Logo
>

Kritik Menhan Amerika, Ekonom: Retorika Arogan yang Untungkan Industri Senjata

Ekonom menggarisbawahi pentingnya memahami bahwa narasi ancaman sering kali dimanfaatkan oleh industri pertahanan global untuk menciptakan pasar baru.

Ditulis oleh Desty Luthfiani
Kritik Menhan Amerika, Ekonom: Retorika Arogan yang Untungkan Industri Senjata
Ilustrasi alutsista milik TNI. (Foto: Ilustrasi Kemenhan)

KABARBURSA.COM – Pernyataan keras Menteri Pertahanan Amerika Serikat Pete Hegseth, dalam forum Shangri-La Dialogue 2025 di Singapura, menuai respons kritis. 

Seruan agar negara-negara Asia menaikkan anggaran militer hingga 5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), dengan dalih menghadapi ancaman China, dipandang sebagai bentuk tekanan yang mengabaikan kenyataan sosial-ekonomi kawasan.

Ekonom dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menyebut retorika semacam itu tidak hanya arogan, tapi juga mencerminkan logika bisnis yang mengutamakan keuntungan industri senjata di atas kesejahteraan rakyat.

“Asia mulai sadar bahwa konflik hari ini bukan soal keamanan, tapi soal bisnis senjata. Yang menang bukan rakyat, tapi pabrik senjata,” ujar Syafruddin pada Minggu, 1 Juni 2025.

Dalam pidatonya, Hegseth mendesak mitra Asia untuk mengikuti jejak NATO dalam membelanjakan minimal 5 persen PDB untuk pertahanan. Namun, banyak negara Asia masih berjuang mengatasi kemiskinan, ketimpangan sosial, dan minimnya akses ke pendidikan serta layanan kesehatan.

Syafruddin menilai, ajakan ini tidak selaras dengan kebutuhan riil masyarakat Asia. 

“Mengalihkan anggaran ke militer demi ancaman yang belum tentu nyata justru menghambat pembangunan berkelanjutan,” tambahnya.

Di balik tekanan Washington, Syafruddin menggarisbawahi pentingnya memahami bahwa narasi ancaman sering kali dimanfaatkan oleh industri pertahanan global untuk menciptakan pasar baru. Dalam logika pasar, permintaan akan senjata hanya bisa dijaga melalui konflik yang terus dipelihara.

“Industri senjata tidak butuh perdamaian. Mereka butuh konflik untuk mempertahankan pasar. Itulah kenapa narasi ancaman terus diproduksi,” tutur dia.

Ia juga mengkritik gaya komunikasi Hegseth yang dinilai menggurui dan tidak menghargai dinamika politik lokal di Asia. Menurutnya, pendekatan seperti ini tidak akan efektif di tengah publik Asia yang semakin cerdas, kritis, dan sensitif terhadap kedaulatan.

Langkah Diam Beijing Strategi Redam Ketegangan

Di sisi lain, absennya Menteri Pertahanan China dalam forum tahun ini—yang hanya mengirimkan delegasi akademik—dinilai Syafruddin sebagai bentuk kedewasaan diplomatik. Ia menyebut langkah diam Beijing bisa jadi strategi untuk meredam ketegangan yang dibangun oleh retorika Amerika.

“Diam bukan berarti lemah. Bisa jadi itu strategi menghindari jebakan retorika militeristik,” ungkap Syafruddin.

Ke depan, ia mendorong negara-negara Asia untuk tidak terjebak dalam tarik-menarik kekuatan besar. Kemandirian strategis, menurutnya, adalah kunci. Ia mencontohkan ASEAN dan forum ADMM+ yang dapat dikembangkan sebagai ekosistem keamanan berbasis saling percaya, bukan dominasi kekuatan luar.

“Asia harus jadi aktor, bukan pion. Kita butuh ekosistem keamanan sendiri yang berpihak pada rakyat, bukan pada industri senjata,” ujar dia.

Ia juga menyerukan peran aktif masyarakat sipil, media, dan akademisi untuk terus mengkritisi narasi-narasi militerisasi yang hanya menguntungkan segelintir elite.

Menurut dia perdamaian seharusnya menjadi hak yang dijamin semua bangsa, bukan barang dagangan yang dikendalikan oleh negara adidaya.

“Dunia tidak butuh lagi ceramah dari kekuatan besar tentang siapa kawan dan siapa lawan. Dunia butuh solidaritas sejati, bukan rasa takut,” ujar dia.

Ia menggambarkan kegelisahan yang semakin luas di kawasan, bahwa isu keamanan seharusnya tidak dijadikan alat legitimasi ekspansi industri senjata. Di tengah tekanan geopolitik global, Asia justru ditantang untuk tampil sebagai kawasan yang mandiri secara strategis, adil secara sosial, dan bermartabat dalam diplomasi.

Hegseth Soroti Ketegangan di Kawasan Asia Timur

Pada forum keamanan tahunan Shangri-La Dialogue ke-22 yang berlangsung di Singapura pada 30 Mei 2025 kemarin, Pete Hegseth menyampaikan peringatan serius terkait meningkatnya ketegangan di kawasan Asia Timur. 

Ia menyoroti bahwa ancaman serangan militer dari China terhadap Taiwan bukanlah sekadar retorika, melainkan situasi yang bisa berubah menjadi konflik nyata dalam waktu dekat. 

Hegseth dalam pidatonya juga memperingatkan bahwa segala upaya China untuk menguasai Taiwan akan menimbulkan konsekuensi besar dan merugikan.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Desty Luthfiani

Desty Luthfiani seorang jurnalis muda yang bergabung dengan KabarBursa.com sejak Desember 2024 lalu. Perempuan yang akrab dengan sapaan Desty ini sudah berkecimpung di dunia jurnalistik cukup lama. Dimulai sejak mengenyam pendidikan di salah satu Universitas negeri di Surakarta dengan fokus komunikasi jurnalistik. Perempuan asal Jawa Tengah dulu juga aktif dalam kegiatan organisasi teater kampus, radio kampus dan pers mahasiswa jurusan. Selain itu dia juga sempat mendirikan komunitas peduli budaya dengan konten-konten kebudayaan bernama "Mata Budaya". 

Karir jurnalisnya dimulai saat Desty menjalani magang pendidikan di Times Indonesia biro Yogyakarta pada 2019-2020. Kemudian dilanjutkan magang pendidikan lagi di media lokal Solopos pada 2020. Dilanjutkan bekerja di beberapa media maenstream yang terverifikasi dewan pers.

Ia pernah ditempatkan di desk hukum kriminal, ekonomi dan nasional politik. Sekarang fokus penulisan di KabarBursa.com mengulas informasi seputar ekonomi dan pasar modal.

Motivasi yang diilhami Desty yakni "do anything what i want artinya melakukan segala sesuatu yang disuka. Melakukan segala sesuatu semaksimal mungkin, berpegang teguh pada kebenaran dan menjadi bermanfaat untuk Republik".