KABARBURSA.COM – Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment INDEF, Ariyo D. P Irhamna menilai, presiden terpilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu), Prabowo Subianto, perlu mengesampingkan sisi kepemimpinan populis demi mengakselerasi pertumbuhan ekonomi sesuai yang ditargetkan, yakni 8 persen.
Hal itu dia ungkap berdasarkan pertumbuhan ekonomi di bawah kepemimpinan populis Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang stagnan di angka 5 persen. Ariyo menilai, sikap populis Jokowi tercermin dari berbagai kebijakan dan kerangka anggaran.
Mengutip data dari Kementerian Keuangan, anggaran bantuan sosial di awal perioden kepemimpinan Jokowi cukup berdinamika. Pada tahun 2014 sebesar Rp484,10 triliun, 2015 sebesar Rp276,20 triliun, 2016 Rp215 triliun, 2017 Rp216,60 triliun, 2018 Rp293,80 triliun dan 2019 Rp308,40 triliun.
Sementara di period ke dua masa kepemimpinannya, anggaran bantuan sosial kembali melonjak. Pada tahun 2020 sebesar Rp498 triliun, 2021 turun di angka Rp468,20 triliun, 2022 sebesar Rp460,60 triliun, 2023 Rp443,50 triliun, kemudian melonjak lagi di tahun 2024 menjadi Rp496,80 triliun.
Kendati begitu, Ariyo menilai, datarnya dinamika anggaran bantuan sosial terjadi lantaran distribusinya yang disebar oleh kementerian dan lembaga lain. Karenanya, sikap populis yang dilakukan Jokowi menahan laju ekonomi di angka 5 persen.
“Untuk bantuan masyarakat itu tersebar dan itu meningkat drastis. Itu tercermin bahwa Presiden Pak Jokowi ini pemimpin yang populis dan itu tidak bisa mendorong pertumbuhan sampai 8 persen. Jadi kenapa tertahan di 5 persen, karena pemimpinnya populis. Jadi pemimpinnya populis, yang beliau pikirkan bagaimana citra dirinya baik,” kata Ariyo dalam acara diskusi publik bertajuk ‘RAPBN di Masa Transisi: Apa Saja yang Harus Diantisipasi?’ yang diikusi secara daring, Minggu, 18 Agustus 2024.
Untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, Ariyo menilai, Prabowo mesti memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda dari Jokowi. Akan tetapi, dia menilai sulit menghilangkan citra dan gaya kepemimpinan populis ala Jokowi.
“Bayangkan saja, 10 tahun terakhir masyarakat dimanjakan dengan bantuan sosial. Kemudian tiba-tiba berkurang drastis. Tentu masyarakat akan menilai, bisa tidak puas terhadap kinerja Pak Prabowo karena kontras dengan apa yang dikerjakan Pak Jokowi,” ungkapnya.
Ariyo menilai, secara substansi kepemimpinan era Jokowi telah memanjakan masyarakat melalui bantuan sosial yang digelontorkan dalam satu dekade terakhir. Hal itu dinilai membebani Prabowo untuk memberikan bantuan sosial yang setara.
“Mungkin Pak Prabowo akan populis juga, karena masih lima tahun,” jelasnya.
RAPBN 2025 Tak Optimis, Tapi Rasional
Peneliti Center of Macroeconomics and Finance INDEF, Riza Annisa Pujarama menilai, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 tidak seoptimis tahun-tahun sebelumnya.
Hal itu dia ungkap mengacu pada target pertumbuhan ekonomi 2025 yang sama dengan tahun sebelumnya, yakni 5,2 persen. Meski begitu, inflasi tetap ditargetkan menurun dari 2,8 persen di tahun 2024 menjadi 2,5 persen di tahun 2025.
Akan tetapi, Riza mengingatkan bahwa inflasi yang rendah lantaran tiga bulan terakhir ekonomi Indonesia juga mengalami deflasi. Dia menilai, deflasi yang terjadi secara beruntun menandakan rendahnya daya beli masyarakat.
“Asumsi makro di RAPBN 2025, kalau dari PDB pengeluaran itu relatif tidak optimis. Itu rasional,” jelasnya.
Menurutnya, target yang kurang optimis itu didasari dengan kondisi ekonomi dalam negeri, di mana terjadi penurunan daya beli masyarakat, menurunannya sektor industri manufaktur yang berimplikasi pada pemutusan hubungan kerja, hingga kondisi perekonomian global.
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen, Riza menilai, pemerintahan Prabowo mesti memacu kembali daya beli masyarakat untuk mendongkran konsumsi rumah tangga. Apalagi, kata dia, 50 persen pembentuk PDB berasal dari konsumsi rumah tangga.
Perbaikan pertama yang perlu dilakukan, yakni pendapatan masyarakat dan industri sektor manufaktur yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. “Ini sebuah satu kesatuan yang harus diperbaiki secara bersama-sama. Jadi kita harus perbaiki dulu secara sektoralnya,” ujarnya.
Di sisi lain, Prabowo juga perlu meningkatkan pendapatan dari kelas menengah untuk memacu penerimaan pajak. Begitu juga dengan pengembangan sumber daya manusia (SDM), perbaikan di sektor tersebut perlu untuk pertumbuhan yang berkelanjutan.
Prabowo bakal Tarik Utang Baru
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati merancang penarikan utang baru sebesar Rp775,9 triliun untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pertama di bawah pemerintahan Prabowo Subianto pada tahun 2025.
Rencana ini tercantum dalam Buku II Nota Keuangan RAPBN 2025 yang dirilis setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan Pidato Kenegaraan RAPBN 2025 dan Nota Keuangan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat, 16 Agustus 2024.(*)