KABARBURSA.COM - Bank Indonesia (BI) telah memberikan update mengenai indikator stabilitas nilai rupiah seiring dengan perkembangan kondisi perekonomian global dan domestik terbaru.
Pada penutupan perdagangan di hari Kamis, 10 Oktober 2024, nilai rupiah ditutup pada level (bid) Rp15.660 per dolar Amerika Serikat (AS).
Dalam momen yang sama, Yield Surat Berharga Negara (SBN) untuk tenor 10 tahun meningkat menjadi 6,67 persen. Indeks dolar AS, yang dikenal sebagai DXY, juga mengalami penguatan hingga mencapai level 102,99. Selain itu, yield untuk obligasi pemerintah AS dengan tenor 1-10 tahun, yaitu US Treasury (UST) 10 tahun, naik menjadi 4,061 persen.
Masuk ke hari Jumat, 11 Oktober 2024, rupiah dibuka pada level (bid) Rp15.640 per dolar AS, sedangkan yield SBN 10 tahun tetap stabil di angka 6,65 persen.
Dari data transaksi yang tercatat antara 7 hingga 10 Oktober 2024, non-residen mengalami jual neto sebesar Rp2,84 triliun. Rincian dari transaksi ini mencakup jual neto sebesar Rp4,47 triliun di pasar saham dan beli neto senilai Rp4,37 triliun. Di sisi lain, non-residen juga mencatatkan jual neto sebesar Rp2,73 triliun di pasar Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Sepanjang tahun 2024, berdasarkan data setelmen hingga 10 Oktober 2024 untuk semester II, non-residen tercatat melakukan beli neto sebesar Rp46,68 triliun di pasar saham, Rp41,19 triliun di pasar SBN, dan Rp193,51 triliun di SRBI. Pada semester II tahun 2024, non-residen kembali mencatatkan transaksi beli neto sebesar Rp46,33 triliun di pasar saham, Rp75,15 triliun di pasar SBN, dan Rp63,16 triliun di SRBI.
Bank Indonesia menyatakan komitmennya untuk terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah serta otoritas terkait. BI juga berupaya mengoptimalkan strategi bauran kebijakan guna mendukung ketahanan eksternal ekonomi Indonesia.
“Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan otoritas terkait serta mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk mendukung ketahanan eksternal ekonomi Indonesia,” jelas BI dalam keterangan resmi, Jumat, 13 September 2024.
Selain itu, premi credit default swap (CDS) Indonesia untuk tenor 5 tahun per 10 Oktober 2024 tercatat sebesar 68,30 basis poin, mengalami peningkatan dibandingkan dengan 4 Oktober 2024 yang tercatat di angka 67,25 basis poin.
Peningkatan ini mencerminkan sentimen pasar yang lebih hati-hati terhadap risiko default utang Indonesia. Pihak investor mungkin memperhatikan kondisi perekonomian domestik dan global, termasuk stabilitas nilai tukar rupiah dan yield obligasi yang berfluktuasi.
Secara keseluruhan, perkembangan ini menunjukkan bahwa meskipun ada tantangan di pasar global, Bank Indonesia berkomitmen untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dengan adanya berbagai strategi yang diterapkan, diharapkan perekonomian Indonesia dapat tetap resilient dan mampu menarik investasi asing yang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam konteks yang lebih luas, kondisi perekonomian global yang tidak menentu dapat berpengaruh terhadap nilai tukar dan kebijakan moneter yang diterapkan oleh BI. Oleh karena itu, pemantauan secara terus-menerus terhadap dinamika pasar dan kebijakan yang relevan menjadi sangat penting untuk menjaga kestabilan ekonomi Indonesia.
Melihat angka-angka yang ada, baik di sektor saham maupun surat berharga, menunjukkan bahwa meskipun ada ketidakpastian global, minat investor terhadap pasar Indonesia masih cukup kuat. Dengan penyesuaian kebijakan yang tepat, diharapkan potensi pertumbuhan dapat dimaksimalkan, memberikan dampak positif bagi perekonomian domestik dan meningkatkan kepercayaan investor.
Kedepannya, BI dan pemerintah diharapkan dapat bekerja sama untuk terus memantau perkembangan situasi, serta melakukan intervensi yang diperlukan untuk menjaga stabilitas nilai rupiah dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kegiatan ini tidak hanya akan memperkuat fondasi ekonomi, tetapi juga akan berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Rupiah Terapreasisi 0,64 Persen
Rupiah berhasil terapresiasi sebesar 0,64 persen di akhir pekan, Jumat, 11 Oktober 2024. Begitu pula dengan mata uang emerging Asia yang ikut terdongkrak, menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Kurs rupiah diprediksi ditutup menguat terhadap dolar AS, didorong oleh data inflasi AS yang menunjukkan kecenderungan melandai mendekati target 2 persen hingga September 2024. Rupiah ditutup di level Rp15.577 per dolar AS, menguat 100 poin atau 0,64 persen dibandingkan penutupan sebelumnya yang berada di level Rp15.677 per dolar AS.
Penguatan rupiah juga sejalan dengan pergerakan positif mata uang emerging Asia lainnya, yang mengalami penguatan karena dolar AS yang melemah. Saham di kawasan Asia, meskipun bervariasi, menunjukkan reaksi positif terhadap data ketenagakerjaan AS yang sedikit melemah. Data ini memicu spekulasi bahwa Federal Reserve AS akan memangkas suku bunga dalam skala yang lebih kecil.
Di antara mata uang emerging Asia, won Korea Selatan mencatatkan kenaikan sekitar 0,5 persen. Hal ini terjadi setelah Bank of Korea memulai siklus pelonggaran kebijakan dengan pemangkasan 25 basis poin. Langkah tersebut sejalan dengan kebijakan moneter yang diambil oleh Indonesia dan Filipina.
Sementara itu, rupiah, peso Filipina, baht Thailand, dan ringgit Malaysia juga diperdagangkan dengan peningkatan antara datar hingga 0,4 persen lebih tinggi.
Namun, meski ada penguatan, dolar AS bersiap mencatatkan kenaikan mingguan kedua berturut-turut. Laporan ketenagakerjaan yang lebih solid telah memperkuat spekulasi mengenai penurunan suku bunga yang lebih kecil oleh Federal Reserve, yang memicu arus keluar modal dari aset yang lebih berisiko di kawasan Asia.
Rupiah merosot lebih dari 1 persen pada minggu ini, mendekati level terendah dalam dua bulan. Analis Citi memperkirakan bahwa arus keluar dari Indonesia dan Thailand masing-masing mencapai USD329 juta dan USD221 juta, sementara India mengalami aksi jual asing sekitar USD5,2 miliar.
Investor kini sedang menilai kembali lintasan penurunan suku bunga di Asia menjelang rilis serangkaian data pertumbuhan ekonomi dan angka inflasi. Rapat bank sentral yang akan datang juga akan menjadi faktor penting dalam menentukan arah kebijakan moneter di kawasan ini.
Analis memprediksi Filipina akan melanjutkan pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin, sementara negara lain seperti Thailand, Indonesia, dan Singapura mungkin akan tetap mempertahankan suku bunga saat ini.
Meskipun ada tantangan di pasar global, penguatan rupiah dan mata uang emerging Asia menunjukkan sinyal positif bagi stabilitas ekonomi di kawasan ini. Investor akan terus memantau perkembangan kebijakan moneter dan data ekonomi yang akan datang untuk menentukan langkah investasi mereka ke depan.
Sempat Terperosok Dalam
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah pada penutupan perdagangan hari ini, Kamis, 10 Oktober 2024. Hal ini menunjukkan reaksi pasar yang berhati-hati terhadap perkembangan ekonomi global dan kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh bank sentral AS.
Berdasarkan data dari Bloomberg, hingga pukul 15.00 WIB, kurs rupiah ditutup di level Rp15.677 per USD, mengalami penurunan yang signifikan setelah pelaku pasar memperhatikan sentimen data inflasi AS pada bulan September 2024. Data inflasi ini memberikan sinyal yang memengaruhi keputusan kebijakan suku bunga yang diambil oleh Federal Reserve (The Fed), sehingga memicu kehati-hatian di kalangan investor.
Rupiah melemah sebesar 48 poin atau setara dengan 0,31 persen dibandingkan dengan penutupan pada Rabu, 9 Oktober 2024, yang tercatat di level Rp15.629 per dolar AS. Penurunan nilai tukar ini mencerminkan ketidakpastian di pasar, di mana investor cenderung menjauh dari aset berisiko, terutama dalam konteks tekanan inflasi yang berlangsung di AS.
Lebih lanjut, Ketua Federal Reserve, Jerome Powell, mengalami penolakan terhadap keputusan yang diusulkan untuk menurunkan suku bunga sebesar 50 basis poin pada bulan September lalu. Penolakan ini diungkapkan dalam risalah rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) yang berlangsung pada tanggal 17-18 September, yang dirilis pada malam sebelumnya. Dalam risalah tersebut, terungkap bahwa beberapa pejabat FOMC lebih memilih penurunan suku bunga yang lebih moderat, yaitu sebesar seperempat poin atau 25 basis poin.
“Beberapa peserta mengamati bahwa mereka lebih memilih pengurangan kisaran target sebesar 25 basis poin pada pertemuan ini, dan beberapa peserta lainnya mengindikasikan bahwa mereka dapat mendukung keputusan tersebut,” kutipan risalah rapat FOMC menyatakan. Keputusan ini menunjukkan adanya perbedaan pendapat di kalangan anggota FOMC mengenai langkah yang tepat untuk merespons dinamika ekonomi saat ini.
Tekanan terhadap nilai tukar rupiah juga muncul di tengah perlambatan ekonomi di China, yang merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia. Meskipun pemerintah China telah mengambil langkah-langkah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui berbagai stimulus, hasil dari upaya tersebut tidak memenuhi ekspektasi pasar.
Pada hari yang sama, kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia juga mengalami penurunan, tercatat menjadi Rp15.658 per dolar AS, turun dari sebelumnya yang berada di level Rp15.607 per dolar AS. (*)