KABARBURSA.COM - Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai rilis Kebutuhan Hidup Layak (KHL) oleh Kementerian Ketenagakerjaan di 38 provinsi tidak sekadar menyajikan deretan angka, melainkan membuka peta ketimpangan biaya hidup yang selama ini kerap luput dari perhatian publik.
Ia menyoroti perbedaan mencolok antara DKI Jakarta yang berada di puncak KHL sebesar Rp5.898.511 dan Nusa Tenggara Timur di posisi terendah Rp3.054.508. Menurutnya, jarak tersebut mencerminkan ketimpangan struktural yang berdampak langsung pada kemampuan masyarakat untuk bertahan hidup layak.
“Ini soal ketimpangan yang sering luput, yakni ketimpangan biaya untuk hidup layak, yang diam diam menentukan siapa yang bisa bertahan, siapa yang tersingkir, dan siapa yang terpaksa menurunkan standar hidup,” ujar Achmad dalam keterangannya, Sealsa 23 Desember 2025.
Ia menjelaskan, selisih KHL antardaerah yang mencapai Rp2.844.003 menunjukkan bahwa persoalan ketimpangan tidak semata terkait pendapatan, tetapi juga harga barang, akses layanan, dan kualitas hidup. Karena itu, menurutnya, kebijakan upah minimum dan pembangunan daerah tidak bisa lagi disusun dengan asumsi Indonesia sebagai satu pasar yang seragam.
“Ketika biaya hidup layak berbeda sejauh Rp2.844.003 antara provinsi tertinggi dan terendah, negara sedang menghadapi peta ketimpangan yang tidak hanya soal pendapatan, tetapi juga soal harga, akses layanan, dan kualitas hidup,” katanya.
Achmad memandang KHL sebagai indikator penting yang berfungsi layaknya alat ukur kondisi sosial ekonomi. Ia menyebut KHL bukan solusi, tetapi penunjuk arah bagi kebijakan publik.
“Bayangkan KHL seperti termometer. Termometer tidak menyembuhkan demam, tetapi ia memberi tahu seberapa parah kondisinya dan kapan perlu tindakan,” jelasnya.
Ia menambahkan, KHL memberikan gambaran biaya minimum agar pekerja dan keluarganya dapat hidup layak selama satu bulan, mencakup kebutuhan makan, kesehatan, pendidikan, perumahan, dan kebutuhan pokok lainnya. Dari data tersebut, terlihat bahwa rata-rata nasional KHL berada di kisaran Rp4,28 juta, dengan median sekitar Rp4,12 juta.
“Angka rata rata dan median ini penting untuk menunjukkan bahwa ‘Indonesia tengah’ berada di kisaran empat jutaan, sementara beberapa provinsi sudah melompat jauh di atas lima juta,” ujarnya.
Dalam konteks kebijakan upah minimum, Achmad menilai KHL kerap dipersempit hanya sebagai acuan kenaikan upah, padahal persoalannya jauh lebih kompleks. Ia mengingatkan bahwa inflasi dan pertumbuhan ekonomi tidak selalu mencerminkan tekanan biaya hidup yang bersifat lokal.
“KHL adalah kondisi jalan. Inflasi dan pertumbuhan ekonomi adalah speedometer. Alpha adalah keputusan pengemudi,” kata Achmad.
Menurutnya, kesalahan membaca indikator dapat berujung pada kebijakan yang kontraproduktif, baik berupa kenaikan upah yang menekan dunia usaha maupun penahanan upah di wilayah yang layanan publiknya lemah.
Ia juga menyoroti ketimpangan layanan publik sebagai bentuk ketidaksetaraan yang kerap tersembunyi dalam perdebatan upah.
“Ketika transportasi publik buruk, rumah tangga membayar mahal lewat waktu tempuh, ongkos bensin, cicilan kendaraan, dan kelelahan,” ujarnya.
Begitu pula dalam sektor kesehatan dan pendidikan, di mana keterbatasan layanan publik mendorong rumah tangga menanggung biaya tambahan yang tidak tercermin dalam angka resmi.
Karena itu, Achmad mendorong agar KHL dijadikan dasar pemetaan masalah lintas sektor, bukan sekadar angka pembanding tahunan.
“KHL adalah peta ketimpangan biaya hidup. Peta ini seharusnya dibaca lintas kebijakan: upah, perumahan, transportasi publik, kesehatan, pendidikan, bahkan tata kelola pangan,” tegasnya.
Ia menutup dengan menegaskan bahwa rilis KHL seharusnya menjadi kompas bagi keadilan sosial, bukan sekadar ritual tahunan dalam perdebatan upah minimum.
“Jika KHL dibaca sebagai kompas, ia akan menuntun kebijakan menuju kombinasi yang lebih adil,” pungkas Achmad.(*)