KABARBURSA.COM - Anggota DPRD Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), Wahyu Wahyudin, meminta pemerintah untuk memastikan kebutuhan lokal terpenuhi sebelum melaksanakan kebijakan ekspor pasir laut.
"Jika kebutuhan lokal sudah tercukupi, barulah ekspor dapat dilakukan," kata Wahyudin dikutip di Jakarta, 13 Oktober 2024.
Wahyudin menjelaskan bahwa kebijakan ekspor pasir laut kembali diperbolehkan setelah pemerintah pusat membuka keran ekspor, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Aturan ini merupakan tindak lanjut dari usulan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI.
Meski demikian, Wahyudin menegaskan, kebutuhan pasir lokal harus menjadi prioritas utama. Ia mencontohkan kerusakan lingkungan di beberapa wilayah Batam akibat penambangan pasir darat. "Pasir laut bisa menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di daerah tanpa merusak daratan," ujarnya.
Selain itu, Wahyudin menekankan pentingnya kajian lingkungan yang menyeluruh sebelum kebijakan ekspor pasir laut dijalankan. Kajian ini harus melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). "Selama kajian tersebut bertujuan untuk sedimentasi laut dan pendalaman alur kapal besar atau kapal perang, ekspor pasir laut bisa dibenarkan karena juga mendukung perekonomian Kepri," katanya.
Wahyudin berharap, kebijakan ekspor pasir laut ke depan mampu meningkatkan ekonomi Kepri. Perusahaan yang beroperasi di perairan akan diwajibkan mengeluarkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Selain itu, pajak dari ekspor pasir laut juga berpotensi besar untuk meningkatkan perputaran ekonomi di wilayah tersebut.
Ia juga menambahkan bahwa DPRD Kepri akan turun langsung ke lapangan untuk memastikan lokasi penambangan sesuai dengan regulasi. "Jika area penambangan yang diizinkan seluas 7.000 hektare, tetapi dalam praktiknya melebihi batas, pihak berwenang harus bertindak tegas," tegas Wahyudin.
Lebih lanjut, ia memperingatkan agar lokasi penambangan pasir laut tidak terlalu dekat dengan daratan karena bisa mengganggu wilayah tangkapan nelayan tradisional yang masih menggunakan alat seperti bubu dan pancing. "Jangan sampai ekspor pasir laut justru merugikan mata pencaharian nelayan lokal," ujarnya.
Wahyudin juga menekankan pentingnya sosialisasi yang menyeluruh kepada masyarakat terkait kebijakan ekspor pasir laut, untuk menghindari potensi masalah di masa depan.
Memantik Reaksi Keras
Keputusan pemerintah yang melonggarkan ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 serta Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 16 Tahun 2024 memantik reaksi keras dari kalangan akademisi, aktivis lingkungan, dan komunitas pesisir.
Kebijakan ini dinilai berpotensi merusak ekosistem laut, meningkatkan laju erosi pantai, mengganggu kelestarian terumbu karang, serta mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati. Dampak lebih luasnya, masyarakat pesisir—terutama nelayan—terancam kehilangan sumber penghidupan akibat rusaknya habitat perikanan tangkap mereka.
Lembaga riset ekonomi dan kebijakan publik, CELIOS, mengungkapkan bahwa meskipun kebijakan ini berpotensi mendatangkan keuntungan bagi pelaku usaha dan tambahan pendapatan negara, manfaatnya dinilai tidak sebanding. Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda, menyoroti hasil simulasi yang menunjukkan dampak negatif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga mencapai Rp1,22 triliun. Selain itu, pendapatan masyarakat diperkirakan menyusut hingga Rp1,21 triliun. Temuan ini menjadi penyeimbang terhadap klaim pemerintah bahwa ekspor pasir laut akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Nyatanya, klaim tersebut dianggap berlebihan.
Dari sisi pendapatan negara, estimasi kontribusi hanya mencapai Rp170 miliar jika memperhitungkan dampak tidak langsung pada sektor usaha terkait. Meski eksportir pasir laut meraup keuntungan sekitar Rp502 miliar, industri perikanan justru mengalami kerugian signifikan. Analisis ekonomi CELIOS menegaskan bahwa narasi pemerintah mengenai kontribusi signifikan tambang pasir laut terhadap penerimaan negara adalah keliru. Pendapatan dari pajak tak sebanding dengan potensi kerugian ekonomi yang diproyeksikan merosot hingga Rp1,13 triliun.
Studi ini juga mengindikasikan bahwa peningkatan ekspor pasir laut akan menekan produksi perikanan tangkap. Dengan estimasi volume ekspor sebesar 2,7 juta m³, nilai tambah bruto sektor perikanan diproyeksikan turun hingga Rp1,59 triliun. Hilangnya pendapatan nelayan mencapai Rp990 miliar, serta berkurangnya lapangan kerja di sektor perikanan sebanyak 36.400 orang.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS, menegaskan bahwa ekspor pasir laut justru akan memperbesar angka pengangguran di wilayah pesisir. Model penambangan pasir laut menggunakan kapal isap dan tongkang cenderung bersifat padat modal (capital intensive), bukan padat karya (labor intensive). Tidak ada korelasi antara ekspor pasir laut dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan inklusif.(*)