KABARBURSA.COM - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, MH Said Abdullah, mengkritik keras kebijakan tarif resiprokal sebesar 10 persen yang akan diberlakukan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump terhadap negara-negara anggota BRICS, termasuk Indonesia.
Said menilai, kebijakan sepihak Washington bukan sekadar perang dagang, tetapi mencerminkan sikap anti-multilateral yang dapat merusak tatanan global.
“Kebijakan Pemerintah Amerika Serikat saat ini dengan kepemimpinan Donald Trump, itu nampaknya memang mengabaikan dengan sengaja organisasi internasional. PBB sudah tidak dianggap, World Bank sengaja dilemahkan, IMF samin mawon,” tegasnya di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu, 9 Juli 2025.
Menurut legislator PDI Perjuangan itu, jika pendekatan unilateral terus dilanjutkan, maka negara-negara lain cenderung akan bersikap proteksionis demi menjaga kedaulatannya masing-masing.
“Kalau begini ceritanya, maka kemudian setiap negara akan melakukan proteksionis terhadap negaranya sendiri dan pada saat yang sama negara yang kuat akan semena-mena,” ujarnya.
Said menyebut istilah “tarif resiprokal” yang digunakan Trump sejatinya hanya kamuflase dari kepentingan sepihak AS. Bagi banyak negara, termasuk Indonesia, kebijakan tersebut justru menjadikan mereka “tumbal” ambisi unilateral Amerika.
“Tarif timbal balik itu nyatanya membuat 105 negara jadi korban. Padahal dulu Amerika dihormati karena membangun bersama. Sekarang, negara lain dianggap nothing. Itu bahaya,” jelasnya.
Ia menyerukan penguatan ketahanan ekonomi nasional dan percepatan deregulasi agar Indonesia semakin ramah terhadap investasi asing.
Terkait rencana negosiasi pemerintah, Said mendorong langkah itu tetap dilakukan dengan prinsip keadilan. “Kami akan dorong pemerintah untuk terus negosiasi. Tapi kerangkanya harus perdagangan yang adil, tarif yang adil. Kita tidak pernah mengganggu kepentingan Amerika,” ujarnya.
Tetap Bertahan di BRICS
Kendati Presiden AS menggencarkan tekanan namun pemerintah memastikan bahwa Indonesia tidak akan mundur dari keanggotaannya di blok ekonomi BRICS, meskipun Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, berencana memberlakukan tarif resiprokal tambahan sebesar 10 persen terhadap seluruh negara anggota BRICS, termasuk Indonesia.
Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, menegaskan bahwa langkah Indonesia saat ini adalah tetap mengedepankan jalur diplomasi dan negosiasi aktif dengan pemerintah Amerika Serikat.
“Enggak (keluar). Jadi yang per hari ini dapat kami sampaikan adalah kita tetap melanjutkan upaya untuk bernegosiasi dengan pemerintah AS. Berdasarkan apa yang disampaikan Presiden Trump, di situ kan memberi tenggat waktu sampai 1 Agustus,” ujar Prasetyo saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 9 Juli 2025.
Ia menjelaskan, pemerintah tidak ingin bersikap tergesa dalam menanggapi rencana kenaikan tarif tersebut. Tim ekonomi nasional, termasuk Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, saat ini tengah melakukan upaya intensif guna meminimalkan potensi dampak kebijakan perdagangan dari Washington.
“Tadi malam kami berkoordinasi juga dengan Menko Ekonomi untuk kemudian melanjutkan kembali proses negosiasi,” ungkapnya.
Mengenai skema potensi beban tarif total sebesar 42 persen—gabungan dari tarif dasar 32 persen dan tambahan 10 persen—Prasetyo menjelaskan bahwa hal tersebut masih dalam tahap wacana dan belum masuk tahap implementasi resmi.
“Belum, belum. Kan baru disampaikan begitu, skemanya kan begitu, nah ini kan masih ada waktu, masih ada jeda,” jelasnya.
Ia juga menyampaikan harapan agar masyarakat turut mendukung proses diplomasi yang sedang dijalankan, dengan harapan hasil negosiasi dapat menguntungkan perekonomian nasional secara menyeluruh.
“Minta tolong aja kita, doakan tim yang sedang bernegosiasi supaya bisa menghasilkan yang terbaik lah untuk bangsa kita,” tutup Prasetyo.(*)