KABARBURSA.COM - Penurunan harga barang dan jasa sebesar 0,37 persen pada Mei 2025 tidak serta-merta memberi napas segar bagi ekonomi nasional.
Sebaliknya, angka deflasi ini justru mencerminkan kekhawatiran publik yang lebih dalam: rasa tidak aman terhadap masa depan ekonomi dan pendapatan.
Ekonom dari Departemen Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai deflasi kali ini bukan sekadar peristiwa statistik, tetapi potret ketidakpercayaan konsumen terhadap keberlanjutan ekonomi rumah tangga mereka.
“Konsumen diam bukan karena mereka tak butuh, melainkan karena mereka tak yakin. Mereka meragukan kestabilan pendapatan, khawatir kehilangan pekerjaan, dan merasa belum aman secara finansial,” ujar Syafruddin kepada kabarBursa.com, 3 Juni 2025.
Turunnya harga pangan akibat lonjakan produksi beras hingga 15 persen pun tak mampu menggerakkan roda konsumsi.
Bagi Syafruddin, ini adalah bukti bahwa persoalan daya beli lebih kompleks daripada sekadar naik-turunnya harga. Ia menilai krisis kepercayaan jauh lebih menentukan dalam membentuk perilaku belanja publik.
Menurutnya, ekspektasi masyarakat terhadap pendapatan sangat memengaruhi konsumsi. Jika mereka yakin kondisi akan membaik, maka uang akan beredar.
Tapi jika harapan terhadap masa depan menurun, masyarakat memilih menyimpan uang, dan ekonomi pun melambat.
“Daya beli masyarakat tidak hanya soal nominal pendapatan, tetapi soal ekspektasi,” tegasnya.
Situasi ini menciptakan efek berantai. Ketika konsumsi stagnan, produsen ikut menahan produksi, rekrutmen tenaga kerja dikurangi, dan ekspansi bisnis ditunda.
Siklus ekonomi pun kehilangan momentum karena salah satu komponennya — ekspektasi — tidak lagi bergerak.
Syafruddin memandang bahwa upaya Bank Indonesia yang telah menurunkan suku bunga acuan sejak September 2024 patut diapresiasi, namun belum cukup.
Menurutnya, kebijakan moneter akan kehilangan daya dorong jika publik masih diselimuti rasa tidak pasti.
“Tanpa kepercayaan publik, suku bunga rendah tidak cukup kuat untuk menggairahkan konsumsi,” katanya.
Di tengah tekanan ini, ia mendorong pemerintah untuk bertindak cepat dengan mempercepat realisasi belanja negara, memperkuat program bantuan sosial, dan menciptakan lapangan kerja melalui proyek padat karya. Langkah ini akan memberikan sinyal bahwa negara hadir dan serius memulihkan ekonomi.
Selain faktor domestik, tekanan dari luar negeri juga memperburuk situasi. Penerapan tarif 10 persen dari Amerika Serikat sejak April terhadap produk Indonesia turut menekan ekspor, khususnya di sektor tambang dan manufaktur.
Bagi Syafruddin, hal ini menunjukkan bahwa ketidakpastian datang dari dua arah: dalam dan luar negeri.
Ia mengingatkan bahwa strategi diversifikasi pasar ekspor dan diplomasi dagang tidak bisa ditunda. Pemerintah harus agresif membuka akses pasar agar sisi ekspor kembali bisa menopang pertumbuhan ekonomi.
Sektor UMKM pun tak luput dari sorotan. Sebagai penyangga ekonomi rakyat, UMKM memerlukan perhatian lebih besar.
Dukungan berupa pembiayaan murah, pelatihan keterampilan, dan akses ke pasar digital harus segera diperkuat agar UMKM bisa kembali menciptakan peluang kerja.
“Ketika UMKM pulih, mereka akan menyerap tenaga kerja lokal, meningkatkan penghasilan masyarakat, dan menggerakkan kembali konsumsi,” ujar Syafruddin.
ia pun menyoroti bahwa kunci pemulihan hari ini bukan sekadar stimulus, tetapi komunikasi. Publik perlu diyakinkan bahwa arah kebijakan pemerintah konsisten dan dapat dipercaya.
“Pemerintah dan otoritas moneter harus menyampaikan arah kebijakan secara jelas dan konsisten. Kepercayaan itulah yang akan menjadi bahan bakar utama untuk memulihkan konsumsi dan investasi,” pungkasnya.(*)