Logo
>

Ketua Banggar DPR: Tarif Trump tak Logis, BRICS Jadi Opsi Nyata RI

Ketua Banggar DPR RI menilai kebijakan tarif tinggi AS menyimpang dari logika dagang adil. BRICS dinilai sebagai suara alternatif di tengah pasifnya WTO dan IMF.

Ditulis oleh Dian Finka
Ketua Banggar DPR: Tarif Trump tak Logis, BRICS Jadi Opsi Nyata RI
Presiden Prabowo Subianto mengikuti sesi pertemuan bersama para pemimpin dan delegasi negara yang hadir di Rio de Janeiro, Brasil. Sesi pertemuan pada Senin, 7 Juli 2025 tersebut mengangkat tema “Environment, COP 30, and Global Health” yang menyoroti tantangan lingkungan serta isu kesehatan global. (Foto: Dok. Setneg)

KABARBURSA.COM – Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah, menilai kebijakan tarif tinggi Amerika Serikat (AS) terhadap produk ekspor Indonesia bukan semata soal keberhasilan atau kegagalan negosiasi.

Menurutnya, persoalan ini lebih kompleks karena sejak awal pendekatan tarif yang diambil oleh AS sudah menyimpang dari logika perdagangan yang adil.

“Bukan soal maksimal, kurang maksimal, atau tidak maksimal. Karena awal itu pengenaan tarifnya itu kan lucu. Defisitnya berapa? Kalau defisitnya 10, tinggal bagi dua. Tapi kali ini tiba-tiba muncul 135 persen,” ungkap Said, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu 9 Juli 2025.

Ia menjelaskan, hasil negosiasi awal tim Indonesia telah menurunkan beban tarif menjadi 32 persen. Namun, ia tetap berharap situasi ini bisa membaik sebelum batas waktu 1 Agustus yang diberikan oleh Presiden AS Donald Trump.

“Saya masih berharap positif sampai tanggal 1 Agustus tarif kita kembali semula. Walaupun sebenarnya tarif dasar kita sudah kena 10 persen. Jadi kalau ditambah 32 persen, ya 42 persen,” ujar legislator dari Fraksi PDI Perjuangan itu.

Said menilai bahwa jika kebijakan sepihak AS terus berlanjut, maka eksistensi BRICS akan menjadi kebutuhan nyata bagi banyak negara. Menurutnya, BRICS kini menjadi alternatif suara global di tengah pasifnya lembaga-lembaga multilateral seperti World Bank, IMF, dan WTO.

“Sekarang yang bisa menyuarakan itu ya BRICS. Dunia memerlukan BRICS sebagai katup pengaman,” tegasnya.

Terkait strategi Indonesia, Said menolak gagasan memutus pasar AS. Menurutnya, solusi terbaik adalah langkah diversifikasi yakni dengan membuka pasar baru dan memperkuat kerja sama perdagangan bilateral berbasis mata uang lokal.

“BI punya instrumen swap settlement. Kalau kita dengan Jepang, Jepang bisa pakai yen, kita rupiah. Itu yang terbaik, pakai uang lokal masing-masing,” tandasnya.

Trump Ultimatum RI dengan Tarif 32 Persen

Indonesia resmi masuk daftar negara yang diultimatum Presiden Donald Trump. Dalam surat tertanggal 7 Juli 2025 yang dialamatkan langsung kepada Presiden Prabowo Subianto, Trump menegaskan bahwa mulai 1 Agustus 2025 seluruh produk Indonesia yang mendarat di pasar Amerika akan dikenai tarif tunggal sebesar 32 persen.

“Mulai 1 Agustus 2025, kami akan mengenakan tarif sebesar 32 persen terhadap semua produk Indonesia yang dikirim ke Amerika Serikat, terpisah dari seluruh tarif sektoral yang telah berlaku,” tulis Trump pada paragraf kedua surat sepanjang dua halaman itu.

Tarif ini bersifat menyeluruh, meliputi tekstil, alas kaki, makanan olahan, furnitur, hingga produk karet, dan dikenakan di luar tarif sektoral yang sudah berlaku. Trump menegaskan bea masuk tersebut masih “jauh lebih kecil” dari defisit perdagangan yang dituding disebabkan kebijakan tarif dan non-tarif Indonesia.

Data dari United States Trade Representative mencatat nilai ekspor barang Indonesia ke Amerika Serikat sepanjang 2024 mencapai USD28,1 miliar, sementara impor dari AS ke Indonesia hanya sebesar USD10,2 miliar. Angka ini meninggalkan surplus perdagangan sekitar USD17,9 miliar di pihak Indonesia, selisih neraca dagang yang selama ini menjadi sorotan dalam berbagai agenda dagang bilateral. Surplus inilah yang oleh Trump dianggap “ancaman terhadap perekonomian dan keamanan nasional AS”.

“Harap dipahami bahwa tarif-tarif ini diperlukan untuk mengoreksi bertahun-tahun kebijakan tarif dan non-tarif serta hambatan dagang Indonesia, yang telah menyebabkan defisit perdagangan terhadap Amerika Serikat yang tidak berkelanjutan,” tulis Trump.

Selama kuartal pertama 2025, Badan Pusat Statistik mencatat nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat tercatat sebesar USD7,3 miliar. Dari angka itu, mesin dan perlengkapan elektrik (kode HS 85) menjadi penyumbang utama dengan nilai ekspor mencapai USD1,22 miliar, setara dengan 16,7 persen dari total ekspor ke Negeri Paman Sam.

Alas kaki menempati urutan kedua dengan kontribusi USD657,9 juta (9 persen), disusul pakaian rajutan (HS 61) sebesar USD629,2 juta dan pakaian bukan rajutan (HS 62) senilai USD568,4 juta. Dua subsektor tekstil ini secara kolektif menguasai hampir 17 persen dari total ekspor ke AS.

Ekspor minyak dan lemak nabati, sebagian besar dari sawit, menyusul di belakang dengan nilai USD507,2 juta. Diikuti produk furnitur dan alat penerangan (HS 94) sebesar USD410,4 juta, serta karet dan produk turunannya (HS 40) senilai USD397,6 juta.

Komoditas ekspor unggulan lainnya mencakup hasil perikanan seperti ikan dan udang senilai USD287,3 juta, mesin-mesin mekanik sebesar USD244,5 juta, serta kakao dan produk olahannya senilai USD235,9 juta. Sementara itu, ekspor dari berbagai produk lain yang tidak termasuk dalam daftar utama mencapai lebih dari USD2,1 miliar, atau hampir sepertiga dari total ekspor Indonesia ke Amerika Serikat.

Alih-alih hanya memuat ancaman, surat Trump juga menyisipkan insentif tersembunyi. Ia membuka ruang negosiasi melalui skema relokasi industri sebagai jalan keluar dari tarif tinggi. Dengan kata lain, produk Indonesia bisa tetap masuk pasar AS tanpa dikenai bea masuk, asal dibuat langsung di sana.

“Tidak akan ada tarif jika Indonesia, atau perusahaan-perusahaan di dalam negeri Anda, memutuskan untuk membangun atau memproduksi barang di Amerika Serikat,” kata Trump, seraya menjanjikan proses perizinan yang “cepat, profesional, dan rutin—dengan kata lain, hanya dalam hitungan minggu,” tulis Trump.

Bagian penutup surat juga menyiratkan peluang kompromi.

“Jika Anda bersedia membuka pasar dagang yang selama ini tertutup bagi Amerika Serikat, dan menghapus tarif serta hambatan non-tarif dan kebijakan dagang lainnya, kami mungkin akan mempertimbangkan penyesuaian terhadap surat ini. Tarif-tarif ini dapat diubah, naik atau turun, tergantung pada hubungan kami dengan negara Anda,” kata Trump.

Ultimatum tarif 32 persen ini menjadi lonceng peringatan bagi Indonesia. Tekstil, alas kaki, furnitur, dan makanan olahan, empat pilar ekspor padat karya, terancam kehilangan daya saing. Pemerintah perlu bergerak cepat dengan memperkuat posisi tawar di meja negosiasi, menyiapkan bantalan fiskal bagi industri terdampak, sekaligus mempercepat diversifikasi pasar. (*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Dian Finka

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.