga 21 Mei, dengan yield SBN tercatat pada angka 6,8 persen atau 223 basis poin. Sebaliknya, Jepang dan Turki mengalami peningkatan yield, di mana Turki mencatat lonjakan hingga 326 bps selama periode tersebut. (*)