KABARBURSA.COM – Senior Consultant Supply Chain Indonesia (SCI) Sugi Purnoto mengungkapkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) punya pekerjaan rumah yang belum tuntas di sektor logistik. Menurutnya, selama sepuluh tahun memimpin Indonesia atau dua periode Jokowi belum dapat menyelesaikan persoalan keterbatasan solar bersubdisi.
“Ketidakjelasan dari BPH Migas terkait pengaturan BBM bersubsidi, terutama soal solar atau B35 atau biosolar. Itu sebelum Jokowi, sampai Jokowi periode pertama dan kedua itu tidak clear. Bahkan di beberapa daerah, itu masih kekurangan. Kalau untuk Kalimantan dan Sulawesi itu masih terjadi,” kata Sugi Purnoto kepada Kabar Bursa, Senin, 19 Agustus 2024.
Sugi menilai pemerintah belum memperjelas dan tidak berani mengambil sikap terutama di posisi Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas untuk melarang pengguna mobil Fortuner dan Pajero menggunakan bio solar bersubsidi. Ia melihat ada tarik ulur dalam implementasi regulasi bio solar subsidi.
Meski tidak menaikkan harga solar bersubsidi, namun kelangkaan solar ini membebani pengusaha logistik dalam untuk beroperasi. Menurutnya, lebih baik pemerintah menaikkan harganya dan tidak Perlu memberi subsidi dengan syarat suplainya melimpah.
Dampak keterbatasan solar bersubsidi adalah peningkatan biaya angkutan atau cost logistik karena truk harus tertahan di SPBU untuk mendapatkan solar bersubsidi. Semakin lama truk berada di jalan, cost angkutan bertambah karena biaya membengkak.
“Dampak yang ditimbulkan cukup besar. Di SPBU menambahkan waktu satu hari untuk inap (antre solar). Kalau di Kalimantan, sore hari itu sudah harus mengantre dan baru dapat solar subsidi pada pagi hari. Itu kehilangan waktu,” keluhnya.
Terpaksa Ambil Solar Buruk
Jika tidak ingin mengantre lebih lama dan membengkakkan biaya atau barang harus segera sampai, pengusaha angkutan mau tidak mau terpaksa membeli solar secara eceran yang dijual masyarakat di pinggir jalan.
Pilihan lainnya, kata Sugi, adalah membeli Dexlite atau bahan bakar untuk kendaraan bermesin diesel yang kualitasnya lebih mahal dibandingkan solar subsidi.
“Di Kalimantan banyak solar yang dijual di pinggir jalan. Solar tersebut bisa dari eks kapal. Kualitas solar ini sangat buruk sehingga punya efek yang merusak untuk mesin. Tetapi itu terpaksa harus dilakukan dan BBM jenis solar yang dijual di pinggir jalan dijual dengan harga Rp10 ribu per liter,” ungkapnya.
Sugi menilai, di balik keterbatasan solar bersubsidi di Indonesia adalah kelalaian BPH dalam menakar kebutuhan solar bersubsidi di Indonesia. Mantan Wakil Ketua II DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) itu mengungkapkan bahwa kuota solar telah ditentukan jumlahnya dan kuota tersebut dibagi setiap bulan.
Kuota solar bersubsidi tersebut, kata Sugi, tidak dihitung dengan baik oleh BPH Migas berdasarkan dengan prakiraan pertumbuhan ekonomi, terutama di sektor logistik. Kuota solar bersubsidi hanya ditentukan berdasarkan dengan kuota pada tahun-tahun sebelumnya.
“Saya yakin mereka (BPH Migas) tidak menghitung. Mereka hanya menghitung periode lalu. Laporan ini mereka sampaikan ke DPR subsidinya itu. Silahkan dicek kalau kuotanya tidak pernah naik,” tegasnya.
Menurut Sugi, aspek yang tidak dihitung adalah pertumbuhan jumlah kendaraan truk yang digunakan oleh perusahaan logistik per tahun dan data penjualan truk yang dikeluarkan oleh Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) setiap tahun.
Setiap tahun jumlah truk yang dijual dari kategori 1-3 atau truk dengan jumlah ban mencapai 4-6 buah it uterus bertambah. Ditambah lagi dengan truk lama yang masih beroperasi di Pelabuhan Tanjung Priok.
“Lihat di priok, truk yang umurnya sudah 25 tahun saja masih beroperasi dan normal beroperasi. Artinya, yang lama masih jalan dan yang baru terus datang itu ada pertumbuhan kebutuhan solar. Karena mereka (perusahaan logistik) menambah volume,” jelasnya.
Sugi menambahkan, pertumbuhan ekonomi di Indonesia ditopang oleh sektor industri retail dan kebutuhan pokok. Semua industri tersebut dikirim menggunakan jasa perusahaan angkutan barang.
“Jadi inilah yang tidak dianggarkan oleh BPH migas. Kerugian dari hal ini ada dua. Pertama lead time bertambah. Kedua terpaksa membeli solar dexlite yang lebih mahal 2 kali lipat yang tidak dibayar oleh customer. Kondisinya seperti ini,” kata Sugi.
Pengendali Subsidi Dan Kompensasi
Seperti diberitakan sebelumnya, Pemerintah sebelumnya memperkirakan bahwa volume konsumsi Solar dan Pertalite dapat dikurangi hingga 17,8 juta kiloliter (kl) per tahun, berdasarkan simulasi pengendalian subsidi dan kompensasi terhadap Solar dan Pertalite yang dapat dilakukan dengan mengendalikan kategori konsumen.
Hal ini terjadi karena kebijakan subsidi energi pada 2025 akan mengarahkan penyaluran BBM bersubsidi dengan melibatkan registrasi konsumen yang menggunakannya. Pemerintah berencana melanjutkan pemberian subsidi tetap untuk BBM jenis Solar dan subsidi selisih harga untuk minyak tanah, disertai dengan pengendalian volume dan pengawasan terhadap golongan atau sektor yang berhak memanfaatkannya.
Namun, terkait dengan besaran subsidi tetap untuk Solar, pemerintah akan mempertimbangkan perkembangan indikator ekonomi makro, khususnya harga minyak mentah Indonesia (ICP) dan nilai tukar rupiah.
Sebagai catatan, untuk tahun 2024, alokasi BBM bersubsidi jenis Solar mencapai 19 juta kl, naik dari tahun sebelumnya yang sebanyak 17 juta kl. Sementara itu, alokasi Pertalite ditetapkan sebesar 31,7 juta kl tahun ini, turun dari alokasi tahun 2023 yang mencapai 32,56 juta kl.
“Untuk memastikan upaya pengendalian konsumsi berhasil dilakukan, maka diperlukan sinergi dan koordinasi antarkementerian/lembaga dan pemerintah daerah maupun instansi terkait lainnya,” tulis dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) Tahun 2025.(*)