Logo
>

Kisruh Ekspor Pasir Laut, Kemendag Terkesan Buang Badan

Ditulis oleh KabarBursa.com
Kisruh Ekspor Pasir Laut, Kemendag Terkesan Buang Badan

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Kementerian Perdagangan (Kemendag) terkesan buang badan dalam polemik kebijakan ekspor pasir laut.

    Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perjanjian Perdagangan Internasional Bara Krishna Hasibuan mengatakan bahwa Kemendag memang mengizinkan ekspor pasir laut dibuka kembali. Namun, proses kebijakan itu juga melalui kementerian terkait lainnya.

    Bara menyebutkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang jadi penentu ekspor pasir laut dibuka kembali, dan diputuskan di rapat kabinet.

    “Memang izinnya itu diberikan Kementerian Perdagangan, tapi proses untuk sampai ke sini, aplikasinya itu kan sangat lama. Yang menentukan ini ekspor pasir sedimentasi adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jadi mereka memiliki kunci,” kata Bara di Kantor Kemendag, Jakarta, Senin, 23 September 2024.

    Bara menjelaskan, KKP juga menentukan perusahaan mana saja yang bisa melakukan ekspor. Selain itu, juga harus seizin Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

    “Jadi secara teknis itu ada dua Kementerian. KKP motor utamanya, kemudian ESDM, baru setelah itu kami yang final,” terangnya.

    Lebih detail lagi Bara menjelaskan, Kemendag hanya mengecek dokumen izin ekspor pasir laut apakah sudah lengkap. Dan, setelah itu memberikan izin.

    Sementara itu, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan (Zulhas) mengatakan, pihaknya hanya menjalankan Peraturan Pemerintah (PP) terkait ekspor pasir laut setelah 20 tahun tidak diperbolehkan.

    “Kok tanya saya? Itu kan Peraturan Pemerintah,” kata Zulkifli Hasan di Pergudangan Jatake, Kota Tangerang, Banten, Senin, 23 September 2024.

    Dia dengan tegas menolak jika dirinya disebut yang mengizinkan ekspor pasir laut dibuka kembali.

    Namun, Zulhas mengakui, merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) terkait dengan ekspor pasir laut merupakan sebuah konsekuensi.

    “Itu konsekuensi. Saya ini kan pemerintah, jadi kalau sudah ada Peraturan Pemerintah, apa iya saya enggak ikut? Saya ini menteri” ucapnya.

    “Bukan setuju atau enggak setuju. Kalau dari pemerintah ya harus dilaksanakan,” sambungnya menegaskan.

    Untuk diketahui, Kemendag memperbolehkan ekspor pasir laut dengan merevisi dua Permendag.

    Revisi tersebut tertuang dalam Permendag Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.

    Kemendag mengimplementasikan PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut serta menindaklanjuti usulan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

    Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Isy Karim menekankan, ekspor pasir laut hanya dapat dilakukan setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi.

    Tujuan pengaturan ekspor pasir laut sejalan dengan PP Nomor 26 Tahun 2023.

    Adapun kedua Permendag itu merupakan aturan turunan dari peraturan yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi), yakni Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

    Jokowi Didesak Cabut Izin Ekspor Pasir Laut

    Anggota Komisi VII DPR Mulyanto meminta Preside Jokowi mencabut kembali kebijakan dibukanya kembali keran ekspor pasir laut. Menurutnya, kegiatan tersebut membahayakan kedaulatan negara dan lingkungan.

    Mulyanto menegaskan, pemberian izin ekspor pasir laut itu terlalu gegabah di ujung masa kepemimpinan Jokowi. Apalagi, diketahui larangan ekspor pasir laut telah berlangsung sejak 20 tahun lalu.

    “Sudah 20 tahun dilarang, kok di ujung pemerintahannya yang tinggal satu bulan lagi, justru kembali dibuka. Ini kan terkesan kejar tayang,” kata Mulyanto kepada Kabar Bursa, Kamis, 19 September 2024.

    Meski ditujukan untuk pengerukan sedimentasi dan untuk prioritas dalam negeri, namun karena juga membolehkan pengerukan pasir laut untuk keperluan ekspor, maka PP No. 26/2023 dinilai sangat berbahaya bagi lingkungan kelautan di masa depan.

    “Kita mengkhawatirkan dampak bagi lingkungan dan kedaulatan negara. Pengaruh pada ekosistem laut, apalagi pada pulau-pulau kecil akan sangat negatif, karenanya selama 20 tahun ekspor pasir laut dilarang,” jelas Mulyanto.

    Apalagi, lanjutnya, tidak ada urgensinya memperbolehkan kembali mengekspor pasir laut. “Keuntungan ekonomi yang diperoleh tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan laut yang akan kita dapatkan,” tukasnya.

    Mulyanto menyatakan khawatir jika kebijakan ini diimplementasikan akan memperluas wilayah negara importir dan mengurangi wilayah NKRI, apalagi kalau yang mengimpor adalah negara tetangga seperti Singapura.

    “Anehnya lagi, kementerian yg bertanggung jawab dalam PP tersebut berbeda dengan kementerian yg berwenang memberi izin usaha penambangan pasir laut (Kementerian ESDM). Ini kan jadi ada dualisme,” pungkas Mulyanto.

    Sementara itu, anggota Komisi VI DPR RI Amin Ak mengungkapkan hasil kajian yang ada, baik laporan dari berbagai kekuatan civil society maupun hasil pemantauan komisi terkait di DPR, lemahnya teknologi dan sistem pengawasan laut belum dapat memastikan kegiatan pengerukan sedimentasi.

    Di sisi lain, Amin menilai, pengerukan sedimentasi laut untuk kemudian diekspor mengandung lebih banyak kerugian ketimbang keuntungan.

    “Siapa yang bisa menjamin bahwa pasir yang dikeruk adalah hasil sedimentasi, bukan pasir laut? Pemerintah gembar-gembor soal teknologi pengawasan yang canggih, faktanya untuk mengawasi aktivitas perikanan terukur dan illegal fishing saja kita belum siap,” kata Amin, Kamis, 19 September 2024.

    Selain sistem teknologi, Amin juga menilai, sumber daya manusia tenaga pengawasan yang masih minim dari sisi jumlah. Terbukti dari masih banyaknya kasus penambangan ilegal pasir laut, seperti di Kepulauan Riau dan Kepulauan Seribu.

    Tanpa pengawasan dan pengendalian yang tegas, kata Amin, kebijakan mengenai pasir laut atau hasil sedimentasi laut ini menjadi kontra produktif dengan gembar-gembor pemerintah sendiri mengenai pengembangan ekonomi hijau.

    “Kalau ekosistemnya rusak akibat penambangan pasir laut dan hasil sedimentasi, maka janji soal ekonomi hijau hanya omong kosong belaka. Karena ekosistem mangrove, padang lamun, maupun terumbu karangnya hancur,” ungkapnya.

    Selain merusak lingkungan, Amin menegaskan, penambangan pasir laut menimbulkan persoalan sosial, terutama bagi masyarakat nelayan dan pesisir. Dikhawatirkan, mata pencaharian warga pesisir hilang lantaran rusaknya ekosistem laut.

    Kalaupun pemerintah berdalih kebijakan tersebut bisa mendatangkan pendapatan negara lewat Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), kata Amin, tidak ada jaminan tidak ada kebocoran di lapangan.

    “Dengan berbagai dampak negatif tersebut, menjadi pertanyaan bagi kita, untuk siapa sesungguhnya dilegalkannya pengerukan dan ekspor pasir laut itu?” tegasnya.

    Amin kembali menegaskan, keuntungan dari mengekspor pasir laut tidak sebanding dengan risikonya, terutama dari aspek lingkungan dan ekonomi masyarakat. Secara fiskal, dia menilai hanya beberapa eksportir, penambang, dan pemerintah yang akan merasakan manfaatnya.

    “Sebaliknya, dampak negatifnya akan dirasakan oleh ekosistem laut dan masyarakat di sekitar area penambangan,” katanya. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi