Logo
>

Ketua Dewan IPOSS: Aneh Kita tak Memperjuangkan Kelapa Sawit

Ditulis oleh KabarBursa.com
Ketua Dewan IPOSS: Aneh Kita tak Memperjuangkan Kelapa Sawit

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Ketua Dewan Pengawas Independen Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS), Darmin Nasution mengungkap, kelapa sawit merupakan komoditas yang layak untuk diperjuangkan.

    Jika melihat data-data statistik saat ini, tutur Darmin, sekitar 16 juta masyarakat Indonesia hidup bersandar pada komoditas kelapa sawit. Di sisi lain, dia juga menyebut kelapa sawit memiliki tingkat produktifitas yang tinggi dalam menghasilkan minyak nabati.

    “Di dalam perjalanannya komoditi ini, kalau kita lihat data-data statistik sekarang, Masyarakat Indonesia mungkin 16 juta hidup berasal dari komoditi ini. Sehingga kalau dibilang layak untuk diperjuangkan, ya memang layak. Aneh kalau kita kemudian tidak memperjuangkan ini,” kata Darmin dalam peluncuran buku Sawit, Anugerah yang Perlu Diperjuangkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Kamis, 5 September 2024.

    Diketahui, Indonesia merupakan negara terbesar pemasok minyak dengan presentase 59 persen atau setara dengan 45,5 juta ton dalam setahun dari lahan seluas 16,8 juta hektare. Dengan tingkat produktifitas yang tinggi, Darmin menilai terdapat ketidaksukaan yang berasal dari negara-negara lain yang melahirkan kampanye hitam menolak komoditas kelapa sawit.

    “Sehingga lahirlah black campaign. Karena apa? Kalah dia,” ungkapnya.

    Di Indonesia sendiri, kelapa sawit mengalami pertumbuhan sejak tahun 90an. Pada waktu itu, tutur Darmin, pemerintah membentuk Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dengan bunga 6 persen yang disokong oleh World Bank.

    “Sejak itu, kita juga lahannya luas, sehingga benar-benar, tahun 90an dan tahun 2000an itu terutama, kelapa sawit itu benar-benar pertumbuhannya hebat sekali, sedemikian hebat,” jelasnya.

    Pertumbuhan komoditas kelapa sawit terus bertumbuh hingga mengalami suplai berlebih di tahun 2011. Sehingga, kata Darmin, pemerintah melakukan hilirisasi kelapa sawit dengan mendorong produksi biodiesel untuk menaikan demand produk.

    Dari tahun 2011 hingga 2015, kata Dirman, pemerintah Indonesia terus mendalami hilirisasi kelapa sawit. Hasilnya, kata dia, Indonesia berhasil menghasilkan biodiesel 35 persen kurang dari 10 tahun.

    “Dalam waktu kurang dari 10 tahun kita kemudian sudah mencapai B35,” ungkapnya.

    Deforestasi dan Perkebunan Sawit

    Darmin menegaskan, terdapat kampanye hitam yang merendahkan kelapa sawit. Adapun dalam kampanye tersebut Perkebunan kelapa sawit dianggap membabat wilayah hutan alami.

    Pada tahun 1967, tutur Darmin, pemerintah Indonesia saat itu menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-Undang Nomor 5 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan. Dia menilai, regulasi tersebut melahirkan perusahaan yang melakukan deforestasi.

    “Sebenarnya modalnya cantik sekali, setiap berikan HPH dibegi tujuh dia luasnya itu. Sepertujuh pada tahun pertama, boleh ditebang (hutan). Habis itu tahun kedua, sepertujuh tahun kedua, sementara yang pertama itu mulai dipersiapkan untuk nanam kembali, begitu seterusnya pada tahun ke tujuh, yang pertama itu sudah besar lagi. Tapikan itu diperaturan, sayangnya peraturannya tidak terlalu diurusi, tidak terlalu ditegakkan, sehingga nggak lahir itu tanaman yang baru,” ungkapnya.

    Padahal, kata Darmin, perkebunan kelapa sawit menyumbang penanaman kembali lahan-lahan yang ditebang perusahaan pada tahun-tahun tersebut. Tepatnya sekitar tahun 1990an, dia menyebut lahan gundul hujau kembali dengan tumbuhan kelapa sawit.

    Dia juga mengaku telah menyampaikan hal tersebut dalam forum Uni Eropa terkait potensi kelapa sawit. Akan tetapi, Dirman mengaku potensi kelapa sawit tidak begitu diterima oleh negara-negara Uni Eropa.

    “Saya sudah menyampaikan itu sebenarnya di Uni Eropa, tetapi ya dasarnya dia nggak mau dengar, ya, pusing juga,” tutupnya.

    Persoalan Hulu Kelapa Sawit

    Dibalik masifnya hilirisasi komoditas kelapa sawit melalui pengembangan biodiesel, masih terdapat persoalan di sektor hulu yang luput dari pengawasan pemerintah. Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), menyebut sektor hulu industri kelapa sawit masih berkutat pada persoalan produktivitas yang menurun, klaim kawasan hutan, hingga ancaman Pasal 110B yang mengecam replanting (hanya 1 daur).

    Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Apkasindo, Gulat Manurung menuturkan, dedicated area atau pemanfaatan lahan yang terdegradasi sebagai Perkebunan kelapa sawit perlu dilakukan untuk mendukung program B50. Dengan begitu, Gulat menilai tidak ada persoalan tarik-menarik antara kebutuhan energi dengan kebutuhan pangan.

    Menurutnya, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjadi sinyal baik dalam mendukung komitmen pemerintah terkait B50. Hal tersebut juga dinilai sejalan dengan visi Presiden terpilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu), Prabowo Subianto, yakni kemandirian energi.

    “Sebenarnya sudah memberikan sinyal untuk dukungan penuh kemandirian energi ini. Apalagi salah satu program unggulan Presiden terpilih, Prabowo, adalah kemandirian energi” kata Gulat saat dihubungi Kabar Bursa, Kamis, 22 Agustus 2024..

    Gulat juga meminta Kementan untuk melakukan percepatan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Sebagaimana diketahui, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pekebunan Kementan, realisasi PSR hingga bulan Mei 2024 baru terealisasi sebesar 336,834 hektare atau sekitar 0,33 juta hektare.

    Sementara PSR yang ditargetkan pada tahun 2024 sebesar 120,000 hektare. Gulat menilai, capaian target PSR ini masih sangat jauh dari apa yang diharapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Padahal, kata dia, PSR ini menjadi hal urgen untuk segera dilakukan.

    “Hulurisasi itu sebenarnya cenderung daripada fungsi daripada Kementan, terkhusus hulirisasi di sektor perkebunan sawit rakyat, yang pada saat ini capaian target PSR-nya masih jauh dari yang diharapkan Presiden Jokowi,” jelasnya.

    Saat ini, Gulat mengaku para petani sawit seolah mengemis untuk bisa mengikuti program PSR. Padahal, kata dia, mandatori program tersebut mestinya mempermudah regulasi bagi para petani untuk mengakses PSR.

    “Mau saja petani ikut PSR, itu sudah disyukuri, karena selama proses PSR akan terjadi kevakuman pemasukan ekonomi rumah tangga petani dari kebun yang di PSR kan” tegas Gulat.

    Gulat mengaku heran dengan mandatori sektor hilir kelapa sawit yang dinilai tak sebanding dengan kondisi di sektor hulu. Padahal, kata Gulat, ketidakseimbangan mandatori tersebut berdampak pada ketersedian bahan baku yang dibutuhkan sektor hilir.

    “Jadi kalau sudah kata wajib, ya, syaratnya pun enggak ada yang mengada-ada, ya kan? Nah, jadi hilir itu tidak bekerja kalau hulu itu seperti saat sekarang ini terseok-seok,” tutupnya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi