KABARBURSA.COM - Dalam suasana yang penuh makna, Indonesia dan Vatikan menyuarakan seruan perdamaian di tengah krisis global yang melanda.
Kedatangan Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik sedunia, disambut hangat oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara pada Rabu, 4 September 2024.
Kunjungan ini membawa pesan mendalam tentang pentingnya merayakan perbedaan. Indonesia, dengan keragaman 714 suku bangsa, etnis, dan lebih dari 17.000 pulau yang masing-masing memiliki budaya, agama, dan tradisi unik, menjadi contoh nyata keragaman global.
Jokowi menegaskan bahwa bagi Indonesia, perbedaan adalah anugerah, dan toleransi merupakan kunci untuk memelihara persatuan dan perdamaian bangsa.
“Dengan Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia beruntung dapat hidup berdampingan dalam harmoni. Semangat perdamaian dan toleransi inilah pesan utama yang ingin kami sampaikan bersama Vatikan, terutama di tengah ketidakstabilan dunia saat ini,” ujar Jokowi.
Presiden Jokowi juga menggarisbawahi dampak konflik global, termasuk tragedi di Palestina yang telah menelan lebih dari 40.000 korban jiwa.
Indonesia menghargai sikap Vatikan yang terus mendukung upaya perdamaian di Palestina dan mendorong solusi dua negara. “Perang tidak akan membawa keuntungan bagi siapapun dan hanya akan menyebabkan penderitaan bagi masyarakat kecil. Mari kita rayakan perbedaan kita, saling menerima, dan memperkuat toleransi untuk mewujudkan perdamaian serta dunia yang lebih baik bagi seluruh umat manusia,” tegas Jokowi.
Sementara itu, Paus Fransiskus menyampaikan komitmen Gereja Katolik untuk memperdalam dialog antar agama. “Melalui dialog, kita dapat menghapus prasangka dan menciptakan suasana saling menghargai serta percaya. Ini sangat penting untuk menghadapi tantangan bersama, termasuk melawan ekstrimisme dan intoleransi yang sering kali memanipulasi agama untuk memaksakan sudut pandang mereka melalui tipu daya dan kekerasan,” ujar Paus Fransiskus.
Kunjungan ini menjadi momen penting dalam upaya meningkatkan kerjasama internasional untuk perdamaian global. Dengan langkah-langkah yang disoroti dalam pertemuan ini, diharapkan dapat memperkuat upaya kolektif untuk menghadapi tantangan dunia yang semakin kompleks.
Berkaca dari Kekuatan Ekonomi Vatikan
Vatikan, meskipun dikenal sebagai negara terkecil di dunia, memiliki kekuatan ekonomi yang tidak boleh dianggap remeh di bawah pimpinan Paus Fransiskus.
Sejak duduk di Takhta Suci pada 2013, Paus Fransiskus, penerus Paus Benediktus XVI yang mundur karena alasan kesehatan dan wafat pada awal 2023, telah membawa Vatikan melalui periode penuh tantangan.
Presiden Joko Widodo akan menyambut kedatangan Paus Fransiskus di Indonesia pada Selasa, 3 September 2024. Paus Fransiskus akan menjalani serangkaian agenda kenegaraan dan keagamaan hingga 6 September 2024.
Vatikan, yang terletak di barat Roma, telah menggunakan euro sebagai mata uang resmi sejak 2002, meskipun mereka juga mencetak uang koin untuk keperluan cendera mata.
Menurut situs resmi Vatican.va, Vatikan memiliki sejumlah institusi untuk mengelola perekonomian negara. Segreteria per l'Economia atau Sekretariat Ekonomi, yang dipimpin oleh seorang kardinal, bertanggung jawab atas urusan keuangan.
Selain itu, The Council for the Economy, yang terdiri dari kardinal dan ahli keuangan, memainkan peran penting dalam pengelolaan keuangan.
Supervisory and Financial Information Authority (ASIF) bertugas mengawasi dan mencegah terjadinya pencucian uang serta pendanaan terorisme, memastikan bahwa sistem keuangan Vatikan tetap transparan.
Menurut data dari The World Factbook yang dirilis oleh Central Intelligence Agency (CIA), ekonomi Vatikan sebagian besar bergantung pada pariwisata. Pendapatan utama berasal dari tiket masuk museum, tur, serta penjualan cendera mata seperti perangko dan koin.
Meskipun penting, sulit untuk melacak dengan akurat pendapatan yang dihasilkan dari aktivitas ekonomi Vatikan karena tidak ada laporan tahunan yang rutin dipublikasikan mengenai pemasukan mereka. Data terakhir menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja di Vatikan mencapai 4.822 orang pada 2016.
Holy See, atau Takhta Suci, merujuk pada pemerintahan Vatikan, sedangkan Vatikan adalah wilayah fisik tempat Holy See berada. Pendapatan Holy See berasal dari Peter's Pence, sumbangan yang telah ada sejak abad ketujuh.
Menurut Investopedia, Holy See juga terlibat dalam investasi, dengan portofolio yang tersebar di sektor industri Italia dalam bentuk saham, obligasi, serta kepemilikan di perusahaan, meskipun tidak lebih dari 6 persen.
Holy See juga berinvestasi di bidang real estate global, termasuk kepemilikan tanah dan gereja di berbagai belahan dunia.
Vatikan memiliki lembaga perbankan bernama Institute for the Works of Religion (IOR). Berdasarkan laporan Vatican News, IOR mencatatkan laba bersih sekitar 30,6 juta euro atau sekitar USD526 juta pada 2023, dengan asumsi kurs Rp17.197 per dolar AS.
Masa Suram Ekonomi Dunia
Laporan terbaru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan gambaran suram mengenai prospek ekonomi global dalam waktu dekat. Kenaikan suku bunga yang masih tinggi, konflik yang terus berkecamuk, perdagangan internasional yang lesu, dan bencana iklim yang semakin sering terjadi, menjadi hambatan besar bagi pertumbuhan ekonomi dunia.
Kondisi kredit yang semakin ketat serta biaya pinjaman yang tinggi dalam jangka panjang diperkirakan akan memperburuk beban utang yang sudah berat bagi banyak negara. Ekonomi global sangat membutuhkan investasi yang lebih besar untuk mendorong pertumbuhan, menangani perubahan iklim, dan mempercepat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, dalam pidatonya di KTT Masa Depan pada 21 September 2023, menekankan pentingnya menjadikan tahun 2024 sebagai titik balik. “Dengan membuka investasi besar-besaran, kita dapat mendorong pembangunan berkelanjutan dan aksi iklim serta menempatkan ekonomi global pada jalur pertumbuhan yang lebih kuat,” ujar Guterres.
Ia juga menambahkan, “kita harus mempercepat pencapaian Stimulus SDG setidaknya sebesar USD500 juta per tahun melalui pembiayaan jangka panjang yang terjangkau untuk investasi pembangunan dan aksi iklim.”
Pertumbuhan ekonomi di negara-negara besar dan maju, terutama Amerika Serikat, diperkirakan akan melambat pada tahun 2024. Hal ini disebabkan oleh suku bunga yang tinggi, penurunan belanja konsumen, dan pasar tenaga kerja yang melemah.
Di sisi lain, prospek pertumbuhan jangka pendek di banyak negara berkembang, termasuk di Asia Timur, Asia Barat, serta Amerika Latin dan Karibia, juga memburuk.
Hal ini dipicu oleh kondisi keuangan yang lebih ketat, ruang fiskal yang menyusut, dan permintaan eksternal yang lesu. Negara-negara berpenghasilan rendah dan ekonomi yang rentan menghadapi tekanan neraca pembayaran yang meningkat serta risiko keberlanjutan utang.
Negara-negara kepulauan kecil yang sedang berkembang, khususnya, akan menghadapi tantangan berat dari beban utang yang besar, suku bunga tinggi, serta kerentanan iklim yang dapat merusak dan bahkan membalikkan kemajuan dalam pencapaian SDG.
Inflasi global diproyeksikan menurun dari 5,7 persen pada tahun 2023 menjadi 3,9 persen pada tahun 2024. Namun, tekanan harga di banyak negara masih tinggi, dan kemungkinan eskalasi konflik geopolitik berisiko memperburuk inflasi.
Laporan tersebut mencatat bahwa inflasi tahunan di sekitar seperempat negara berkembang diperkirakan akan melebihi 10 persen. Sejak Januari 2021, harga konsumen di negara-negara berkembang telah meningkat kumulatif sebesar 21,1 persen, mengikis keuntungan ekonomi yang diperoleh setelah pemulihan dari COVID-19.
Di tengah gangguan pasokan, konflik yang meluas, dan cuaca ekstrem, inflasi harga pangan lokal tetap tinggi di banyak negara berkembang, berdampak tidak proporsional terhadap rumah tangga termiskin. (*)