KABARBURSA.COM – Di tengah bara ketegangan dagang yang kian panas antara Beijing dan Washington, industri manufaktur China justru tampil mengejutkan. Laba perusahaan industri Negeri Tirai Bambu naik tiga persen secara tahunan pada April 2025. Kenaikan ini lebih kencang dibanding bulan sebelumnya yang hanya tumbuh 2,6 persen.
Data resmi dari Biro Statistik Nasional China yang dikutip The Wall Street Journal pada Selasa, 27 Mei 2025, mencatat bahwa pertumbuhan laba sektor industri tak hanya terjadi dalam satu bulan. Sepanjang empat bulan pertama 2025, akumulasi laba industri tumbuh 1,4 persen—lebih tinggi dari laju 0,8 persen yang tercatat pada kuartal pertama.
Yang menarik, lonjakan ini terjadi saat relasi dagang dua ekonomi terbesar dunia sedang kurang bersahabat. Pada April, baik Amerika Serikat maupun China saling lempar tarif baru yang cukup mengganggu kelancaran perdagangan global. Tapi alih-alih melempem, kinerja ekspor dan produksi industri China justru membaik.
Analis menilai, ini bisa jadi pertanda bahwa industri China masih punya daya tahan tinggi, bahkan ketika arus dagang global dilanda ketidakpastian. Di balik layar, perusahaan-perusahaan raksasa di sektor manufaktur tampaknya tak kehilangan momentum produksi, apalagi untuk pasar domestik yang kini kian strategis di tengah tekanan eksternal.
Buat investor global, kabar ini tentu jadi bahan pertimbangan. Pasalnya, di saat banyak negara masih terengah-engah, China justru menunjukkan sinyal stabilitas dari sektor riil. Apalagi, pertumbuhan laba industri biasanya menjadi barometer awal untuk proyeksi ekonomi kuartal berikutnya.
Industri China Bangkit, Apa Dampaknya ke RI?
Laba industri China naik tiga persen pada April 2025. Sentimen global pun ikut bergetar. Tapi apakah getaran itu sampai ke lantai ekonomi Indonesia? Jawabannya tidak sederhana. Kita perlu menengok ke dokumen tebal nan akademis berjudul The Evolution of Indonesia’s Participation in Global Value Chains, terbitan Asian Development Bank (ADB) dan Islamic Development Bank (IsDB).
Dalam laporan ini, disimpulkan bahwa selama 2000 hingga 2017, posisi Indonesia dalam Global Value Chain (GVC) justru mengalami penurunan. Partisipasi Indonesia dalam rantai nilai global—baik dari sisi forward linkage (menyuplai bahan baku) maupun backward linkage (mengimpor bahan setengah jadi)—semakin menipis. Padahal, GVC adalah jalur perdagangan utama dunia saat ini.
Data dari ADB menunjukkan kontribusi ekspor berbasis nilai tambah Indonesia terhadap produk akhir negara lain menyusut dari 31,8 persen pada 2000 menjadi 17,6 persen pada 2017. Forward linkage Indonesia dalam GVC juga turun dari 21,5 persen menjadi 12,9 persen.
Artinya, meskipun Indonesia tetap mengirim bahan mentah, kontribusi negara ini dalam rantai produksi global semakin kecil dan makin lokal orientasinya.
“Indonesia semakin bergerak ke hilir, lebih banyak memproduksi untuk pasar domestik ketimbang jadi bagian dari rantai industri dunia,” tulis laporan tersebut.
China Geliat, RI Bisa Ketiban Rejeki?
Ketika industri China justru melonjak di tengah ketegangan dagang, Indonesia bisa saja dapat durian runtuh. Alasannya sederhana, China tetap butuh bahan baku. Dan sebagian besar bahan itu berasal dari negara seperti Indonesia—sawit, batu bara, nikel, dan karet, misalnya.
Laporan ADB juga menyebut selama periode 2000–2017, sektor primer Indonesia, termasuk hasil tambang dan agrikultur, justru mengalami peningkatan kompleksitas dalam GVC, dengan nilai tambah yang semakin sering melintasi batas negara lebih dari sekali. Ini artinya, sektor-sektor itu relatif lebih siap untuk terhubung ke pasar yang lebih luas—termasuk China.
Namun, laporan yang sama mengingatkan bahwa manufaktur berteknologi menengah dan tinggi di Indonesia justru menurun kontribusinya dalam ekspor berbasis nilai tambah. Bahkan, dari sisi backward linkage, ketergantungan Indonesia pada bahan baku impor juga ikut melemah.
Jadi, meskipun permintaan industri China meningkat, tidak serta-merta Indonesia ikut kebanjiran order. Sebab, struktur industri Indonesia tidak banyak terhubung dengan sektor manufaktur China yang saat ini sedang bangkit.
ADB menyimpulkan Indonesia lebih aktif dalam hubungan dagang bilateral, bukan dalam jaringan GVC multinasional yang lebih kompleks. Bahkan dari konflik dagang AS-China pun, Indonesia hanya diproyeksi akan mendapat tambahan produk domestik bruto sebesar 0,06 hingga 0,14 persen saja—sangat kecil untuk negara dengan PDB lebih dari USD1 triliun.
Industri China yang tetap melaju bisa berdampak positif bagi Indonesia, kalau kita bisa menyodorkan pasokan bahan baku yang mereka butuhkan. Tapi jika yang dijual hanya komoditas mentah, Indonesia hanya akan menikmati keuntungan jangka pendek, tanpa banyak nilai tambah.
Laporan ADB mendorong Indonesia untuk memperkuat sektor manufaktur dan teknologi menengah jika ingin naik kelas dalam rantai nilai global. Tanpa itu, setiap geliat industri global hanya akan membuat Indonesia jadi penonton, bukan pemain.(*)