KABARBURSA.COM - Memanasnya konflik di Timur Tengah antara Iran dan Israel menjadi perhatian serius pelaku industri pariwisata nasional. Meski Indonesia secara geografis jauh dari pusat konflik, namun dampak persepsi keamanan kawasan Asia tetap menghantui sektor wisata di Tanah Air, terutama menjelang musim libur sekolah pertengahan tahun ini.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) Nunung Rusmiati menilai, ketegangan geopolitik global bisa berdampak terhadap kepercayaan wisatawan mancanegara terhadap kawasan Asia secara umum.
“ASITA menyoroti kondisi geopolitik global, khususnya peran dan konflik yang melibatkan Iran, yang dapat berdampak negatif pada persepsi keamanan kawasan Asia, termasuk Indonesia,” ujar Nunung dalam konferensi pers di Jakarta Utara, Selasa, 24 Juni 2025.
Ia menekankan, Jakarta sebagai gerbang utama wisatawan internasional akan menjadi titik paling rentan terhadap gejolak persepsi global tersebut, baik dari segi trafik wisatawan, citra destinasi, maupun kepercayaan pelaku industri luar negeri.
Oleh karena itu, dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) ASITA, salah satu agenda utama adalah menyusun langkah mitigasi krisis dan strategi komunikasi terkoordinasi guna mempertahankan citra dan kepercayaan pasar wisata internasional.
Sementara itu, pemerintah tidak tinggal diam. Deputi Bidang Pemasaran Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Ni Made Ayu Marthini, mengatakan bahwa sektor pariwisata tidak bisa menunggu tenang dulu baru bergerak.
“Yang namanya liburan itu kebutuhan. Apalagi sekarang anak-anak mulai libur sekolah, jadi keluarga pasti mulai bergerak,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta Utara, Selasa 24 Juni 2025.
Ni Made menjelaskan bahwa untuk menjaga pergerakan ekonomi nasional, strategi yang diambil pemerintah adalah dengan mengandalkan pasar domestik melalui kampanye Bangga Berwisata di Indonesia (BBWI).
Pemerintah telah bekerja sama dengan pelaku industri, termasuk ASITA dan asosiasi lainnya, untuk menyediakan paket wisata terjangkau yang dapat mendorong mobilitas warga di dalam negeri.
“Di situs Pesona Indonesia tersedia banyak pilihan paket bundling, yang kalau dibandingkan dengan beli sendiri justru bisa jauh lebih mahal. Ini upaya kami agar masyarakat tetap bisa berwisata tanpa terbebani ongkos tinggi,” jelasnya.
Tak hanya itu, pemerintah juga menyiapkan sejumlah insentif agar harga transportasi menjadi lebih ramah di kantong. Tiket pesawat untuk rute domestik kini tidak lagi dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang biasanya mencapai 6 persen.
Selain itu, kerja sama juga dilakukan dengan PT KAI untuk memberikan diskon tarif, serta beberapa pengelola jalan tol yang turut memberikan potongan harga.
Ni Made menegaskan, semua inisiatif ini bertujuan menjaga sirkulasi uang di sektor jasa, khususnya pariwisata. “Begitu wisata bergerak, maka ekonomi daerah ikut hidup. Ada yang jual makanan, oleh-oleh, jasa transportasi, hotel ikut merasakan dampaknya,” tambahnya.
Menanggapi situasi global, pemerintah juga mulai memperkuat fokus pada pasar regional. Menurut Ni Made, kawasan ASEAN dinilai lebih aman dan stabil untuk digarap saat ini. Salah satu langkah konkret yang dilakukan adalah meluncurkan kampanye Batam Bintan Welcome You (BBWY) untuk menarik wisatawan dari Singapura dan negara-negara tetangga.
“Kita buat paket murah, dari ferry, hotel, sampai spa dan golf. Kalau mereka jalan sendiri mungkin mahal, tapi kalau dibundling jadi sangat terjangkau. Ini strategi bundling yang kita terapkan bersama travel agent dan maskapai luar negeri,” terang Ni Made.
Ia juga mengungkapkan bahwa saat ini terjadi peningkatan wisatawan dari Vietnam, Australia, hingga India, berkat promosi aktif yang dilakukan.
“Kami melihat fenomena di mana Eropa dan Amerika sedang mengalami lonjakan harga dan pembatalan tur. Ini kesempatan buat Indonesia untuk menjadi alternatif yang lebih stabil dan terjangkau,” ungakapnya.(*)